Selasa, 20 Mei 2008

TINJAUAN HUKUM ILLEGAL LOGGING

MUKTI AJI (November, 2007)


I. PENDAHULUAN

Pemanfaatan dan pengelolaan sektor kehutanan adalah satu bagian yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup dimana telah menjadi sorotan bukan hanya secara nasional akan tetapi menjadi wacana global. Perhatian dunia internasional terhadap kelestarian hutan nampak dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi yang diadakan oleh PBB di Rio De Jeneiro pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992 yang juga merupakan peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm tahun 1972.

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio De Jeneiro menghasilkan suatu konsesus tentang beberapa bidang penting khususnya tentang prinsip-prinsip kehutanan (forest principle) yang dituangkan dalam dokumen dan perjanjian : “Non-Legally Binding Authorotative Statement of Prinsiple for a Global Consensus on the Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forest” dan Bab 11 dari Agenda 21 “Combating Deforestation”. Kemudian dalam pertemuan ketiga dari Komisi Pembangunan Berkelanjutan (CSD-Commission of Sustainable Development) disepakati untuk membentuk Intergovermental Panel on Forest (IPF) guna melanjutkan dialog dalam kebijakan kehutanan skala global.

Prinsip-prinsip tentang Kehutanan tersebut di atas kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Kehutanan Indonesia yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan seperti yang terlihat dalam konsideran butir a UU No. 41/1999 bahwa “hutan wajib disyukuri, diurus dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan agar dapat dirasakan manfaatnya baik bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.

Salah satu masalah yang sangat krusial dalam bidang lingkup pada sektor kehutanan ini adalah masalah penebangan liar atau yang dikenal dengan istilah “illegal logging”. Stephen Devenish, ketua Misi Forest Law Enforecment Governance and Trade dari Uni Eropa, mengatakan bahwa Penebangan Liar adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia.


II. KASUS TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTTING

Pembalakan ilegal yang terjadi dimana-mana di Indonesia, maraknya korupsi dan lemahnya hukum yang memungkinkan kegiatan ini terus berkembang, digambarkan secara jelas dalam perambahan taman-taman nasional di Indonesia. Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Sumatera, dan Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan, hanya merupakan dua di antara kasus-kasus yang lebih buruk di mana cadangan hutan perawan Indonesia yang terakhir telah dijarah secara sistematis oleh para pembala.

Satu kasus yang menyedihkan terjadi di Taman Nasional Tanjung Puting di Propinsi Kalimantan Tengah, yang luasnya 400.000 ha di atas lahan alluvial di semenanjung yang menjorok ke selatan ke arah Laut Jawa. Taman nasional ini meliputi berbagai ekosistem, termasuk hutan kerangas tropis, hutan payau, dan hutan mangrove, dan didiami oleh lebih dari 200 spesies burung, 17 spesies reptilia, dan 29 spesies mamalia. Sembilan spesies primata di Pulau Kalimantan ditemukan di Tanjung Puting, termasuk sekitar 2000 orangutan. Kawasan ini secara resmi ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1984, setelah sebelumnya berstatus Suaka Margasatwa sejak tahun 1930-an, dan secara resmi tercatat oleh PBB sebagai Cagar Biosfer.

Kekayaan flora taman ini mencakup sejumlah besar tegakan spesies pohon komersial, khususnya Meranti (Shorea spp.) dan Ramin (Gonystylus spp.). Ramin telah menjadi target utama para pembalak ilegal; sejak awal tahun 1990-an, dan penebangan ilegal kayu yang berharga ini meningkat tajam pada tahun-tahun terakhir setelah krisis ekonomi dan politik yang dimulai pada tahun 1997-1998 dan terus berlanjut sampai sekarang. Ramin adalah sejenis kayu langka yang tumbuh hanya di kawasan hutan dataran rendah tropis, dan pada dasarnya telah dibalak di banyak wilayah Indonesia lainnya. Daya tarik Ramin bagi para pembalak ilegal sangat jelas-Ramin yang telah dipotong-potong terjual kira-kira 600 dolar/m3 di berbagai pasar internasional, sedangkan Ramin yang sudah dibentuk terjual seharga 1200 dolar/m3. Pembeli utama Ramin meliputi Malaysia, Singapura, Taiwan, Cina, Amerika Serikat, dan berbagai negara Eropa.

Pembalakan ilegal terhadap Ramin dan spesies lainnya terjadi di sebagian besar kawasan Tanjung Puting, terutama di sepanjang S. Sekonyer, S. Buluh Besar, dan S. Seruiyan, yang merupakan batas atau membelah taman nasional ini. Penyelidikan lapangan oleh Environmental Investigation Agency (sebuah LSM yang berbasis di Inggris) dan Telapak Indonesia (sebuah LSM Indonesia) selama tahun 1999 dan 2000 mengungkapkan bahwa hanya sepertiga hutan taman nasional yang masih tetap belum terjamah.


III. TINJAUAN UMUM ILLEGAL LOGGING

Pengertian illegal logging dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. Dan Log adalah kayu gelondongan (logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.

Secara umum illegal logging mengandung makna kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.

Essensi yang penting dalam praktek penebangan liar (illegal logging) ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial.

Dilihat dari aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan berbagai konflik seperti konflik hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah serta masyarakat adat setempat. Aspek budaya seperti ketergantungan masyarakat terhadap hutan juga ikut terpengaruh yang pada akhirnya akan merubah perspektif dan perilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan.

Akar Permasalah dalam Illegal Logging, dimana paling sedikit ada 4 (empat) macam yaitu :

  1. Sistem Pengelolaan Hutan di Indonesia yang membuka ruang untuk terjadinya praktek illegal logging.
  2. Tingkat kesejahteraan (gaji) Pejabat, Petugas dan masyarakat sekitar hutan rendah.
  3. Mentalitas yang tidak baik.
  4. Kontrol yang lemah, baik kontrol instansional maupun kontrol sosial.


Dampak kerusakan ekologis (lingkungan) akibat penebangan liar (illegal logging) menurut berbagai penelitian yang dilakukan oleh para pakar pemerhati lingkungan dan kehutanan bahwa berbagai bencana alam yang terjadi, disinyalir sebagai akibat dari kerusakan hutan sebagai dampak dari penebangan liar (illegal logging). Selain bencana alam, penebangan liar (illegal logging) ini juga menimbulkan kerusakan flora dan fauna serta punahnya spesies langka.

Dampak kerugian ekonomi yang ditanggung oleh Negara dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh David W. Brown pengamat ekonomi kehutanan dari Departement For International Development (DFID) yang mengkalkulasikan kerugian finansial yang ditanggung pemerintah akibat perdagangan kayu liar (illegal timber trading) adalah sebesar US $ 1,632 milliar per tahun dan kerugian akibat penebangan liar (illegal logging) di Indonesia mencapai US $ 5,7 miliar per tahun. Angka tersebut diperoleh dari perhitungan 68 juta meter kubik kayu illegal yang dikonsumsi pabrik kayu dalam negeri untuk diolah senilai US $ 4,08 miliar dikalikan dengan pajak yang harus dibayar setiap meter kubik kayu, sebesar US $ 24.


IV. TINJAUAN HUKUM LINGKUNGAN TERHADAP ILLEGAL LOGGING

Undang-undang Dasar 1945, memberikan dasar hukum yang kuat bagi pengelolaan sumber daya alam hayati, seperti disebut dalam pembukaan dan khususnya pada pasal 33 ayat 3 yang menyatakan dengan tegas bahwa kekayaan alam indonesia, termasuk sumber daya alam hayati yang ada didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.

Asas pelestarian yang bersifat ekologis dengan sudut pandang yang menyeluruh secara tegas ditemukan dalam UU No. 4 tahun 1982 (diperbaharui dengan UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup), pasal 3 undang-undang ini dengan tegas menyatakan bahwa asas pelestarian kemampuan lingkungan merupakan landasan hukum bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) dan dalam Pasal 12 UULH-82 diatur tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem.

Undang-undang No.23/1997 memberikan pengertian konservasi dalam pasal 1 butir 15 : ”Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya”. Dimana dari uraian tersebut menegaskan adanya tiga kegiatan untuk melakukan konservasi alam hayati dan ekosistemnya untuk menetapkan ukuran-ukuran yang pasti tentang apa yang disebut pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan yaitu :

a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan,

b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,

c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.


Terkait dengan perusakan lingkungan hidup secara tegas disebutkan dalam pasal 1 butir 14 UU PLH No. 23/1997 yaitu bahwa ” perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”.

Merusak hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan adalah merupakan suatu kejahatan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 48 UU No. 23/1997 bahwa ”tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini adalah kejahatan”. Bab yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Bab IV UU No.23/1997 tentang ketentuan pidana, yang didalamnya dirumuskan tentang ketentuan pidana terhadap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Perusakan hutan adalah merupakan salah satu bentuk perusakan lingkungan, oleh karena itu maka perusakan hutan adalah merupakan suatu kejahatan. Salah satu bentuk perusakan hutan itu adalah penebangan liar (illegal logging).


V. TINJAUAN HUKUM KEHUTANAN TERHADAP ILLEGAL LOGGING

Pengertian hutan menurut Pasal 1 butir 2 UU No. 41/1999 adalah : “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.

Hukum Kehutanan menurut Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan yang tersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya. Dimana terdapat dua kepentingan dalam sistem pengelolaan hutan yang saling mempengaruhi yaitu kepentingan pemanfaatan dan kepentingan perlindungan hutan.

Perlindungan hutan menurut Pasal 47 UU No. 41/1999 dirumuskan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :

a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil-hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan;

b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Sementara perusakan hutan menurut UU No.41/1999 dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : ”yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya”.

Penebangan liar (illegal logging) adalah salah satu bentuk kejahatan dalam bidang kehutanan dan belum diatur secara spesifik dalam suatu ketentuan undang-undang tersendiri. Penegakan hukum terhadap penebangan liar (illegal logging) masih mengacu kepada ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 50 Jo Pasal 78 UU No. 41/1999.

Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41/1999 yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif.

Uraian tentang rumusan ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur oleh pasal 78 UUNo.41/1999 terdapat unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu :

a. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.

b. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan.

c. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang.

d. Menebang pohon tanpa izin.

e. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal.

f. Menangkut, menguasai atau memilki hasil hutan tanpa SKSHH.

g. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.

Rumusan tersebut di atas menggambarkan selektifitas dari ketentuan hukum dimana sasaran penegakan hukumnya belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan penebangan liar (illegal logging). Secara tegas UU No. 41/1999 belum memberikan definisi tentang penebangan liar penebangan liar (illegal logging) , dan tindak pidana pembiaran terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas penebangan liar (illegal logging).


VI. REKOMENDASI

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan untuk menanggulangi kegiatan illegal logging adalah sebagai berikut :

1. Operasi hutan lestari dalam rangka menindak pelaku-pelaku illegal logging dan penyelundupan kayu harus dibarengi dengan upaya-upaya mengatasi penyebab dari terjadinya illegal logging itu sendiri.

2. Alternatif sistem pengelolaan hutan perlu dikembangkan dan diperluas, antara lain dengan sistem TPTI Intensif (TPTJ + Bina Pilih)

3. Dana Reboisasi (DR) harus dapat digunakan dalam rangka merehabilitasi dan membangun hutan-hutan di areal bekas tebangan TPTI, baik di lokasi yang dibebani hak maupun tidak, untuk meningkatkan produktivitas dari hutan alam itu sendiri.

4. Masyarakat perlu terlibat dan menerima manfaat ekonomi yang langsung dirasakan atas adanya kegiatan pengelolaan hutan secara lestari.

5. Sistim quota harus segera diganti dan dikembalikan kepada cara-cara perhitungan jatah produksi sesuai dengan kemampuan produksi lestari hutan itu sendiri, sesuai dengan kaidah-kaidah dalam pengelolaan hutan lestari.

II. PENUTUP

Urgensi perlindungan hutan dalam perundang-undangan pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging), adalah perlindungan terhadap fungsi pokok dari hutan itu sendiri. Baik fungsi ekologi, ekonomi maupun sosial-budaya yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta masyarakat secara nasional, tetapi juga masyarakat dalam konteks regional dan internasional.

Proses untuk menegakan hukum serta pelaksanaan sanksi merupakan bagian akhir dari penegakan hukum. Yang perlu ada terlebih dahulu adalah penegakan preventif, yaitu pengawasan dan pelaksanaan peraturan. Pengawasan preventif ini ditujukan kepada pemberian pelarangan dan saran serta upaya meyakinkan seseorang dengan bijaksana agar beralih dari suasana pelanggaran ke tahap pemenuhan ketentuan peraturan.


DAFTAR PUSTAKA

Hardjosoemantri K, 1926, Hukum Tata Lingkungan edisi ke-17 cetakan ke-7, Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Iskandar U, 1999, Dialog Kehutanan dalam Wacana Global, cet. 1, Bigraf Publishing : Yogyakarta.

Koeswaji, H.H., 1993, Hukum Pidana Lingkungan, Cet. 1,Citra Aditya Bhakti : Bandung.

Marpaung, L., 1995, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, Cet.1 Erlangga : Jakarta.

Mangunwijaya, F.M., 2006, Hidup Harmonis dengan Alam, edisi 1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Salim, H.S.,2003, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Cet. 1, Sinar Grafika: Jakarta.

Silalahi, D., 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Cet. 1, Edisi ketiga, Alumni : Bandung.

Tidak ada komentar: