Minggu, 18 Mei 2008

DEFORESTASI INDONESIA

Mukti Aji (2007)

DEFORESTASI INDONESIA


I. PENDAHULUAN


Hutan, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara yang memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, cenderung kondisinya semakin menurun. Hutan juga merupakan salah satu sumber daya alam yang berperan dalam menjaga, mempertahankan dan meningkatkan ketersediaan air dan kesuburan tanah. Ketersediaan air dan kesuburan tanah merupakan urat nadi kehidupan manusia.

Indonesia dikenal memiliki hutan tropis yang cukup luas dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan bahkan tertinggi kedua di dunia setelah Brazillia. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Planologi Kehutanan RI tahun 2000 bahwa luas hutan Indonesia adalah 120,3 juta hektar atau 3,1% dari luas hutan dunia.

Seiring dengan berjalannya waktu dan tingkat kebutuhan akan kayu semakin meningkat, mendorong masyarakat baik secara individu maupun kelompok melakukan eksploitasi hasil hutan dengan tidak memperhatikan kelestariannya. Eksploitasi hasil hutan tersebut biasanya dilakukan secara ilegal seperti melakukan pembalakan liar, perambahan, pencurian yang mengakibatkan kerusakan hutan di Indonesia tidak terkendali (laju kerusakan hutan Indonesia 2,8 juta hektar per tahun). Akibatnya, kerusakan hutan atau lingkungan tak terkendali tersebut mengakibatkan luas hutan semakin menurun, lahan kritis semakin bertambah, dan sering terjadi bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya.

Pembalakan liar, pembukaan lahan pertanian dan perkebunan, pembukaan pemukiman baru, transmigrasi, dan pemberlakuan izin HPH dan lain sebagainya, disinyalir merupakan penyebab rusaknya kawasan hutan di Indonesia. Selain itu, pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang semakin tinggi serta diiringi oleh desakan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, lapangan kerja kurang tersedia memaksa kawasan hutan, termasuk kawasan hutan lindung dijadikan sebagai alternatif sasaran bagi masyarakat, baik masyarakat sekitar kawasan maupun masyarakat yang jauh dari kawasan untuk memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Kerusakan sumber daya hutan juga disebabkan oleh kapasitas industri perkayuan dan pulp yang jauh melebihi kemampuan sumber daya hutan dalam menghasilkan bahan baku kayu secara lestari. Pada masa sebelum krisis (1996) industri pengolahan kayu pertukangan skala menengah dan besar, dan industri pulp membutuhkan masing-masing 24 juta m3 dan 15 juta m3. Sedangkan kebutuhan untuk industri kecil kayu gergajian diperkirakan sebesar 9, 4 juta m3. Maka kebutuhan ketiga kelompok industri pengolahan kayu adalah 48,2 juta m3. Padahal kemampuan hutan alam menyediakan bahan baku secara lestari diperkirakan tidak lebih besar dari 22,5 juta m3.

Kerusakan hutan di Indonesia sudah saatnya dipandang jernih oleh semua pihak. Artinya, masyarakat harus sadar bahwa hutan Indonesia sudah rusak. Maka dari itu harus ada upaya nyata dalam menyelamatkannya. Jika tidak, kehancuran hutan akan mengancam ekosistem alam lain.


II. MASALAH DEFINISI DAN BATASAN DEFORESTASI

Ulasan atas beberapa literatur mengenai deforestasi di Indonesia menunjukkan bahwa para komentator mengenai masalah tersebut memakai istilah deforestasi dengan beraneka arti. Kurang spesifiknya penggunaan istilah deforestasi mengakibatkan interpretasi data yang selektif dan seringkali mengaburkan permasalahannya. Masalah definisi dan batasan deforestasi adalah sebagai berikut :

1. Apakah deforestasi hanya berarti hilangnya tutupan hutan secara permanen, atau baik permanent maupun sementara? FAO dan World Bank secara tersirat menyatakan bahwa hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara merupakan deforestasi. Dengan demikian, berarti mereka menganggap kawasan perladangan berpindah yang akan kembali menjadi hutan sekunder juga merupakan deforestasi.

2. Apakah deforestasi berarti hilangnya tutupan hutan untuk segala macam penggunaan, atau apakah artinya hilangnya tutupan hutan yang tidak dapat menghasilkan kayu? World Bank mendefinisikan istilah deforestasi didasarkan pada pandangan yang kedua.

3. Apakah deforestasi berarti hilangnya tutupan hutan saja, atau apakah itu juga berarti hilangnya berbagai ciri-ciri kelengkapan hutan (forest attributes), misalnya kelebatannya, strukturnya dan komposisi spesiesnya? Saharjo (1994) menunjukkan bahwa bila menyangkut tutupan hutan saja, luas kawasan yang hilang lebih kecil daripada bila yang dimaksud menyangkut hilangnya berbagai ciri-ciri kelengkapan hutan. Pada sistem perladangan berpindah, misalnya, lahan yang ditanami sering dikatakan sebagai lahan yang telah mengalami deforestasi, namun lahan ini kelak dapat kembali menjadi tutupan hutan. Hutan-hutan yang ditebang dalam kegiatan pembalakan secara besar-besaran sering tidak dianggap telah mengalami deforestasi, hanya karena masih banyak pohon yang tegak setelah tebang pilih, tetapi dalam beberapa kasus mungkin banyak sekali fungsi lingkungan yang telah hilang dari hutan tersebut.

4. Apakah yang disebut dengan pelaku deforestasi adalah mereka yang membuka tutupan hutan, atau mereka yang kemudian menghalangi pertumbuhan kembali tutupan hutan? Apabila pengertian pertama yang diakui, maka perusahaan-perusahaan penebangan hutan (HPH) memainkan peranan yang lebih besar dalam deforestasi. Dan apabila pengertian kedua yang diakui, maka para petani kecil, yang kadang-kadang menduduki lahan yang telah dibuka terlebih dahulu oleh kegiatan pembalakan (HPH), yang dianggap berperanan lebih besar. Beberapa pengamat telah menunjukkan bahwa secara praktis tidak mungkin memilah-milah peranan pelaku-pelaku deforestasi dalam suatu lokasi yang.

5. Apakah pelaku deforestasi sebaiknya didefinisikan secara tepat dalam pengertian pemanfaatan akhir lahan hutan yang telah dibuka, dan bukan berdasarkan tindakan dan tujuan mereka yang sesungguhnya membuka hutan? Barbier et al. (1993) mengusulkan jalan pemikiran yang demikian dan berpendapat bahwa deforestasi di Indonesia banyak terjadi pada lahan yang dimaksudkan untuk dikonversikan menjadi lahan pertanian, jadi peranan penyebab deforestasi dipegang oleh pertumbuhan kegiatan pertanian.

Berdasarkan beberapa masalah tersebut di atas, maka laju perubahan tutupan hutan seharusnya didasarkan pada perbandingan gambar-gambar satelit atas liputan lahan (land cover) pada dua (atau lebih) waktu yang berbeda. Metode penciptaan gambar harus sama, untuk menghindari interpretasi yang salah dari perbedaan ketajaman, tekstur atau warna sebagai perubahan tutupan hutan. Idealnya, gambar-gambar yang diambil pada waktu yang lalu cukup tua agar perbedaan tutupan hutannya dapat dilihat dengan jelas, dan gambar-gambar yang baru cukup mutakhir sehingga pengukuran perubahannya menangkap fenomena baru yang relevan.

Dalam tulisan ini yang dipakai sebagai definisi deforestasi adalah definisi hutan dan deforestasi yang dipakai oleh FAO (1996) dalam publikasinya Forest Resources Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover and Study of Change Processes. Hutan dijabarkan sebagai hutan alam (baik hutan yang luas atau yang terfragmentasi/terpotong-potong); non-hutan merujuk pada lahan-lahan lain yang berhutan (wooded lands, termasuk semak belukar dan lahan dalam masa bera pendek); dan vegetasi berkayu buatan manusia mencakup perkebunan (termasuk hutan tananam industri maupun perkebunan tanaman keras).

III. PENYEBAB DEFORESTASI DI INDONESIA

Saat ini pada dasarnya ada dua kubu dalam perdebatan yang berlangsung mengenai penyebab deforestasi di Indonesia. Di satu pihak ada penjelasan penjelasan yang memandang produksi petani kecil dan meningkatnya jumlah petani kecil sebagai penyebab utama deforestasi (Barbier et al. 1993, Fraser 1996). Penjelasan tersebut cenderung memandang penduduk sipil dan terutama petani kecil, sebagai faktor utama dalam pembabatan tutupan hutan. Di pihak lain ada penjelasan-penjelasan yang, meskipun mengakui peran besar produksi petani kecil dalam deforestasi, lebih menekankan pada peranan pemerintah dan proyek-proyek pembangunannya, dan pada sektor industri perkayuan (Dick 1991).

Secara umum penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Kegiatan Pembalakan dan Industri Perkayuan

Estimasi deforestasi yang disebabkan langsung oleh kegiatan pembalakan berkisar antara 77.000 ha sampai 120.000 ha setiap tahun, yakni kira kira 10-20% dari keseluruhan kawasan yang telah hilang hutannya, dan 10-15% dari 800.000 ha yang ditebang setiap tahun. Laju penebangan hutan di Indonesia rata-rata 40 juta kubik meter setahun, sedangkan laju penebangan yang lestari berkelanjutan (sustainable) yang direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan adalah 22 juta kubik meter setahun (World Bank, 1995).

Mengapa beberapa pemegang konsesi mengeskploitasi hutan dengan laju yang tidak mendukung kelestariannya, gagal mengelola konsesinya dengan baik, dan tidak memiliki pandangan ke arah investasi jangka panjang? Sebagian besar penjelasan para peneliti mengarah pada berbagai kebijakan pemerintah serta pelaksanaannya yang mereka pandang tidak memadai dan harus diperbaiki. Kekurangan-kekurangan ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fenomena berikut :

a. Metode pembagian konsesi memberi pemegang konsesi lahan yang terlalu besar. Akibatnya pemegang konsesi tertentu kurang mempunyai insentif untuk mencegah perambahan oleh petani kecil, atau tidak mampu menghentikan perambahan yang demikian. Thiele (1994) mengatakan bahwa biaya konsesi (concession fees) yang rendah mendorong pemegang konsesi untuk menguasai areal yang luas sekali, lebih untuk tujuan asuransi atau spekulasi daripada untuk memanen kayu. Ia menambahkan ini bukan hanya menyiratkan bahwa sumberdaya milik rakyat dibiarkan menganggur, tetapi juga mendorong para peladang berpindah untuk melakukan deforestasi, karena para pemegang konsesi kurang mempunyai insentif untuk mengawasi perambahan apabila mereka memiliki kelebihan lahan. Sebagai informasi tambahan, royalti konsesi hutan di Indonesia didasarkan pada volume kayu yang dihasilkan, bukan pada luasnya areal HPH, sehingga mendorong penguasaan areal konsesi yang kelewat luas.

b. Kebijakan-kebijakan tertentu mendorong perilaku mencari rente ekonomi (rent-seeking behavior) dan akibatnya mengurangi insentif untuk pengelolaan jangka panjang. Besarnya pembayaran royalti kepada pemerintah rendah, yang berarti para pemegang konsesi dapat menikmati bagian yang besar dari potensi keuntungan areal konsesinya. Menurut Thiele (1994) potensi tinggi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih, mendorong kegiatan mencari rente ekonomi (rent-seeking activities) dalam perolehan areal konsesi, sehingga pelaksanaan persetujuan konsesi terancam untuk dilanggar. Gabungan antara royalti yang rendah dan batas masa konsesi 20 tahun mendorong pembalakan kembali sebelum waktunya, dimana pemegang konsesi masuk kembali kedalam lokasi mereka setelah penebangan pertama (untuk melakukan penebangan yang kedua atau selanjutnya), sebelum HPH nya jatuh tempo, sehingga merusak tegakan-tegakan yang belum siap panen. Pada tahun 1990 survei-survei menemukan bahwa di areal konsesi di mana telah dilakukan pembalakan, tegakan tinggal yang rusak mencapai 40%, sehingga sangat menurunkan nilainya dan mengurangi insentif untuk melindunginya dari perambahan dan kebakaran hutan (World Bank 1990).

c. Kurangnya dukungan untuk perlindungan hutan di tingkat propinsi. Pemerintah daerah tingkat propinsi menerima sebagian kecil dari royalti pengusahaan hutan yang dikutip oleh pemerintah, yang seperti telah dikemukakan diatas, sudah cukup rendah. World Bank (1995) menerangkan bahwa pemerintah daerah tingkat propinsi dengan tutupan hutan yang luas mungkin terdorong untuk mengubah hutannya menjadi bentuk tataguna lahan lain, yang menghasilkan pemasukan daerah yang lebih besar, atau yang paling sedikit dapat merupakan sumber penghasilan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, supaya mereka tidak menjadi beban bagi sumberdaya propinsi tersebut.

2. Pembangunan Perkebunan Besar

Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari degradasi hutan. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Sisanya seluas 3 juta ha lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Banyak perusahaan yang sama, yang mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan.

3. Pembangunan Hutan Tanaman Industri

Berawal dari akhir tahun 1980-an telah ada rencana rencana besar untuk memperluas areal hutan tanaman industri. Sampai dengan Desember 1995 luas hutan tanaman industri yang telah dibangun hanya 520.000 ha. Pemerintah mencanangkan target agar sampai tahun 1990 telah dibangun hutan tanaman industri seluas 1,4 juta ha, sampai tahun 1995 1,8 juta ha, sampai tahun 2000 2,3 juta ha dan sampai tahun 2030 10,5 juta ha (World Bank 1995). Sasaran jangka pendek adalah untuk mensuplai industri pulp (bubur kertas) dan kertas yang mulai berkembang dan akhirnya untuk memenuhi sebagian kebutuhan industri produk perkayuan. Pabrik-pabrik pulp dan kertas saat ini mengandalkan hutan alam, tetapi letak hutan alam makin lama semakin jauh dari jangkauan pabrik. Diperkirakan bahwa areal HTI seluas 2 juta ha dapat mensuplai seluruh kebutuhan kayu untuk pembuatan pulp (bubur kertas) sampai dengan tahun 2020.


4. Program Transmigrasi

Data sensus tahun 1990 menunjukkan bahwa 108 juta (60%) dari 180 juta penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa dan Madura (Economist Intelligence Unit 1995), kawasan yang hanya merupakan 7 % luas daratan di negeri ini. Kepadatan penduduk pulau Jawa merupakah salah satu yang tertinggi di dunia. Sejak awal abad keduapuluh telah banyak usaha-usaha untuk mendorong keluarga-keluarga pindah dari pulau Jawa ke pulau-pulau lain untuk mengurangi tekanan penduduk, kemiskinan dan degradasi lahan. Ada dua jenis transmigran: transmigran umum mendapatkan bantuan penuh dari pemerintah, sedangkan transmigran spontan hanya menerima sebagian atau tidak menerima bantuan pemerintah sama sekali.

Telah terjadi lonjakan tinggi dalam jumlah keluarga transmigran pada dekade-dekade terakhir ini. Pada periode 1950-1979 jumlah rata-rata transmigran setahun adalah 6.570 kepala keluarga (kk); pada periode 1980-1984 jumlahnya naik menjadi 73.200 kk.13 Dick (1991) mengamati bahwa ada perbedaan besar dalam data jumlah transmigran dari dua buah sumber yang berbeda. Pada periode 1974-1989 Departemen Transmigrasi (MOT) menyatakan bahwa ada 664.000 kk transmigran umum, sedangkan Kelompok Penasehat Transmigrasi (TAG) menyatakan ada 323.000 kk (Dick 1991). Pada periode yang sama, Departemen Transmigrasi memperkirakan ada 455.000 transmigran spontan; sedangkan TAG tidak memberikan data. Persentasi penyebaran tujuan transmigrasi selama REPELITA V (1989/90-1993/94) adalah: Sumatra (53%); Kalimantan (23,5%); Sulawesi (12,6%); Irian Jaya dan Maluku (9,2%); dan lokasi-lokasi lain (1,75%). Diproyeksikan bahwa dalam periode 1994-1999 (REPELITA VI), akan ada penambahan sejumlah 350.000 kk transmigran umum dan 250.000 kk transmigran spontan (Dephut 1995).


5.
Sistem Perladangan Berpindah dan Perambahan Hutan

Sistem perladangan berpindah mempunyai arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Kekisruhan terminologi ini menghambat usaha-usaha untuk memahami hubungan antara sistem pertanian rakyat dengan perubahan tutupan hutan. Beberapa pemakaian istilah tersebut hanya mengacu pada sistem budidaya tradisional yang lestari berkelanjutan, dengan masa bera yang panjang; sistem ini sering dikatakan sejalan dengan konservasi hutan-hutan primer.

Weinstock dan Sunito (1989) menyarankan perbedaan fundamental antara peladang berpindah dan perambah hutan. Peladang berpindah dijabarkan sebagai orang-orang yang melaksanakan sistem pertanian berotasi dengan masa bera yang lebih lama daripada masa tanam. Kecuali apabila dihadapkan oleh tekanan penduduk atau kendala-kendala lain, lahan hanya dipakai satu sampai tiga tahun dan diberakan (tidak diusahakan) untuk masa yang relatif lama (sampai duapuluh tahun atau lebih). Para perambah hutan dijabarkan sebagai orang-orang yang mungkin menggunakan sistem tebas bakar vegetasi yang ada, tetapi dengan niatan utama untuk mendirikan usaha pertanian yang permanen atau semipermanen. Meskipun mungkin ditanam beberapa jenis tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, penanaman tanaman komersial (seringkali tanaman tahunan) merupakan fokus budidayanya.

Agar kita dapat benar-benar memahami peranan petani kecil dalam perubahan tutupan hutan di Indonesia, perlu sekali menyadari dan mengakui adanya rangkaian kesatuan usaha tani mulai dari sistem perladangan berpindah tradisional (dengan masa bera panjang dan konservasi hutan jangka panjang) pada ujung yang satu, dan budidaya perambah hutan (yang seringkali berakibat degradasi dalam jangka panjang dan deforestasi) pada ujung yang lain. Di Indonesia ada polarisasi ideologi di mana wakil-wakil pemerintah dan LSM Lingkungan cenderung tidak mengakui adanya rangkaian kesatuan tersebut.

Pihak pemerintah mencela perambahan hutan sebagai merusak lingkungan dan seringkali tidak membedakannya dengan sistem perladangan berpindah. Apabila pemerintah serius dalam melestarikan hutan, pemerintah harus mendukung usaha pertanian tradisional yang konsisten dengan tujuan konservasi hutan jangka panjang.

World Bank (1990) menyatakan bahwa sistem perladangan berpindah memegang peranan yang sangat besar dalam deforestasi. Luas areal yang dilaporkan dipakai untuk perladangan berpindah dalam tiga propinsi di Indonesia pada tahun 1990 adalah 14 juta ha di Sumatra, 11 juta ha di Kalimantan dan 2 juta ha di Irian. Keseluruhan areal sejumlah 27 juta ha meluas dengan laju 2 % setahun, yang menurut World Bank (1990) berarti deforestasi seluas kira-kira 500.000 ha per tahun jelas sekali ini merupakan penyebab terbesar deforestasi.

6. Kepadatan Penduduk

Fraser (1996) mengemukakan bahwa pertumbuhan kepadatan penduduk merupakan penjelasan fundamental akan masalah deforestasi di Indonesia. Data kepadatan penduduk tiap propinsi di Indonesia menunjukkan hubungan terbalik dengan data tutupan hutan. Beberapa penulis telah melihat hubungan ini (Barbier et al. 1993). Fraser (1996) menyatakan bahwa pada tiap 1% kenaikan penduduk (kenaikan penduduk di pulaupulau di luar pulau Jawa adalah 3%) terjadi penurunan kira-kira 0,3% tutupan hutan.

7. Illegal Logging

Produksi kayu yang berasal dari konsesi HPH, hutan tanaman industri dan konversi hutan secara keseluruhan menyediakan kurang dari setengah bahan baku kayu yang diperlukan oleh industri pengolahan kayu di Indonesia. Kayu yang diimpor relatif kecil, dan kekurangannya dipenuhi dari pembalakan ilegal. Pencurian kayu dalam skala yang sangat besar dan terorganisir sekarang merajalela di Indonesia; setiap tahun antara 50-70 persen pasokan kayu untuk industri hasil hutan ditebang secara ilegal. Luas total hutan yang hilang karena pembalakan ilegal tidak diketahui, tetapi mantan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan, Titus Sarijanto, menyatakan bahwa pencurian kayu dan pembalakan ilegal telah menghancurkan sekitar 10 juta ha hutan Indonesia.

IV. DAMPAK DEFORESTASI


Akibat dari Deforestasi terhadap hampir semua jenis kawasan hutan termasuk hutan lindung dan kawasan konservasi mengakibatkan sejumlah implikasi bertingkat yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Deforestasi memperluas lahan kritis di dalam maupun di luar kawasan hutan. Lahan kritis mempunyai beberapa implikasi utama sebagai berikut :

1. Penurunan produktifitas lahan untuk pertanian dan perkebunan, penurunan produktifitas lahan berdampak pada produktifitas pangan dan produksi pertanian yang mempunyai dampak langsung pada pendapatan ekonomi pada tingkat masyarakat.

2. Lahan kritis kehilangan kemampuan menahan laju erosi dan daya tangkap air yang akan mempengatuhi DAS dalam hal (Hariadi, 1995) fluktuasi air menyebabkan banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau.

3. Kelangkaan sumber daya alam dalam hal ini yang berkaitan dengan hutan,selain itu juga dapat memicu terjadinya konflik perebutan sumberdaya tersebut.

4. Pengurangan pendapatan Negara akibat cost yang dikeluarkan dalam penanggulangan bencana, rehabilitasi lahan dan penanganan konflik di tingkat masyarakat.

5. Deforestasi hutan menyebabkan rusaknya hutan yang merupakan habitat bagi sejumlah flora dan fauna meskipun tidak mempunyai data pasti diperkirakan Indonesia akan kehilangan satu dari 50 species setiap tahun dimasa mendatang (Bappenas, 2003).

V. REKOMENDASI


Ada beberapa langkah sebagai berikut untuk mengurangi laju dan dampak deforestasi :

1. Berkaitan dengan kegiatan pembalakan dan industri perkayuan, khususnya dalam hal pengelolaan konsesi/HPH dapat ditingkatkan dengan pembaharuan kebijakan sebagai berikut :

a. Menaikkan royalti dan penerimaan pemerintah (rent capture) secara menyolok (World Bank 1990; Thiele 1994; World Bank 1995).

b. Memperpanjang siklus HPH dan meningkatkan jaminan hak pengelolaan hutan bagi para pemegang HPH.

2. Dilakukannya moratorium atau jeda tebang untuk mengatasi kerusakan hutan. Selain untuk memulihkan kondisi hutan yang rusak, jeda tebang juga memberi waktu bagi pemerintah membenahi karut-marut sektor kehutanan

3. Pembangunan Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri, berasal dari praktek konversi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan dan kawasan penggunaan lain, maka perlu dilakukan penghentian (moratorium) konversi kawasan hutan.

4. Lahan areal pertambangan yang membuka areal luas sangat berdampak pada berkurangnya kawasan hutan dan lahan menjadi terbuka serta banyaknya lubang-lubang akibat kegiatan pertambangan maka Wajib melakukan Reklamasi pada kegiatan pasca tambang.

5. Intensifikasi lokasi Reboisasi pada Program GNRHL khususnya pada kawasan hutan yang tidak dibebani hak.

VI. PENUTUP

Manifestasi dari kehancuran hutan Indonesia ini dibuktikan dengan dipecahkannya rekor Guinnes World Record yang menetapkan Indonesia pada 2007 sebagai negara penghancur hutan tercepat. Sebagai salah satu dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat antara 2000 – 2005, yakni dengan tingkat 1,871 juta hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilometer persegi per hari, atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya. Padahal tingkat kerusakan tersebut merujuk pada data FAO yang bersifat konservatif.

Angka kehancuran Indonesia tersebut merupakan yang tertinggi dari 43 negara lain, disusul oleh Zimbabwe setiap tahun sebesar 1,7 persen dari luas hutan tersisa, Myanmar 1,4 persen, dan Brazil hanya 0,6 persen. Kerusakan hutan Indonesia tersebut sebaliknya telah menyelamatkan hutan Cina sebagai negara tujuan ekspor produk kayu terbesar dari Indonesia. Luas hutan Cina setiap tahun malah bertambah luas 2,2 persen. Sebaliknya Indonesia saat ini hanya menyisakan 28 persen hutan primernya.

Hutan primer tersisa, menurut data KLH yang dilansir pada pertengahan tahun 2006, telah menurun drastis. Hutan tersisa berdasarkan citra satelit di Jawa tinggal 19 persen, Kalimantan 19 persen, dan Sumatera 25 persen; jauh di bawah angka 30 persen, yakni luas hutan tersisa di suatu pulau yang diijinkan oleh Undang-Undang Kehutanan. Sedangkan hutan tersisa yang berada di atas tingkat tersebut adalah Papua (71 persen), Sulawesi (43 persen), dan Bali (22 persen). Sedangkan hutan bakau (mangrove) yang tersisa hanyalah 30 persen dari seluruh hutan bakau yang ada di tanah air sebelumnya. Bahkan saat ini 43 juta hektar area hutan telah menjadi lahan kritis.

Pada akhirnya, peran serta semua pihak untuk menyelamatkan hutan Indonesia adalah kunci utamanya. Tanpa adanya kesadaran arti penting hutan bagi kehidupan makhluk bumi, maka kerusakan bumi akan menjadi hal nyata. Pada akhirnya, manusialah yang paling merugi akibat kerusakan alam.


DAFTAR PUSTAKA

Saharjo, B.H. 1994. Deforestation with reference to Indonesia. Wallaceana.

Barbier E.B., N. Bockstael, J.C. Burgess and I. Strand. 1993. The timber trade and tropical deforestation in Indonesia.

FAO. 1996. Forest Resources Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover and Study of Change Processes. FAO.

Fraser, A.I. 1996. Social, economic and political aspects of forest clearance and land-use planning in Indonesia.

Dick, J. 1991. Forest land use, forest use zonation, and deforestation in Indonesia: a summary and interpretation of existing information. (BAPEDAL).

World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forests, Land, and Water. The World Bank, Washington, DC.

World Bank. 1994. Indonesia: Environment and Development. The World Bank, Washington, DC.

World Bank. 1995. The economics of long term management of Indonesia’s natural forest.

Theile, R. 1995. Conserving tropical rain forests in Indonesia: a quantitative assessment of alternative policies. Journal of Agricultural Economics.

DepHut. 1995. Laporan: Inventarisasi dan Identifikasi Perladangan Berpindah/Perambahan Hutan Propinsi Kalimantan Timur, Tahun Anggaran 1994/1995. Dephut Kanwil Propinsi Kalimantan Timur, Samarinda.

Weinstock, J.A. and Satyawan Sunito. 1989. Review of shifting cultivation in Indonesia. Directorate General of Forest Utilization, Ministry of Forestry, Government of Indonesia and Food and Agriculture Organization of the United Nations, Jakarta.

Hariadi. 1993. Rendahnya kontribusi pengusahaan hutan terhadap pembangunan regional. (The low level of economic contribution of forest enterprises to the regional development.) Teknolog.

Tidak ada komentar: