Selasa, 20 Mei 2008

COP KE-13 & UNFCCC

I. PENDAHULUAN


Pemanasan global telah mengubah seluruh aspek kehidupan. Hidup manusia akan menghadapi tekanan sangat besar karena runtuhnya kualitas lingkungan hidup. Berbagai bencana dahsyat bakal selalu mengincar manusia, dari meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana alam hingga munculnya berbagai wabah penyakit yang semakin mematikan.


Issue pemanasan global (global warming) semakin hangat dibicarakan. Karena pemanasan global telah memicu terjadinya perubahan iklim (climate change) yang akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Pemicu pemanasan global utamanya adalah meningkatnya emisi karbon akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya). Penggunaan energi fosil akan menghasilkan gas karbondioksida (CO2) yang merupakan sumber utama meningkatnya emisi karbon di udara.


II. COP DAN UNFCCC

Conference of the Parties (COP) atau Konferensi Para Pihak adalah otoritas tertinggi dalam kerangka kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change / UNFCCC), yang merupakan asosiasi para pihak dalam meratifikasi konvensi yang bertanggung jawab menjaga konsistensi upaya international dalam mencapai tujuan utama konvensi yang mulai ditanda tangani pada bulan Juni 1992 di Rio De Jeneiro – Brazil dalam KTT Bumi.

Tujuan yang paling utama dari pembentukan konvensi perubahan iklim tersebut adalah mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sehingga konsentrasi gas-gas tersebut tidak melampaui batas aman dan tidak membahayakan iklim dunia. Dalam konvensi tersebut disepakati juga untuk membagi negara-negara yang meratifikasi menjadi dua kelompok, yaitu negara-negara Annex I (negara-negara maju) dan negara-negara non-Annex I (negara-negara berkembang).

Konferensi Para Pihak diselenggarakan satu tahun sekali atau pada saat dibutuhkan (dalam kondisi tertentu, ketika para pihak menghendaki). Penentuan tempat penyelnggaraanCOP didasarkan atas tawaran yang disampaikan Negara calon tuan rumah UNFCCC. Jika tidak ada penawaran, secara otomatis COP akan diselenggarakan di Sekretariat UNFCCC di Bonn – Jerman.

Selain itu, UNFCCC juga membentuk dua badan tambahan yang diberi nama SBSTA (Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) dan SBI (Subsidiary Body for Implementation) yang secara rutin mengadakan pertemuan sebanyak dua kali dalam setahun atau ketika dibutuhkan.

Sesi pertemuan COP pada umumnya berjalan selama dua minggu dan dilakukan paralel dengan dengan sesi SBSTA dan SBI yang dihadiri ribuan peserta termasuk delegasi pemerintah dan peneliti.


III. REVIEW HASIL COP Ke-1 HINGGA COP Ke-12

1. COP Ke-1 di Berlin – Jerman Tahun 1995

COP ke-1 menyepakati MANDAT BERLIN (Berlin Mandate) yang antara lain berisi persetujuan para pihak untuk memulai proses yang memungkinkan untuk mengambil tindakan pada masa setelah tahun 2000, termasuk menguatkan komitmen negara-negara maju melalui adopsi suatu protokol atau instrumen legal lainnya.

2. COP Ke-2 di Jenewa – Swiss Tahun 1996

Hasil dari COP ke-2 adalah DEKLARASI JENEWA (Geneve Declaration) yang berisi 10 butir deklarasi antara lain berisi ajakan kepada semua pihak untuk mendukung pengembangan protokol dan instrumen legal lainnya yang didasarkan atas temuan ilmiah.

3. COP Ke-3 di Kyoto – Jepang Tahun 1997

Hasil dari COP ke-3 adalah PROTOKOL KYOTO (Kyoto Protocol) yang menegaskan bahwa :

- Negara-negara Annex I (pada umumnya negara maju/industri) yang dianggap bertanggung jawab terhadap akan mengurangi emisi dari enam gas rumah kaca : karbondioksida, metana, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC secara kolektif sebesar 5,2 % dibandingkan dengan laporan tahun 1990 untuk diterapkan pada periode 2008-2012.

- Untuk mencapai target yang ditetapkan, Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme perdagangan emisi (emission trading,ET), penerapan bersama (joint implementation,JI) dan “mekanisme pembangunan bersih(clean development mechanism).

- Perdagangan emisi (ET) merupakan mekanisme untuk menjual dan membeli izin untuk melakukan pencemaran (emission permit) atau melakukan perdagangan karbon, yang dapat dilakukan misalnya di bursa karbon dunia yang diharapkan berkembang.

- Penerapan bersama (JI) mewadahi mekanisme untuk melakukan investasi proyek pengurangan emisi di suatu negara Annex-I oleh suatu negara Annex-I lainnya. Kredit pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan diberikan kepada negara yang melakukan investasi. Selanjutnya, mekanisme yang melibatkan negara berkembang (bukan negara Annex-I) adalah yang dikenal sebagai mekanisme pembangunan bersih (CDM).

- CDM merupakan mekanisme Protokol Kyoto yang memungkinkan negara Annex-I dan negara berkembang bekerja -sama untuk melakukan “pembangunan bersih”. Dengan fasilitas CDM, negara Annex-I dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya dengan melakukan proyek “pengurangan emisi” di suatu negara berkembang dan sang negara berkembang mendapatkan kompensasi finansial dan teknologi dari kerja-sama tersebut. Tujuan CDM sebagaimana ditegaskan oleh Protokol Kyoto (Pasal 12) adalah membantu negara berkembang melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan turut menyumbang bagi pencapaian tujuan pengurangan emisi global, serta untuk membantu negara Annex-I mencapai target pengurangan emisi mereka. Investasi negara Annex-I di negara berkembang yang menghasilkan penurunan emisi akan disertifikasi dan kredit dari “pengurangan emisi yang disertifikasi” (certified emission reduction, CER) tersebut akan diberikan kepada negara Annex-I.

4. COP Ke-4 di Buenos Aires – Argentina Tahun 1998

Hasil dari COP ke-4 adalah Rancangan Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan of Action – BAPA). Merupakan COP pertama yang dilangsungkan di negara berkembang. Bertujuan merancang tindak lanjut implementasi Protokol Kyoto berikut tenggat waktunya, terutama yang berhubungan dengan alih teknologi dan mekanisme keuangan – khususnya bagi negara-negara berkembang. Dalam BAPA, para pihak mengalokasikan tenggat waktu dua tahun untuk memperkuat komitmen terhadap konvensi dan penyusunan rencana serta pelaksanaan Protokol Kyoto.

5. COP Ke-5 di Bonn – Jerman Tahun 1999

Hasil dari COP ke-5 adalah merumuskan periode implementasi BAPA yang berisi pertemuan pertemuan teknis yang relatif tidak menghasilkan kesimpulan-kesimpulan besar.

6. COP Ke-6 di Den Haag – Belanda Tahun 2000

COP ke-6 disebut sebagai malapetaka negosiasi dalam sejarah penyelenggaraan COP karena tidak satupun implementasi BAPA yang berkaitan dengan pengoperasian Protokol Kyoto, yang merupakan agenda utama COP ini dapat disepakati. Hasilnya adalah penundaan (suspend) COP ke-6 dan dilanjutkan (resumed) pada COP ke-6 bagian II yang diselenggarakan di Bonn – Jerman.

7. COP Ke-6 Bagian II di Bonn – Jerman Tahun 2001

COP ke-6 Bagian II menghasilkan Kesepakatan Bonn (Bonn Agreement) dalam rangka implementasi BAPA. Berisi, antara lain, mekanisme pendanaan di bawah protokol dengan referensi beberapa pasal Protokol Kyoto, membentuk dana baru di luar ketentuan konvensi bagi negara berkembang, dan membentuk dana adaptasi dari Clean Development Mechanism (CDM). Untuk dampak negatif perubahan iklim, pendanaannya akan ditangani melalui Global Environmental Facility (GEF) dan point tentang pembangunan dan alih teknologi dengan membentuk kelompok ahli teknologi yang beranggotakan 20 orang dengan distribusi geografis merata.

8. COP Ke-7 di Marrakesh – Maroko Tahun 2001

COP ke-7 menghasilkan Persetujuan Marrakesh (Marrakesh Accord). Tujuan utama COP ke-7 adalah menyelesaikan persetujuan mengenai rencana terinci tentang cara-cara penurunan emisi menurut Protokol Kyoto dan untuk mencapai kesepakatan mengenai tindakan yang memperkuat implementasi Konvensi Perubahan Iklim. Tonggak pentingnya adalah disepakatinya implementasi BAPA yang sudah dibicarakan dalam tiga tahun terakhir, sehingga melancarkan jalan bagi efektifnya operasional Protokol Kyoto. Selain itu, delapan konsep keputusan yang berkaitan dengan keuangan dan pendanaan sebagaimana telah disepakati dalam COP ke-6 bagian II di Bonn segera diajukan dan diadopsi sebagai keputusan.

9. COP Ke-8 di New DelhiIndia Tahun 2002

COP ke-8 menghasilkan Deklarasi New Delhi (New Delhi Declaration). Terdiri dari 13 butir sebagai upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Butir-butir tersebut antara lain : protokol Kyoto perlu segera diratifikasi oleh pihak yang belum melakukannya dan upaya antisipasi perubahan iklim harus diintegrasikan ke dalam program pembangunan nasional. Dalam deklarasi tersebut juga ditegaskan bahwa negara-negara industri yang tergabung dalam Annex 1 diingatkan untuk mengimplementasikan komitmennya terhadap UNFCCC, sedangkan negara-negara Annex II diminta mewujudkan dukungan mereka terhadap upaya alih teknologi dan pengembangan kapasitas.

10. COP Ke-9 di Milan – Italia Tahun 2003

Ada beberapa isu yang dibahas dalam COP ke-9 antara lain aturan mengenai mekanisme pembangunan bersih di sector kehutanan. Hasilnya berupa kesepakatan untuk mengadopsi keputusan kegiatan aforestasi dan reforestasi di bawah skema Clean Development Mechanisme. Juga dibahas isu-isu lain yang berkaitan dengan bukti ilmiah perubahan iklim, mekanisme pendanaan dan seruan untuk meratifikasi Protokol Kyoto.

11. COP Ke-10 di Buenos Aires – Argentina Tahun 2004

Membahas adaptasi perubahan iklim dan menghasilkan BUENOS AIRES PROGRAMME OF WORK ON ADAPTATION AND RESPONSE MEASURES. Tujuan dari COP ini adalah mendorong Negara maju mengalokasikan sebagian sumber dayanya untuk Negara berkembang yang telah merasakan dampak buruk perubahan iklim. Amerika Serikat menyatakan kembali bersedia membicarakan isu perubahan iklim dimana sebelumnya AS selalu tidak percaya kepada Protokol Kyoto dan hanya bersedia berpartisipasi dalam pertukaran informasi.

12. COP Ke-11 di Montreal – Kanada Tahun 2005

Hasilnya adalah Rancangan Aksi Montreal (MONTREAL ACTION PLAN) yaitu para pihak yang telah meratifikasi Protocol Kyoto akan bertemu dalam Conference of Parties Serving as Meeting of Parties to the Kyoto Protokol (COP/MOP), sedangkan para pihak yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto dapat hadir sebagai observer dalam COP/MOP tapi tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan. Juga dihasilkan keputusan bahwa para pihak mempertimbangkan komitmen lanjutan Annex I untuk periode setelah tahun 2012. Isu lain yang dibicarakan adalah menyelesaikan rincian tentang bagaimana melaksanakan Protokol Kyoto, menggalang kesepakatan diantara penanda tangan Protokol Kyoto tentang rencana memperbesar pemotongan emisi gas rumah kaca setelah tahun 2012.

13. COP Ke-12 di Nairobi– Kenya Tahun 2006

Tema yang dibicarakan adalah seputar pelaksanaan waktu dan besar target emisi komitmen periode II setelah tahun 2012 dan kemungkinan adanya skema lain selain CDM dalam Protokol Kyoto. Ditetapkan Five Year Programme of Work on Impacts, Vulnerability and Adaptation to Climate Change, yang ditujukan membantu semua pihak untuk meningkatkan pengertian dan pengkajian dampak, kerentanan dan adaptasi, serta untuk membuat agar keputusan mengenai aksi dan tindakan adaptasi yang praktis mendapatkan informasi yang memadai guna menanggapi perubahan iklim.


IV. CONFERENCE ON PARTIES KE-13 DI BALI

COP ke-13 diselenggarakan pada tanggal 3 – 14 Desember 2007 di Bali, dengan jumlah peserta ± 10.000 orang dari 189 negara yang merupakan delegasi resmi dari badan-badan PBB, utusan resmi pemerintah, lembaga international dan organisasi nasional. Isu utama yang dibahas adalah reduksi emisi gas rumah kaca dan empat isu penting perubahan iklim, yakni mitigasi, adaptasi, alih tehnologi, dan pendanaan.

Konferensi ini sangat berarti bagi Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dengan panjang pantai sekitar 81 ribu kilometer yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Komitmen Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan UNFCCC menjadi kontribusi penting bagi keselamatan dunia, dan tentunya Indonesia

Delegasi RI ini terdiri dari berbagai kalangan, campuran antara pemerintah dengan lembaga akademis, pakar, dan juga LSM/NGO. Sejumlah NGO masuk dalam delegasi RI, seperti dari Kehati Foundation, CIFOR, ICEL, WWF, Pelangi, Cerindo, IESR.


Berikut nama 78 delegasi Indonesia selengkapnya:

NO.

NAMA

INSTANSI

JABATAN

1.

Rachmat Witoelar

Menneg Lingkungan Hidup

Ketua Delegasi

(berkenaan dengan statusnya sebagai Presiden COP ke-13 maka Ketua Delegasi diberikan kepada Emil Salim)

2.

Emil Salim

Dewan Pertimbangan Presiden

Wakil Ketua Delegasi

3.

Masnellyarti Hilman

Deputi Menneg LH

Wakil Ketua Delegasi

4.

Rezlan Ishar Jenie

Dirjen Urusan Luar Negeri Deplu

Wakil Ketua Delegasi

5.

Mahendra Siregar

Deputi Menko Perekonomian

Wakil Ketua Delegasi

6.

Rizal Mallarangeng

Staf Khusus Menko Kesra

Wakil Ketua Delegasi

7.

Ismid Hadad

Kehati Foundation

Sekretaris

8.

Sunaryo

Staf Ahli Dephut

Tim Perunding COP 13

9.

Nenny Sri Utami

Kepala Badan Penelitian DESDM

Tim Perunding COP 13

10.

Umiyatun Hayati Triastuti

Deputi Bappenas

Tim Perunding COP 13

11.

Sri Woro B. Harijono

Kepala BMG

Tim Perunding COP 13

12.

Sulistyowati

Asisten Deputi Menneg LH

Tim Perunding COP 13

13.

Salman Al Farisi

Direktur di Deplu

Tim Perunding COP 13

14.

Sumadjo Gatot Irianto

Direktur di Deptan

Tim Perunding COP 13

15.

Iman Soedradjat

Direktur di Departemen PU

Tim Perunding COP 13

16.

Tri Tharyat

Deplu

Tim Perunding COP 13

17.

Dewi Savitri Wahab

Deplu

Tim Perunding COP 13

18.

Joannes Ekaprasetya

Deplu

Tim Perunding COP 13

19.

Sandy Darmosumarto

Deplu

Tim Perunding COP 13

20.

Tris Mardiyati

KLH

Tim Perunding COP 13

21.

Gunardi

KLH

Tim Perunding COP 13

22.

Yulia Suryanti

KLH

Tim Perunding COP 13

23.

Novrida Masli

KLH

Tim Perunding COP 13

24.

Edvin Adrian

BPPT

Tim Perunding COP 13

25.

Eka Melissa

Pakar

Tim Perunding COP 13

26.

Hendro Sangkoyo

Pakar

Tim Perunding COP 13

NO.

NAMA

INSTANSI

JABATAN

27.

Fitrian Adriansyah

NGO WWF

Tim Perunding COP 13

28.

Gustya Indriani

NGO Pelangi

Tim Perunding COP 13

29.

Wiwiek Awiati

NGO ICEL

Tim Perunding COP 13

30.

Karliansyah

Asisten Deputi Menneg LH

Tim Perunding SBSTA

31.

Mezak M. Rataq

Kepala Balitbang BMG

Tim Perunding SBSTA

32.

Wahyoe Soeprihantoro

Ketua LIPI

Tim Perunding SBSTA

33.

M. Donny Azdan

Direktur di Bappenas

Tim Perunding SBSTA

34.

Kardono

Direktur di BPPT

Tim Perunding SBSTA

35.

Herdradjat Natawidjaja

Direktur di Deptan

Tim Perunding SBSTA

36.

Alex Ritraubun

Direktur di DKP

Tim Perunding SBSTA

37.

Ferrianto Djais

Direktur di DKP

Tim Perunding SBSTA

38.

Taswin Hanif

Deplu

Tim Perunding SBSTA

39.

Yudhi Ardian

Deplu

Tim Perunding SBSTA

40.

Novrizal

Deplu

Tim Perunding SBSTA

41.

Dadang Hilman

KLH

Tim Perunding SBSTA

42.

Nur Adi Wardoyo

KLH

Tim Perunding SBSTA

43.

Upik Siti Aslia

KLH

Tim Perunding SBSTA

44.

Prasetyadi Utomo

KLH

Tim Perunding SBSTA

45.

Yuli Setyanto

KLH

Tim Perunding SBSTA

46.

Yetty Rusly

Dephut

Tim Perunding SBSTA

47.

Krisfianti Ginoga

Dephut

Tim Perunding SBSTA

48.

Ronny M. Bishry

BPPT

Tim Perunding SBSTA

49.

Widiatmini S. Winanti

BPPT

Tim Perunding SBSTA

50.

Alvini Pranoto

Kementrian Ristek

Tim Perunding SBSTA

51.

Ego Syahrial

Lemigas

Tim Perunding SBSTA

52.

Armi Susandi

ITB

Tim Perunding SBSTA

53.

Saut Lubis

ITB

Tim Perunding SBSTA

54.

Fabby Tumiwa

NGO IESR

Tim Perunding SBSTA

55.

Hardiv H. Situmeang

NGO KNI-WC

Tim Perunding SBSTA

56.

Heru Santoso

NGO CIFOR

Tim Perunding SBSTA

57.

Hadi Pasaribu

Dirjen di Dephut

Tim Perunding CMP 3

58.

M Lobo Balia

Staf Ahli Menter ESDM

Tim Perunding CMP 3

59.

Deddy Saleh

Direktur di Depdag

Tim Perunding CMP 3

60.

Nur Masripatin

Sekretaris Litbang Dephut

Tim Perunding CMP 3

61.

Yusra Khan

Sekretaris Litbang Deplu

Tim Perunding CMP 3

NO.

NAMA

INSTANSI

JABATAN

62.

Cecep Herawan

Deplu

Tim Perunding CMP 3

63.

Armanatha Natsir

Deplu

Tim Perunding CMP 3

64.

Haneda Sri Mulyanto

KLH

Tim Perunding CMP 3

65.

Maritje Hutapea

Departemen ESDM

Tim Perunding CMP 3

66.

Andri Akhbar Marthen

NGO CERINDO

Tim Perunding CMP 3

67.

Komara

Staf Ahli Menko Perekonomian

Tim Perunding SBI

68.

Anggito Abimanyu

Kepala Badan Fiskal Depkeu

Tim Perunding SBI

69.

Laksmi Dhewanti

Asisten Deputi Menneg LH

Tim Perunding SBI

70.

Agus Wahyudi

Kepala Badan Litbang Depperind

Tim Perunding SBI

71.

Ronald Silaban

Direktur di Depkeu

Tim Perunding SBI

72.

Askolani

Direktur di Depkeu

Tim Perunding SBI

73.

Amnu Fuady

Direktur di Depkeu

Tim Perunding SBI

74.

Agustaviano Sofyan

Deplu

Tim Perunding SBI

75.

Medrilzam

Bappenas

Tim Perunding SBI

76.

Syaiful Anwar

Dephut

Tim Perunding SBI

77.

Damayanti Ratunanda

KLH

Tim Perunding SBI

78.

Ari Muhammad

NGO WWF

Tim Perunding SBI

.

Indonesia sebagai pemimpin negosiasi dihadapkan pada posisi yang sulit. Di satu sisi Indonesia adalah negara berkembang yang sering diharapkan berposisi vis a vis dengan negara maju dalam masalah lingkungan. Di sisi lain, Indonesia bertanggung jawab agar sidang mencapai hasil signifikan dan tidak deadlock. Beberapa persiapan Indonesia dalam rangka menghadapi COP-13 diantaranya :

1. Memunculkan wacana Permasalahan pertama yang paling urgen adalah adalah tuntutan dari negara berkembang agar negara-negara maju (sebagai negara Annex I) lebih berkomitmen menjalankan Protokol Kyoto, yaitu mengurangi emisi GRK secara kolektif sebesar 5,2 persen pada periode 2008-2012 dibandingkan dengan tahun 1990. Nyatanya, meski sampai saat ini telah 141 negara meratifikasi protokol itu (termasuk Indonesia), masih ada negara maju yang belum meratifikasinya. Kedua, negosiasi tentang adaptation fund. Negara berkembang yang tergabung dalam G-77 mempunyai keinginan untuk mewujudkan bantuan melalui mekanisme keuangan yang lebih konkret, seperti bantuan dalam bentuk kegiatan atau program adaptasi, daripada hanya technical assistance. Ketiga, negara-negara maju ingin agar negara berkembang yang pertumbuhan industrinya pesat, seperti Cina, India, dan Brasil dimasukkan sebagai negara Annex I karena selama ini mereka juga menjadi penyumbang kenaikan GRK. Keempat, isu clean development mechanism (CDM) adalah hal yang penting segera dituntaskan agar mekanisme implementasi proyek lingkungan lebih jelas, transparan, dan bertanggung jawab.

2. Pertemuan para menteri keuangan dari 30 negara dan 9 pimpinan lembaga keuangan multilateral dengan tujuan sebagai bentuk inisiatif untuk melanjutkan proses pembahasan isue perubahan iklim di antara Menteri-menteri Keuangan. Ada tiga topik utama yang telah dibahas, yaitu: pertama, menumbuhkan kepedulian akan besarnya tantangan pembangunan. Kedua, pembahasan tentang instrument kebijakan yang dapat digunakanuntuk mempromosikan kegiatan mitigasi maupun adaptasi. Ketiga, mendorong pembahasan tentang tindakan kolektif atau instrument yang dapat membantu Menteri-menteri Keuangan dalam merespon tantangan global.

3. Departemen Kehutanan menempuh 3 (tiga) tahapan penanganan isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Indonesia /REDDI). Pengurangan emisi dari REDDI merupakan terjemahan initiatif internasional ke dalam konteks nasional. Oleh karenanya REDDI tidak didesain eksklusif terhadap kebijakan kehutanan, tetapi untuk mendukung tercapainya tujuan kebijakan dan upaya upaya yang dilakukan dalam menuju pembangunan kehutanan yang berkelanjutan. Ketiga tahapan penanganan REDDI adalah sebagai berikut :

a. Fase Persiapan. pada fase ini kegiatan difokuskan pada penyiapan basis negosiasi di COP-13 dan penyiapan desain serta kriteria pemilihan lokasi sebagai pilot sites. Studi komprehensif yang mencakup aspek metodologi dan strategi serta kajian aspek pasar dan insentif, dilakukan selama bulan Juli-November 2007. Pembiayaan didukung oleh World Bank, UK-DFID, Jerman, dan Australia. Hasil studi akan dipresentasikan pada side events di COP. Diharapkan pada COP-13 sudah dapat diumumkan lokasi potensial untuk pilot activities berdasarkan kriteria yang dibangun dalam studi di atas, serta calon lokasi pilot activities yang telah mendapat komitmen dukungan pendanaannya.

b. Fase transisi, pada tahap transisi, pelaksanaan pilot activities, dimaksudkan sebagai sarana learning by doing process, termasuk di dalamnya testing metodologi dan strategi yang dihasilkan dari studi sebelumnya, termasuk mekanisme insentif. Pilot activities dapat berupa pengurangan emisi dari deforestasi, pengurangan emisi dari degradasi, dan konservasi.

c. Fase implementasi, mulai tahun 2012 atau lebih awal tergantung perkembangan dalam negosiasi COP, yang merupakan pelaksanaan mekanisme REDDI dengan modalities, rules, dan prosedur sesuai keputusan COP

4. Mengadakan Pertemuan informal di Bogor yang dihadiri 36 negara. Dari pertemuan itu disepakati akan diusulkannya Bali Roadmap sebagai arah menuju perundingan pasca 2012. Bali Roadmap memuat empat blok penyusun penting bagi kerja sama jangka panjang di bidang mitigasi, adaptasi, teknologi, investasi dan pendanaan. Pihak NGO menghendaki adanya mandate yang lebih tegas dan mengikat, dengan target pemotongan emisi sampai 50 % dan perspektif keadilan, bukan perdagangan.

V. BALI ROADMAP SEBAGAI HASIL DARI COP KE-13

Setelah tertunda sekitar 28 jam, konferensi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) PBB di Bali akhirnya selesai pada tanggal 15 Desember 2007. Deadlock dipicu perbedaan pendapat negara-negara berkembang dengan Amerika didukung Jepang dan Canada. Walaupun negara-negara berkembang dan Uni Eropa telah sepakat, Amerika dan dua sekutu bertahan menolak draft Bali Roadmap. Ketiga negara tersebut tidak setuju jika pada dokumen hasil UNFCCC Bali dicantumkan target negara maju (Annex 1) menurunkan emisi karbon sebesar 25-40 persen di bawah level 1999 pada 2020. Sidang akhirnya menyepakati Bali Roadmap atau Peta Jalan Bali yang berisi sebagai berikut :

1. Adaptasi

Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang melalui metode clean development mechanism (CDM). CDM ialah salah satu dari ketiga metode pengurangan emisi CO2 yang ditetapkan dalam Kyoto Protocol. Proyek ini dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF). Kesepakatan ini memastikan adanya dana adaptasi pada tahap awal periode komitmen pertama Kyoto Protocol (2008-2012). Dana yang tersedia berjumlah sekitar 37 juta euro dan mengingat banyaknya jumlah proyek CDM, angka ini akan bertambah menjadi sekitar US$ 80-300 juta dalam periode 2008-2012. Beberapa negara peserta konferensi belum menyepakati pelaksanaan proyek adaptasi ini dikarenakan sulitnya regulasi dan penyatuan kebijakan nasional. Isu tersebut akan diagendakan untuk dibahas selanjutnya di Bonn (Jerman) pada tahun 2008.

2. Teknologi

Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk memulai program strategis untuk memfasilitasi teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Tujuan program ini adalah untuk memberikan contoh proyek yang konkrit, menciptakan lingkungan investasi yang menarik, dan juga termasuk memberikan insentif untuk sektor swasta untuk melakukan alih teknologi. Global Environment Facility (GEF) akan menyusun program ini bersama dengan lembaga keuangan internasional dan perwakilan-perwakilan dari sektor keuangan swasta. Negara-negara peserta konferensi juga bersepakat untuk memperpanjang mandat Expert Group on Technology Transfer selama 5 tahun. Grup ini diminta memberikan perhatian khusus pada kesenjangan dan hambatan pada penggunaan dan pengaksesan lembaga-lembaga keuangan.

3. Reducing emissions from deforestation in developing countries (REDD)

Emisi karbon yang disebabkan karena deforestasi hutan merupakan isu utama di Bali. Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk menyusun sebuah program REDD dan menurunkan hingga tahapan metodologi. REDD akan memfokuskan diri kepada penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai komponen penting dalam perubahan iklim sampai 2012.

4. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk mengakui Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling komprehensif dan otoritatif.

5. Clean Development Mechanisms (CDM)

Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk menggandakan batas ukuran proyek penghutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan mengembangkan angka dan jangkauan wilayah negara CDM ke negara yang sebelumnya tak bisa ikut mengimplementasikan mekanisme pengurangan emisi CO2 ini.

6. Negara Miskin

Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk memperpanjang mandat Least Developed Countries (LDCs) Expert Group. Grup ini akan menyediakan saran kritis bagi negara miskin dalam menentukan kebutuhan adaptasi. Hal tersebut didasari fakta bahwa negara-negara miskin memiliki kapasitas adaptasi yang rendah.

VI. PEMBAHASAN

Bali Roadmap atau Peta Jalan Bali adalah sebuah langkah awal menuju perundingan selanjutnya, yang akan dilaksanakan di Copenhagen, Norwegia tahun 2009. Karena itu, pendeklarasian Bali Roadmap adalah sebuah langkah maksimal dan penting dalam upaya untuk menghasilkan kesepakatan baru pasca berakhirnya Protokol Kyoto pada tahun 2012. Menurut Kompas (15 Desember 2007), Bali Roadap mengandung pilar sebagai berikut :

1. Respons atas temuan keempat Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) bahwa keterlambatan pengurangan emisi akan menghambat peluang mencapai tingkat stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan resiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan iklim.

2. Pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai tujuan utama.

3. Keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) secara efektif dan berkelanjutan.

4. Penegasan kewajiban negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi, termasuk pengurangan emisi yang terkuantifikasi.

5. Penegasan kesediaan sukarela negara berkembang mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan, dan bisa diverifikasi, dalam konteks pembangunan berkelanjutan, didukung teknologi, dana, dan peningkatan kapasitas.

6. Penguatan kerja sama di bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi.

7. Memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi dan alih teknologi terkait perubahan iklim

Hasil Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang dirangkum dalam Peta Jalan Bali (Bali Roadmap) tidak memuaskan kalangan ilmuwan dan aktifis lingkungan pada beberapa hal seperti :

1. Peta Jalan Bali atau Bali Road Map yang disepakati disesalkan sejumlah kalangan. Penyesalan mereka didasarkan atas tak tercantumnya target pengurangan emisi sebesar 25 % - 40 % hingga 2020, padahal menurut para ilmuwan dan aktifis lingkungan, persoalan itu justru yang paling esensial untuk mengurangi pemanasan global karena untuk menjaga kenaikan suhu bumi tetap berada di bawah 2 derajat celcius maka harus mereduksi emisi sebesar 25 % - 40 % hingga 2020. Komprominya, Bali Roadmap hanya menegaskan kewajiban negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi; termasuk pengurangan emisi yang ‘terkuantifikasi’.

2. Departemen Kehutanan RI meluncurkan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). REDD diharapkan merupakan sebuah skema reduksi emisi karbon dari penggundulan dan kerusakan hutan di negara berkembang. Proposal ini terganjal oleh sikap AS dan negara maju yang mendesakkan agar insentif dalam REDD dimasukkan dalam konteks penggunaan lahan (land use) (Republika, 13/12). Menurut Walhi, konsep REDD lebih terkesan sebagai upaya mengalihkan inti masalah perubahan iklim menjadi konsesi bagi negara-negara maju tetap menghasilkan emisi yang masif. Negara maju berpopulasi 15% dari total populasi global, tetapi emisi karbon yang mereka timbulkan adalah 70% dan menimbulkan apa yang sekarang disebut dengan perubahan iklim. (Okezone, 6/12/2007).

3. Adanya program Clean Development Mechanism (CDM) yang digagas pada UNFCCC Montreal, Desember 2005. Dengan mekanisme CDM ini, industri di negara berkembang dapat menjual upaya pengurangan emisinya kepada negara maju. Artinya, negara-negara maju bisa ‘berlepas tangan’ tatkala sudah memberikan bantuan sejumlah dana kepada negara-negara berkembang dalam mempertahankan dan memperbaiki hutannya untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan penyerap dari emisi karbon. Yang kemudian menjadi kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa CDM melegalkan ‘perdagangan karbon’. Termasuk menurut Ketua ICOP-13, Rahmat Witular : “Saya sangat menyadari, perubahan iklim telah berbelok menjadi persoalan bisnis,” (Republika, 3/12/2007).

4. Pendanaan adaptasi diserahkan kepada lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB dalam membiayai proyek yang terkait dengan penurunan emisi di negara berkembang, baik yang terkait dengan CDM atau kehutanan. Sebagaimana diketahui Amerika Serikat (AS) adalah pemegang saham mayoritas di Bank Dunia, sementara Jepang adalah pemegang saham yang mayoritas di ADB. Maka indikasinya adalah bahwa hasil UNFCCC ini akan tersandera oleh kepentingan negara maju.

5. Transfer teknologi dan REDD yang jika tidak dikawal dengan kebijaksanaan nasional akan menindas hak masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan.


VII. KEUNTUNGAN BALI ROADMAP BAGI INDONESIA

Konferensi Bali memang tidak menegosiasikan sasaran-sasaran bilateral. Tapi bagaimanapun dari Bali Roadmap, ada sebuah kerangka untuk melakukan pembangunan berkelanjutan, untuk terus mengurangi kemiskinan, pengangguran, kelestarian hutan, dan lain-lain,"

Masalah REDD atau pengurangan emisi dari penggundulan dan kerusakan hutan, mendapat tempat yang bagus. Norwegia telah memberikan komitmen bantuan kepada Indonesia dalam kerangka REDD ini. Dalam kerangka REDD ini, Inggris siap membantu Indonesia mengucurkan dana sekitar 30 juta dolar AS melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Inggris telah memberikan 500 ribu dolar AS unuk mendukung Indonesia Forest Climate Alliance. Capaian lain, Australia menyatakan komitmennya melakukan kerjasama reboisasi dengan Indonesia. Indonesia selaku pemilik 40 persen cadangan panas bumi dunia juga melakukan penandatanganan kerjasama program pengembangan panas bumi (geothermal).

VIII. PENUTUP

United Nations Climate Change Conference 2007 yang dilaksanakan di Denpasar pada tanggal 3-14 Desember 2007 lalu. Konferensi yang berlangsung selama dua minggu ini menandai langkah maju untuk memperlambat pemanasan global yang disebabkan karena perilaku manusia, terutama penggunaan bahan bakar minyak yang berasal dari fosil. Konferensi tersebut telah menghasilkan sejumlah keputusan dan yang paling utama di antaranya adalah Bali Roadmap.

Bali Roadmap merupakan peta jalan menuju kerangka pengaturan baru perubahan iklim pasca Protokol Kyoto,yang ditujukan untuk pembicaraan lebih lanjut guna menghasilkan kesepakatan baru, yang akan digelar di Copenhagen pada tahun 2009.

"Bali Roadmap adalah sebuah jalan untuk semua negara yang telah menyepakati untuk dapat menjalankan tugasnya dalam penyelamatan planet bumi ini, dengan langkah-langkah mengurangi emisi CO2," kata Presiden COP-13 ; Rachmat Witoelar (Antara News, 16/12/07).

DAFTAR PUSTAKA


----------, 2007, Bali Roadmap Tak Menyentuh Substansi Persoalan, Metrotvnews.com, Jakarta.

Andy Novianto, 2007, Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi di Indonesia, http://www.indonesia.go.id, Jakarta.

Arfi Bambani Amri, 2007, Poin-poin Bali Roadmap, detikcom.

Awidya Santikajaya, 2007, Indonesia dalam Pemanasan Global, Republika 31 Juli 2007, Jakarta.

Daeng Limpo, 2007, Konsensus Peta Jalan Bali untuk Bumi, Blog at WorldPress.com, Jakarta.

Firdaus Cahyadi, 2007, Peta Jalan Bali Tersandera Negara Maju, http://indonesia.csoforum.net, Jakarta.

Hanan Nugroho, 2004, Ratifikasi Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih dan Pengembangan Sektor Energi Indonesia : Catatan Strategis, Perencanaan Pembangunan, Jakarta.

Handy Hageman, 2007, UNFCCC : Bali Roadmap (Peta Jalan Bali), handy.hageman.com.

Irma Indriani, 2007, Seputar Konferensi Perubahan Iklim Global, http://macklin.tmip-unpad.net , Bandung.

Kunaifi, 2007, Siapa Berkompromi ?, Blog at WorldPress.com, Jakarta.

Sukanda Husin, SH, LLM., 2007, COP 13 : Harapan Anak Bangsa, http://riaupos.com, Riau.

Very Herdiman, 2007, Bali Roadmap : Awal Strategis, PT. Media Nusa Perdana, Jakarta.

Wahyu Hidayat, 2007, UNFCCC 2007 : Bali Roadmap, Kompas Cybermedia, Detiknews, Jakarta.

WWF, 2007, Sekilas tentang Perubahan Iklim dalam Kerangka Negosiasi International, www.wwf.or.id/climate, Jakarta.

Tidak ada komentar: