I. PENDAHULUAN
Pemanasan global telah mengubah seluruh aspek kehidupan. Hidup manusia akan menghadapi tekanan sangat besar karena runtuhnya kualitas lingkungan hidup. Berbagai bencana dahsyat bakal selalu mengincar manusia, dari meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana alam hingga munculnya berbagai wabah penyakit yang semakin mematikan.
Issue pemanasan global (global warming) semakin hangat dibicarakan. Karena pemanasan global telah memicu terjadinya perubahan iklim (climate change) yang akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Pemicu pemanasan global utamanya adalah meningkatnya emisi karbon akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya). Penggunaan energi fosil akan menghasilkan gas karbondioksida (CO2) yang merupakan sumber utama meningkatnya emisi karbon di udara.
II. COP DAN UNFCCC
Conference of the Parties (COP) atau Konferensi Para Pihak adalah otoritas tertinggi dalam kerangka kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change / UNFCCC), yang merupakan asosiasi para pihak dalam meratifikasi konvensi yang bertanggung jawab menjaga konsistensi upaya international dalam mencapai tujuan utama konvensi yang mulai ditanda tangani pada bulan Juni 1992 di Rio De Jeneiro – Brazil dalam KTT Bumi.
Konferensi Para Pihak diselenggarakan satu tahun sekali atau pada saat dibutuhkan (dalam kondisi tertentu, ketika para pihak menghendaki). Penentuan tempat penyelnggaraanCOP didasarkan atas tawaran yang disampaikan Negara calon tuan rumah UNFCCC. Jika tidak ada penawaran, secara otomatis COP akan diselenggarakan di Sekretariat UNFCCC di Bonn – Jerman.
III. REVIEW HASIL COP Ke-1 HINGGA COP Ke-12
COP ke-1 menyepakati MANDAT BERLIN (Berlin Mandate) yang antara lain berisi persetujuan para pihak untuk memulai proses yang memungkinkan untuk mengambil tindakan pada masa setelah tahun 2000, termasuk menguatkan komitmen negara-negara maju melalui adopsi suatu protokol atau instrumen legal lainnya.
Hasil dari COP ke-2 adalah DEKLARASI JENEWA (Geneve Declaration) yang berisi 10 butir deklarasi antara lain berisi ajakan kepada semua pihak untuk mendukung pengembangan protokol dan instrumen legal lainnya yang didasarkan atas temuan ilmiah.
Hasil dari COP ke-3 adalah PROTOKOL KYOTO (Kyoto Protocol) yang menegaskan bahwa :
- Negara-negara Annex I (pada umumnya negara maju/industri) yang dianggap bertanggung jawab terhadap akan mengurangi emisi dari enam gas rumah kaca : karbondioksida, metana, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC secara kolektif sebesar 5,2 % dibandingkan dengan laporan tahun 1990 untuk diterapkan pada periode 2008-2012.
- Untuk mencapai target yang ditetapkan, Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme perdagangan emisi (emission trading,ET), penerapan bersama (joint implementation,JI) dan “mekanisme pembangunan bersih” (clean development mechanism).
- Perdagangan emisi (ET) merupakan mekanisme untuk menjual dan membeli izin untuk melakukan pencemaran (emission permit) atau melakukan perdagangan karbon, yang dapat dilakukan misalnya di bursa karbon dunia yang diharapkan berkembang.
- Penerapan bersama (JI) mewadahi mekanisme untuk melakukan investasi proyek pengurangan emisi di suatu negara Annex-I oleh suatu negara Annex-I lainnya. Kredit pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan diberikan kepada negara yang melakukan investasi. Selanjutnya, mekanisme yang melibatkan negara berkembang (bukan negara Annex-I) adalah yang dikenal sebagai mekanisme pembangunan bersih (CDM).
- CDM merupakan mekanisme Protokol Kyoto yang memungkinkan negara Annex-I dan negara berkembang bekerja -sama untuk melakukan “pembangunan bersih”. Dengan fasilitas CDM, negara Annex-I dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya dengan melakukan proyek “pengurangan emisi” di suatu negara berkembang dan sang negara berkembang mendapatkan kompensasi finansial dan teknologi dari kerja-sama tersebut. Tujuan CDM sebagaimana ditegaskan oleh Protokol Kyoto (Pasal 12) adalah membantu negara berkembang melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan turut menyumbang bagi pencapaian tujuan pengurangan emisi global, serta untuk membantu negara Annex-I mencapai target pengurangan emisi mereka. Investasi negara Annex-I di negara berkembang yang menghasilkan penurunan emisi akan disertifikasi dan kredit dari “pengurangan emisi yang disertifikasi” (certified emission reduction, CER) tersebut akan diberikan kepada negara Annex-I.
Hasil dari COP ke-4 adalah Rancangan Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan of Action – BAPA). Merupakan COP pertama yang dilangsungkan di negara berkembang. Bertujuan merancang tindak lanjut implementasi Protokol Kyoto berikut tenggat waktunya, terutama yang berhubungan dengan alih teknologi dan mekanisme keuangan – khususnya bagi negara-negara berkembang. Dalam BAPA, para pihak mengalokasikan tenggat waktu dua tahun untuk memperkuat komitmen terhadap konvensi dan penyusunan rencana serta pelaksanaan Protokol Kyoto.
Hasil dari COP ke-5 adalah merumuskan periode implementasi BAPA yang berisi pertemuan pertemuan teknis yang relatif tidak menghasilkan kesimpulan-kesimpulan besar.
COP ke-6 disebut sebagai malapetaka negosiasi dalam sejarah penyelenggaraan COP karena tidak satupun implementasi BAPA yang berkaitan dengan pengoperasian Protokol Kyoto, yang merupakan agenda utama COP ini dapat disepakati. Hasilnya adalah penundaan (suspend) COP ke-6 dan dilanjutkan (resumed) pada COP ke-6 bagian II yang diselenggarakan di Bonn – Jerman.
COP ke-6 Bagian II menghasilkan Kesepakatan Bonn (Bonn Agreement) dalam rangka implementasi BAPA. Berisi, antara lain, mekanisme pendanaan di bawah protokol dengan referensi beberapa pasal Protokol Kyoto, membentuk dana baru di luar ketentuan konvensi bagi negara berkembang, dan membentuk dana adaptasi dari Clean Development Mechanism (CDM). Untuk dampak negatif perubahan iklim, pendanaannya akan ditangani melalui Global Environmental Facility (GEF) dan point tentang pembangunan dan alih teknologi dengan membentuk kelompok ahli teknologi yang beranggotakan 20 orang dengan distribusi geografis merata.
COP ke-7 menghasilkan Persetujuan Marrakesh (
COP ke-8 menghasilkan Deklarasi New
Ada beberapa isu yang dibahas dalam COP ke-9 antara lain aturan mengenai mekanisme pembangunan bersih di sector kehutanan. Hasilnya berupa kesepakatan untuk mengadopsi keputusan kegiatan aforestasi dan reforestasi di bawah skema Clean Development Mechanisme. Juga dibahas isu-isu lain yang berkaitan dengan bukti ilmiah perubahan iklim, mekanisme pendanaan dan seruan untuk meratifikasi Protokol Kyoto.
Membahas adaptasi perubahan iklim dan menghasilkan BUENOS AIRES PROGRAMME OF WORK ON ADAPTATION AND RESPONSE MEASURES. Tujuan dari COP ini adalah mendorong Negara maju mengalokasikan sebagian sumber dayanya untuk Negara berkembang yang telah merasakan dampak buruk perubahan iklim. Amerika Serikat menyatakan kembali bersedia membicarakan isu perubahan iklim dimana sebelumnya AS selalu tidak percaya kepada Protokol Kyoto dan hanya bersedia berpartisipasi dalam pertukaran informasi.
Hasilnya adalah Rancangan Aksi Montreal (MONTREAL ACTION PLAN) yaitu para pihak yang telah meratifikasi Protocol Kyoto akan bertemu dalam Conference of Parties Serving as Meeting of Parties to the Kyoto Protokol (COP/MOP), sedangkan para pihak yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto dapat hadir sebagai observer dalam COP/MOP tapi tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan. Juga dihasilkan keputusan bahwa para pihak mempertimbangkan komitmen lanjutan Annex I untuk periode setelah tahun 2012. Isu lain yang dibicarakan adalah menyelesaikan rincian tentang bagaimana melaksanakan Protokol Kyoto, menggalang kesepakatan diantara penanda tangan Protokol Kyoto tentang rencana memperbesar pemotongan emisi gas rumah kaca setelah tahun 2012.
Tema yang dibicarakan adalah seputar pelaksanaan waktu dan besar target emisi komitmen periode II setelah tahun 2012 dan kemungkinan adanya skema lain selain CDM dalam Protokol Kyoto. Ditetapkan Five Year Programme of Work on Impacts, Vulnerability and Adaptation to Climate Change, yang ditujukan membantu semua pihak untuk meningkatkan pengertian dan pengkajian dampak, kerentanan dan adaptasi, serta untuk membuat agar keputusan mengenai aksi dan tindakan adaptasi yang praktis mendapatkan informasi yang memadai guna menanggapi perubahan iklim.
IV. CONFERENCE ON PARTIES KE-13 DI
COP ke-13 diselenggarakan pada tanggal 3 – 14 Desember 2007 di Bali, dengan jumlah peserta ± 10.000 orang dari 189 negara yang merupakan delegasi resmi dari badan-badan PBB, utusan resmi pemerintah, lembaga international dan organisasi nasional. Isu utama yang dibahas adalah reduksi emisi gas rumah kaca dan empat isu penting perubahan iklim, yakni mitigasi, adaptasi, alih tehnologi, dan pendanaan.
Konferensi ini sangat berarti bagi
Berikut nama 78 delegasi Indonesia selengkapnya:
NO. | NAMA | INSTANSI | JABATAN |
1. | Rachmat Witoelar | Menneg Lingkungan Hidup | Ketua Delegasi |
| | (berkenaan dengan statusnya sebagai Presiden COP ke-13 maka Ketua Delegasi diberikan kepada Emil Salim) | |
2. | Emil Salim | Dewan Pertimbangan Presiden | Wakil Ketua Delegasi |
3. | Masnellyarti Hilman | Deputi Menneg LH | Wakil Ketua Delegasi |
4. | Rezlan Ishar Jenie | Dirjen Urusan Luar Negeri Deplu | Wakil Ketua Delegasi |
5. | Mahendra Siregar | Deputi Menko Perekonomian | Wakil Ketua Delegasi |
6. | Rizal Mallarangeng | Staf Khusus Menko Kesra | Wakil Ketua Delegasi |
7. | Ismid Hadad | Kehati Foundation | Sekretaris |
8. | Sunaryo | Staf Ahli Dephut | Tim Perunding COP 13 |
9. | Nenny Sri Utami | Kepala Badan Penelitian DESDM | Tim Perunding COP 13 |
10. | Umiyatun Hayati Triastuti | Deputi Bappenas | Tim Perunding COP 13 |
11. | Sri Woro B. Harijono | Kepala BMG | Tim Perunding COP 13 |
12. | Sulistyowati | Asisten Deputi Menneg LH | Tim Perunding COP 13 |
13. | Salman Al Farisi | Direktur di Deplu | Tim Perunding COP 13 |
14. | Sumadjo Gatot Irianto | Direktur di Deptan | Tim Perunding COP 13 |
15. | Iman Soedradjat | Direktur di Departemen PU | Tim Perunding COP 13 |
16. | Tri Tharyat | Deplu | Tim Perunding COP 13 |
17. | Dewi Savitri Wahab | Deplu | Tim Perunding COP 13 |
18. | Joannes Ekaprasetya | Deplu | Tim Perunding COP 13 |
19. | Sandy Darmosumarto | Deplu | Tim Perunding COP 13 |
20. | Tris Mardiyati | KLH | Tim Perunding COP 13 |
21. | Gunardi | KLH | Tim Perunding COP 13 |
22. | Yulia Suryanti | KLH | Tim Perunding COP 13 |
23. | Novrida Masli | KLH | Tim Perunding COP 13 |
24. | Edvin Adrian | BPPT | Tim Perunding COP 13 |
25. | Eka Melissa | Pakar | Tim Perunding COP 13 |
26. | Hendro Sangkoyo | Pakar | Tim Perunding COP 13 |
NO. | NAMA | INSTANSI | JABATAN |
27. | Fitrian Adriansyah | NGO WWF | Tim Perunding COP 13 |
28. | Gustya Indriani | NGO Pelangi | Tim Perunding COP 13 |
29. | Wiwiek Awiati | NGO ICEL | Tim Perunding COP 13 |
30. | Karliansyah | Asisten Deputi Menneg LH | Tim Perunding SBSTA |
31. | Mezak M. Rataq | Kepala Balitbang BMG | Tim Perunding SBSTA |
32. | Wahyoe Soeprihantoro | Ketua LIPI | Tim Perunding SBSTA |
33. | M. Donny Azdan | Direktur di Bappenas | Tim Perunding SBSTA |
34. | Kardono | Direktur di BPPT | Tim Perunding SBSTA |
35. | Herdradjat Natawidjaja | Direktur di Deptan | Tim Perunding SBSTA |
36. | Alex Ritraubun | Direktur di DKP | Tim Perunding SBSTA |
37. | Ferrianto Djais | Direktur di DKP | Tim Perunding SBSTA |
38. | Taswin Hanif | Deplu | Tim Perunding SBSTA |
39. | Yudhi Ardian | Deplu | Tim Perunding SBSTA |
40. | Novrizal | Deplu | Tim Perunding SBSTA |
41. | Dadang Hilman | KLH | Tim Perunding SBSTA |
42. | Nur Adi Wardoyo | KLH | Tim Perunding SBSTA |
43. | Upik Siti Aslia | KLH | Tim Perunding SBSTA |
44. | Prasetyadi Utomo | KLH | Tim Perunding SBSTA |
45. | Yuli Setyanto | KLH | Tim Perunding SBSTA |
46. | Yetty Rusly | Dephut | Tim Perunding SBSTA |
47. | Krisfianti Ginoga | Dephut | Tim Perunding SBSTA |
48. | Ronny M. Bishry | BPPT | Tim Perunding SBSTA |
49. | Widiatmini S. Winanti | BPPT | Tim Perunding SBSTA |
50. | Alvini Pranoto | Kementrian Ristek | Tim Perunding SBSTA |
51. | Ego Syahrial | Lemigas | Tim Perunding SBSTA |
52. | Armi Susandi | ITB | Tim Perunding SBSTA |
53. | Saut Lubis | ITB | Tim Perunding SBSTA |
54. | Fabby Tumiwa | NGO IESR | Tim Perunding SBSTA |
55. | Hardiv H. Situmeang | NGO KNI-WC | Tim Perunding SBSTA |
56. | Heru Santoso | NGO CIFOR | Tim Perunding SBSTA |
57. | Hadi Pasaribu | Dirjen di Dephut | Tim Perunding CMP 3 |
58. | M Lobo Balia | Staf Ahli Menter ESDM | Tim Perunding CMP 3 |
59. | Deddy Saleh | Direktur di Depdag | Tim Perunding CMP 3 |
60. | Nur Masripatin | Sekretaris Litbang Dephut | Tim Perunding CMP 3 |
61. | Yusra Khan | Sekretaris Litbang Deplu | Tim Perunding CMP 3 |
NO. | NAMA | INSTANSI | JABATAN |
62. | Cecep Herawan | Deplu | Tim Perunding CMP 3 |
63. | Armanatha Natsir | Deplu | Tim Perunding CMP 3 |
64. | Haneda Sri Mulyanto | KLH | Tim Perunding CMP 3 |
65. | Maritje Hutapea | Departemen ESDM | Tim Perunding CMP 3 |
66. | Andri Akhbar Marthen | NGO CERINDO | Tim Perunding CMP 3 |
67. | Komara | Staf Ahli Menko Perekonomian | Tim Perunding SBI |
68. | Anggito Abimanyu | Kepala Badan Fiskal Depkeu | Tim Perunding SBI |
69. | Laksmi Dhewanti | Asisten Deputi Menneg LH | Tim Perunding SBI |
70. | Agus Wahyudi | Kepala Badan Litbang Depperind | Tim Perunding SBI |
71. | Ronald Silaban | Direktur di Depkeu | Tim Perunding SBI |
72. | Askolani | Direktur di Depkeu | Tim Perunding SBI |
73. | Amnu Fuady | Direktur di Depkeu | Tim Perunding SBI |
74. | Agustaviano Sofyan | Deplu | Tim Perunding SBI |
75. | Medrilzam | Bappenas | Tim Perunding SBI |
76. | Syaiful Anwar | Dephut | Tim Perunding SBI |
77. | Damayanti Ratunanda | KLH | Tim Perunding SBI |
78. | Ari Muhammad | NGO WWF | Tim Perunding SBI |
.
1. Memunculkan wacana Permasalahan pertama yang paling urgen adalah adalah tuntutan dari negara berkembang agar negara-negara maju (sebagai negara Annex I) lebih berkomitmen menjalankan Protokol Kyoto, yaitu mengurangi emisi GRK secara kolektif sebesar 5,2 persen pada periode 2008-2012 dibandingkan dengan tahun 1990. Nyatanya, meski sampai saat ini telah 141 negara meratifikasi protokol itu (termasuk Indonesia), masih ada negara maju yang belum meratifikasinya. Kedua, negosiasi tentang adaptation fund. Negara berkembang yang tergabung dalam G-77 mempunyai keinginan untuk mewujudkan bantuan melalui mekanisme keuangan yang lebih konkret, seperti bantuan dalam bentuk kegiatan atau program adaptasi, daripada hanya technical assistance. Ketiga, negara-negara maju ingin agar negara berkembang yang pertumbuhan industrinya pesat, seperti Cina, India, dan Brasil dimasukkan sebagai negara Annex I karena selama ini mereka juga menjadi penyumbang kenaikan GRK. Keempat, isu clean development mechanism (CDM) adalah hal yang penting segera dituntaskan agar mekanisme implementasi proyek lingkungan lebih jelas, transparan, dan bertanggung jawab.
2. Pertemuan para menteri keuangan dari 30 negara dan 9 pimpinan lembaga keuangan multilateral dengan tujuan sebagai bentuk inisiatif untuk melanjutkan proses pembahasan isue perubahan iklim di antara Menteri-menteri Keuangan. Ada tiga topik utama yang telah dibahas, yaitu: pertama, menumbuhkan kepedulian akan besarnya tantangan pembangunan. Kedua, pembahasan tentang instrument kebijakan yang dapat digunakanuntuk mempromosikan kegiatan mitigasi maupun adaptasi. Ketiga, mendorong pembahasan tentang tindakan kolektif atau instrument yang dapat membantu Menteri-menteri Keuangan dalam merespon tantangan global.
3. Departemen Kehutanan menempuh 3 (tiga) tahapan penanganan isu pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in
a. Fase Persiapan. pada fase ini kegiatan difokuskan pada penyiapan basis negosiasi di COP-13 dan penyiapan desain serta kriteria pemilihan lokasi sebagai pilot sites. Studi komprehensif yang mencakup aspek metodologi dan strategi serta kajian aspek pasar dan insentif, dilakukan selama bulan Juli-November 2007. Pembiayaan didukung oleh World Bank, UK-DFID, Jerman, dan Australia. Hasil studi akan dipresentasikan pada side events di COP. Diharapkan pada COP-13 sudah dapat diumumkan lokasi potensial untuk pilot activities berdasarkan kriteria yang dibangun dalam studi di atas, serta calon lokasi pilot activities yang telah mendapat komitmen dukungan pendanaannya.
b. Fase transisi, pada tahap transisi, pelaksanaan pilot activities, dimaksudkan sebagai sarana learning by doing process, termasuk di dalamnya testing metodologi dan strategi yang dihasilkan dari studi sebelumnya, termasuk mekanisme insentif. Pilot activities dapat berupa pengurangan emisi dari deforestasi, pengurangan emisi dari degradasi, dan konservasi.
c. Fase implementasi, mulai tahun 2012 atau lebih awal tergantung perkembangan dalam negosiasi COP, yang merupakan pelaksanaan mekanisme REDDI dengan modalities, rules, dan prosedur sesuai keputusan COP
4. Mengadakan Pertemuan informal di Bogor yang dihadiri 36 negara. Dari pertemuan itu disepakati akan diusulkannya Bali Roadmap sebagai arah menuju perundingan pasca 2012. Bali Roadmap memuat empat blok penyusun penting bagi kerja sama jangka panjang di bidang mitigasi, adaptasi, teknologi, investasi dan pendanaan. Pihak NGO menghendaki adanya mandate yang lebih tegas dan mengikat, dengan target pemotongan emisi sampai 50 % dan perspektif keadilan, bukan perdagangan.
V.
Setelah tertunda sekitar 28 jam, konferensi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) PBB di Bali akhirnya selesai pada tanggal 15 Desember 2007. Deadlock dipicu perbedaan pendapat negara-negara berkembang dengan Amerika didukung Jepang dan
1. Adaptasi
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang melalui metode clean development mechanism (CDM). CDM ialah salah satu dari ketiga metode pengurangan emisi CO2 yang ditetapkan dalam Kyoto Protocol. Proyek ini dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF). Kesepakatan ini memastikan adanya dana adaptasi pada tahap awal periode komitmen pertama Kyoto Protocol (2008-2012). Dana yang tersedia berjumlah sekitar 37 juta euro dan mengingat banyaknya jumlah proyek CDM, angka ini akan bertambah menjadi sekitar US$ 80-300 juta dalam periode 2008-2012. Beberapa negara peserta konferensi belum menyepakati pelaksanaan proyek adaptasi ini dikarenakan sulitnya regulasi dan penyatuan kebijakan nasional. Isu tersebut akan diagendakan untuk dibahas selanjutnya di
2. Teknologi
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk memulai program strategis untuk memfasilitasi teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Tujuan program ini adalah untuk memberikan contoh proyek yang konkrit, menciptakan lingkungan investasi yang menarik, dan juga termasuk memberikan insentif untuk sektor swasta untuk melakukan alih teknologi. Global Environment Facility (GEF) akan menyusun program ini bersama dengan lembaga keuangan internasional dan perwakilan-perwakilan dari sektor keuangan swasta. Negara-negara peserta konferensi juga bersepakat untuk memperpanjang mandat Expert Group on Technology Transfer selama 5 tahun. Grup ini diminta memberikan perhatian khusus pada kesenjangan dan hambatan pada penggunaan dan pengaksesan lembaga-lembaga keuangan.
3. Reducing emissions from deforestation in developing countries (REDD)
Emisi karbon yang disebabkan karena deforestasi hutan merupakan isu utama di
4. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk mengakui Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling komprehensif dan otoritatif.
5. Clean Development Mechanisms (CDM)
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk menggandakan batas ukuran proyek penghutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan mengembangkan angka dan jangkauan wilayah negara CDM ke negara yang sebelumnya tak bisa ikut mengimplementasikan mekanisme pengurangan emisi CO2 ini.
6. Negara Miskin
Negara-negara peserta konferensi bersepakat untuk memperpanjang mandat Least Developed Countries (LDCs) Expert Group. Grup ini akan menyediakan saran kritis bagi negara miskin dalam menentukan kebutuhan adaptasi. Hal tersebut didasari fakta bahwa negara-negara miskin memiliki kapasitas adaptasi yang rendah.
VI. PEMBAHASAN
Bali Roadmap atau Peta Jalan Bali adalah sebuah langkah awal menuju perundingan selanjutnya, yang akan dilaksanakan di Copenhagen, Norwegia tahun 2009. Karena itu, pendeklarasian Bali Roadmap adalah sebuah langkah maksimal dan penting dalam upaya untuk menghasilkan kesepakatan baru pasca berakhirnya Protokol Kyoto pada tahun 2012. Menurut Kompas (15 Desember 2007), Bali Roadap mengandung pilar sebagai berikut :
1. Respons atas temuan keempat Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) bahwa keterlambatan pengurangan emisi akan menghambat peluang mencapai tingkat stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan resiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan iklim.
2. Pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai tujuan utama.
3. Keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) secara efektif dan berkelanjutan.
4. Penegasan kewajiban negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi, termasuk pengurangan emisi yang terkuantifikasi.
5. Penegasan kesediaan sukarela negara berkembang mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan, dan bisa diverifikasi, dalam konteks pembangunan berkelanjutan, didukung teknologi, dana, dan peningkatan kapasitas.
6. Penguatan kerja sama di bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi.
7. Memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi dan alih teknologi terkait perubahan iklim
1. Peta Jalan Bali atau Bali Road Map yang disepakati disesalkan sejumlah kalangan. Penyesalan mereka didasarkan atas tak tercantumnya target pengurangan emisi sebesar 25 % - 40 % hingga 2020, padahal menurut para ilmuwan dan aktifis lingkungan, persoalan itu justru yang paling esensial untuk mengurangi pemanasan global karena untuk menjaga kenaikan suhu bumi tetap berada di bawah 2 derajat celcius maka harus mereduksi emisi sebesar 25 % - 40 % hingga 2020. Komprominya, Bali Roadmap hanya menegaskan kewajiban negara-negara maju melaksanakan komitmen dalam hal mitigasi secara terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi; termasuk pengurangan emisi yang ‘terkuantifikasi’.
2. Departemen Kehutanan RI meluncurkan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). REDD diharapkan merupakan sebuah skema reduksi emisi karbon dari penggundulan dan kerusakan hutan di negara berkembang. Proposal ini terganjal oleh sikap AS dan negara maju yang mendesakkan agar insentif dalam REDD dimasukkan dalam konteks penggunaan lahan (land use) (Republika, 13/12). Menurut Walhi, konsep REDD lebih terkesan sebagai upaya mengalihkan inti masalah perubahan iklim menjadi konsesi bagi negara-negara maju tetap menghasilkan emisi yang masif. Negara maju berpopulasi 15% dari total populasi global, tetapi emisi karbon yang mereka timbulkan adalah 70% dan menimbulkan apa yang sekarang disebut dengan perubahan iklim. (Okezone, 6/12/2007).
3. Adanya program Clean Development Mechanism (CDM) yang digagas pada UNFCCC Montreal, Desember 2005. Dengan mekanisme CDM ini, industri di negara berkembang dapat menjual upaya pengurangan emisinya kepada negara maju. Artinya, negara-negara maju bisa ‘berlepas tangan’ tatkala sudah memberikan bantuan sejumlah dana kepada negara-negara berkembang dalam mempertahankan dan memperbaiki hutannya untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan penyerap dari emisi karbon. Yang kemudian menjadi kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa CDM melegalkan ‘perdagangan karbon’. Termasuk menurut Ketua ICOP-13, Rahmat Witular : “Saya sangat menyadari, perubahan iklim telah berbelok menjadi persoalan bisnis,” (Republika, 3/12/2007).
4. Pendanaan adaptasi diserahkan kepada lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB dalam membiayai proyek yang terkait dengan penurunan emisi di negara berkembang, baik yang terkait dengan CDM atau kehutanan. Sebagaimana diketahui Amerika Serikat (AS) adalah pemegang saham mayoritas di Bank Dunia, sementara Jepang adalah pemegang saham yang mayoritas di ADB. Maka indikasinya adalah bahwa hasil UNFCCC ini akan tersandera oleh kepentingan negara maju.
5. Transfer teknologi dan REDD yang jika tidak dikawal dengan kebijaksanaan nasional akan menindas hak masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan.
VII. KEUNTUNGAN BALI ROADMAP BAGI INDONESIA
Konferensi Bali memang tidak menegosiasikan sasaran-sasaran bilateral. Tapi bagaimanapun dari Bali Roadmap, ada sebuah kerangka untuk melakukan pembangunan berkelanjutan, untuk terus mengurangi kemiskinan, pengangguran, kelestarian hutan, dan lain-lain,"
Masalah REDD atau pengurangan emisi dari penggundulan dan kerusakan hutan, mendapat tempat yang bagus. Norwegia telah memberikan komitmen bantuan kepada Indonesia dalam kerangka REDD ini. Dalam kerangka REDD ini, Inggris siap membantu Indonesia mengucurkan dana sekitar 30 juta dolar AS melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Inggris telah memberikan 500 ribu dolar AS unuk mendukung
VIII. PENUTUP
United Nations Climate Change Conference 2007 yang dilaksanakan di Denpasar pada tanggal 3-14 Desember 2007 lalu. Konferensi yang berlangsung selama dua minggu ini menandai langkah maju untuk memperlambat pemanasan global yang disebabkan karena perilaku manusia, terutama penggunaan bahan bakar minyak yang berasal dari fosil. Konferensi tersebut telah menghasilkan sejumlah keputusan dan yang paling utama di antaranya adalah Bali Roadmap.
Bali Roadmap merupakan peta jalan menuju kerangka pengaturan baru perubahan iklim pasca Protokol Kyoto,yang ditujukan untuk pembicaraan lebih lanjut guna menghasilkan kesepakatan baru, yang akan digelar di Copenhagen pada tahun 2009.
"Bali Roadmap adalah sebuah jalan untuk semua negara yang telah menyepakati untuk dapat menjalankan tugasnya dalam penyelamatan planet bumi ini, dengan langkah-langkah mengurangi emisi CO2," kata Presiden COP-13 ; Rachmat Witoelar (Antara News, 16/12/07).
DAFTAR PUSTAKA
----------, 2007, Bali Roadmap Tak Menyentuh Substansi Persoalan, Metrotvnews.com, Jakarta.
Andy Novianto, 2007, Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi di Indonesia, http://www.indonesia.go.id, Jakarta.
Arfi Bambani Amri, 2007, Poin-poin Bali Roadmap, detikcom.
Awidya Santikajaya, 2007, Indonesia dalam Pemanasan Global, Republika 31 Juli 2007, Jakarta.
Daeng Limpo, 2007, Konsensus Peta Jalan Bali untuk Bumi, Blog at WorldPress.com, Jakarta.
Firdaus Cahyadi, 2007, Peta Jalan Bali Tersandera Negara Maju, http://indonesia.csoforum.net, Jakarta.
Hanan Nugroho, 2004, Ratifikasi Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih dan Pengembangan Sektor Energi Indonesia : Catatan Strategis, Perencanaan Pembangunan, Jakarta.
Handy Hageman, 2007, UNFCCC : Bali Roadmap (Peta Jalan Bali), handy.hageman.com.
Irma Indriani, 2007, Seputar Konferensi Perubahan Iklim Global, http://macklin.tmip-unpad.net , Bandung.
Kunaifi, 2007, Siapa Berkompromi ?, Blog at WorldPress.com, Jakarta.
Sukanda Husin, SH, LLM., 2007, COP 13 : Harapan Anak Bangsa, http://riaupos.com, Riau.
Very Herdiman, 2007, Bali Roadmap : Awal Strategis, PT. Media Nusa Perdana,
Wahyu Hidayat, 2007, UNFCCC 2007 : Bali Roadmap, Kompas Cybermedia, Detiknews,
WWF, 2007, Sekilas tentang Perubahan Iklim dalam Kerangka Negosiasi International, www.wwf.or.id/climate,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar