A. TINJAUAN DARI SUDUT UNDANG–UNDANG NO.23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Menurut tunjauan UU No. 23 tahun 1997, persoalan Perkebunan secara prinsip SAMA dengan persoalan Pertambangan yang telah disebutkan pada jawaban soal pertama di atas, yaitu bahwa secara umum memerintahkan agar lingkungan hidup dikelola dalam rangka pembangunan dengan serasi, seimbang, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dimana setiap orang memeiliki hak yang sama untuk dapat mengelola namun diatur sepenuhnya oleh pemerintah, dimana :
1. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
3. Tugas pemerintah adalah mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan
B. UNDANG–UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN
Seperti halnya dengan UU No. 23 Tahun 2007, UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 juga secara umum sama dalam melihat bidang perkebunan yang secara garis besar dijelaskan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya, yang dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.
2. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan perkebunan dilakukan dengan mekanisme pinjam pakai dan pelepasan kawasan hutan namun hanya dapat dilakukan pada status hutan Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Pengembangan Lainya (KPPL) dengan persetujuan Menteri Kehutanan.
C. UNDANG–UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN
Indonesia telah memiliki undang-undang khusus tentang perkebunan, yaitu UU No. 18 Tahun 2004 disamping aturan perundang-undangan lainnya. Hal-hal pokok dari UU Nomor 18 Tahun 2004 adalah :
1. Tujuan diselenggarakannya pembangunan perkebunan adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, penerimaan sosial, penerimaan devisa sosial, penyediaan lapangan kerja, produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan
2. Pembangunan perkebunan mempunyai fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya.
3. Usaha perkebunan dilaksanakan secara terpadu dan terkait dalam agribisnis perkebunan dengan pendekatan Kawasan Pengembangan Perkebunan.
4. Pelaku usaha perkebunan dapat melakukan diversifikasi usaha.
5. Komponen Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan pekebun, kelompok pekebun, koperasi pekebun, serta asosiasi pekebun berdasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan untuk mengembangkan agribisnis perkebunan.
Implikasi dari Undang-Undang perkebunan ini adalah semakin terbukanya peluang bagi pengusahaan perkebunan untuk membuka/mengembangkan perkebunan baru terkait dengan akses terhadap lahan. Menindaklanjuti diterbitkannya Undang Undang No 18 tahun 2004 tersebut, Departemen Pertanian mengeluarkan Kepmentan No. 633/Kpts/OT.140/10/2004, tentang Pedoman Kriteria dan Standard Klasifikasi Kebun.
D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Persoalan perkebunan secara umum juga tidak serumit dengan persoalan pertambangan ketika dibenturkan dengan issue lingkungan dan kehutanan seperti penjelasan berikut :
1. Dampak perkebunan terhadap kerusakan lingkungan
Issue kerusakan lingkungan akibat berubahanya kawasan hutan menjadi perkebunan adalah kecemasan perubahan ekosistem yang heterogen dan alami menjadi sistem monokultur khususnya terkait dengan habitat berbagai satwa dan tanaman endemik yang hilang akibat berubahnya kawasan hutan menjadi perkebunan.
2. Mengakomodasi Kegiatan Perkebunan kedalam Penataan Ruang
Tidak seperti persoalan pertambangan, untuk kawasan perkebunan bisa lebih mudah diakomodasikan ke dalam Perencanaan Tata Ruang mengingat status Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Pengembangan Lainya (KPPL) secara hukum memang sudah diakui keabsahannya.
3. Tumpang Tindih Pemanfaatan Ruang dengan Lahan Kehutanan
Berdasarkan landasan hukumnya, perkebunan diharuskan dikembangkan di atas lahan hutan yang sudah secara resmi ditentukan untuk konversi untuk pemanfaatan lainnya (KPP dan KPPL). Dalam prakteknya, ada dua faktor penting yang melemahkan landasan hukum ini yaitu :
a. Sebagian besar hutan konversi di Indonesia terdapat di kawasan Indonesia timur yang relatif belum berkembang, tetapi sebagian besar perusahaan lebih suka mengembangkannya di bagian barat, yang lebih dekat dengan tenaga kerja, infrastruktur pengolahan, dan pasar.
b. Pembangunan perkebunan di atas lahan hutan dua kali lebih menarik karena, setelah memperoleh Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), sebuah perusahaan dapat menebang habis kawasan tersebut dan menjual kayunya kepada industri pengolahan kayu. Hal ini merupakan keuntungan tambahan, di atas keuntungan yang diharapkan dari panen kelapa sawit pada masa mendatang. Pada beberapa contoh, pemilik perkebunan juga pengusaha konsesi HPH, sehingga "penjualan" kayu tebangan tersebut merupakan transfer sederhana dari satu perusahaan ke perusahaan lain dalam kelompok usaha yang sama, dengan harga yang paling rendah. Oleh karena itu banyak perusahaan yang bersemangat untuk mengajukan pelepasan lahan hutan untuk konversi, walaupun hutan tersebut telah lebih dulu ditentukan sebagai hutan produksi, hutan lindung, atau bahkan hutan konservasi
E. PENUTUP
Penyelesaian yang jelas tampaknya berupa reformasi kebijakan yang mengharuskan perusahaan untuk membangun perkebunan baru bukan di hutan konversi, seperti yang sekarang terjadi, tetapi di jutaan hektar lahan yang telah dibuka (untuk perkebunan atau HTI) tetapi belum pernah ditanami, dan di lahan yang sudah mengalami degradasi karena kebakaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar