Minggu, 18 Mei 2008

ANALISA HUKUM TERHADAP POLEMIK HAK

Mukti Aji (Januari, 2008)

I. PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, pemerintah Indonesia terus bergulat untuk memperbaiki pengelolaan sumberdaya hutan yang kemampuannya terus menurun. Terlepas dari upaya-upaya pemerintah tersebut, Indonesia masih menghadapi masalah-masalah nyata menyangkut ekosistem hutan primer dan sekunder yang berada di bawah ancaman luar biasa baik oleh industri maupun masyarakat setempat. Kawasan tersebut mencakup 40% dari Kawasan Hutan di bawah tanggungjawab Departemen Kehutanan (Departemen Kehutanan 2003). Deforestasi terus meluas, sebagian besar disebabkan oleh pembalakan liar dan pembakaran hutan.

Konflik dan ketidaksepakatan tentang siapa yang seharusnya mengontrol dan mengelola hutan dan Kawasan Hutan negara merupakan sumber dari berbagai ketegangan serta struktur insentif yang mengarahkan para pemangku-pihak bertindak merusak. Asal-usul kekacauan dan kebingungan ini sebagian besar terletak pada tafsir dari definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangan Departemen Kehutanan. Tafsir-tafsir yang berbeda menyebabkan perbedaan perbedaan mendasar tentang peran pengawasan terhadap sumberdaya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Konflik atas peran kontrol terhadap tanah dan sumberdaya alam yang disebabkan oleh ketidakpastian kepemilikan (negara atau rakyat) akan tetap menjadi masalah kecuali jika ada satu usaha serius dan terorganisir untuk merasionalisasi Kawasan Hutan Negara melalui strategi tindakan yang jelas.

Manfaat pedefinisian dan pengklasifikasian ‘Kawasan Hutan’ sangat penting bagi perdebatan hukum tentang publik versus privat menyangkut prioritas pengelolaan lahan tersebut. Wilayah yang secara resmi diperuntukkan sebagai bagian dari ‘Kawasan Hutan’ harus dikelola di bawah seperangkat ketentuan pembatas yang tidak hanya dapat mengarah kepada perampasan hak-hak lokal tetapi juga untuk membatasi secara administratif beberapa pola pemanfaatan hutan bahkan jika tanah mungkin sangat sesuai untuk pertanian atau wanatani. Sebagai contoh, di Indonesia bukanlah hal yang tidak lazim bagi masyarakat setempat untuk diingkari aksesnya terhadap padang rumput yang dapat digunakan untuk tanaman pangan, karena tanah tersebut telah diklasifikasi sebagai Kawasan Hutan yang hanya akan digunakan untuk penamanan pohon kayu-kayuan.

B. RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH

Di Indonesia kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai ‘Kawasan Hutan’ pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai ‘hutan’ ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian (Fay dan Michon 2005). Hal ini secara umum mengabaikan tata-guna tanah yang faktual di lapangan serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang hidup di tanah tersebut, dimana hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial atau pemerintahan pascakolonial (Dove 1983; Lynch 1992).

Dua prioritas menyangkut hak dasar atas sumberdaya alam dan pengelolaan diusulkan sebagai bagian tak-terpisahkan dari proses rasionalisasi Kawasan Hutan. Yang pertama, memprioritaskan tindakan ke arah pengakuan atau pemberian hak-hak pengelolaan, atau jika memungkinkan, kepemilikan kepada masyarakat setempat (baik secara kolektif maupun perseorangan) atas tanah di dalam Kawasan Hutan. Hukum di Indonesia sampai sejauh ini tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Departemen Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam Kawasan Hutan Negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam (UUD, Pasal 33). Sebaliknya, Undang undang Pokok Agraria (UUPA) memungkinkan bagi negara untuk menguasai secara langsung tanah, jika hanya ketika tidak ada pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Namun, setelah dilakukan telaahan menyangkut hak-hak atas tanah di dalam Kawasan Hutan, walaupun tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara, kewenangan Departemen Kehutanan hanyalah menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan pada tanah tersebut, (Fay dan Sirait, 2004).

Yang kedua, hak-hak atas sumberdaya memprioritaskan pengelolaan berkelanjutan terhadap hutan yang secara aktual masih ada, sebagaimana didefinisikan oleh Undang-undang Kehutanan Tahun 1999 (UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan). Wilayah tersebut adalah hutan produksi dan hutan lindung yang tersisa. Tindakan tersebut mungkin akan mengarah kepada penguasaan hutan yang lebih masuk akal dan diterima luas. Hasilnya seharusnya diakui oleh masyarakat setempat dan seharusnya diarahkan untuk sebuah pengelolaan-bersama (co-management) sumberdaya hutan (bukan tanahnya) antara masyarakat setempat dengan pemerintah. Terpisah dari pertimbangan-pertimbangan etis dari praktik pengakuan hak-hak secara resmi yang berlaku di masyarakat sejak turun temurun, kepastian penguasaan tanah yang lebih luas memiliki implikasi positif terhadap ekonomi karena hal tersebut akan menurunkan ketidakpastian serta meningkatkan insentif untuk perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dengan meningkatkan peluang masyarakat setempat untuk menikmati hasil dari jerih payah mereka. Kepastian penguasaan merupakan unsur kunci yang strategis dalam pemberantasan kemiskinan (Deininger 2003; de Soto 2000).



II. PARADIGMA PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA


A. KAWASAN HUTAN

Data resmi terbaru yang diterbitkan Departemen Kehutanan didasarkan pada Kawasan Hutan yang ditetapkan lewat proses yang disebut ’harmonisasi’ dengan melibatkan Departemen Kehutanan dan pemerintah-pemerintah daerah dengan menggabungkan ’tata-guna hutan kesepakatan’ yang selesai pada tahun 1994 (kajian-kajian meja tentang TGHK telah menghasilkan peta-peta Kawasan Hutan yang dibuat berdasarkan foto-foto dari penginderaan jarak jauh) dan rencana tata ruang propinsi (RTRWP) pada tahun 1999. Hasil dari proses harmonisasi ini adalah suatu peruntukkan secara hukum Kawasan Hutan seluas 120 juta hektar, atau sekitar 62% dari luas daratan Indonesia.

Tanggungjawab pengelolaan hutan hutan tersebut berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan. Kawasan Hutan ini tidak ada hubungannya dengan kondisi tutupan hutan aktual. Proses tersebut menggambarkan suatu kompromi antara pemerintah daerah dengan Departemen Kehutanan dalam hal wilayah kewenangan Departemen Kehutanan atas pengelolaan hutan atau pengembangan hutan tanaman untuk produksi kayu. Seperti yang akan dipaparkan kemudian, Departemen Kehutanan tidak memiliki kewenangan atas alokasi tanah tersebut. Kewenangannya berhenti pada pengelolaan hutan secara aktual atau kawasan dimana hutan direncanakan akan dikembangkan. Pengakuan hak-hak atas tanah atau penyewaan tanah negara merupakan yurisdiksi Badan Pertanahan Nasional (BPN).


Analisis lebh rinci dari penginderaan jarak jauh terhadap 100-an juta hektar Kawasan Hutan menunjukkan bahwa kawasan tersebut bukanlah hutan tropik yang menakjubkan, tetapi lebih tepat disebut sebagai campuran antara hutan alam dan hutan tanaman dengan kerapatan rendah, menengah dan tinggi.3 Meskipun masih terdapat hutan-hutan hujan tropik tua, tetapi hal itu hanya merupakan bagian kecil saja dari keseluruhan hutan di Indonesia. Lebih jauh lagi, suatu kajian penting yang dilakukan oleh World Bank tentang tutupan hutan di Indonesia, dikatakan bahwa data yang banyak disajikan dan dirujuk didasarkan pada perkiraan kasar dan tidak ditemukan upaya untuk membedakan antara hutan alam dengan hutan hasil penanaman, termasuk yang di tanam oleh masyarakat setempat (Holmes 2002).

Data tutupan lahan Indonesia tahun 2002 tersaji pada table 1 sebagai berikut :

Tabel 1. Data Tutupan Lahan Indonesia Tahun 2002 – Data Departemen Kehutanan

Tutupan Lahan

Kawasan Hutan

Kawasan Non Hutan (APL)

Total

Kawasan Hutan Tetap (1.000 ha)

HPK (1.000 ha)

Total (1.000 ha)

%

Total (1.000 ha)

%

Total (1.000 ha)

%

HL

KSA- KPA

HP

HPT

Total

A. Hutan

20.903

12.858

20.510

17.769

72.040

10.882

82.922

62

7.985

14

90.907

48

B. Non

Hutan

4.798

2.835

10.964

4.702

23.298

9.629

32.927

25

41.466

76

74.393

40

C. Tidak

ada data

4.359

3.678

3.859

3.259

15.054

2.224

17.278

13

5.206

10

22.483

12

TOTAL

30.060

19.371

35.333

25.730

110.392

22.735

133.127

100

54.657

100

187.783

100

- KSA-KPA = Kawasan Suaka Alam/Kwsn Perlindungan Alam - HP = Hutan Produksi

- HL = Hutan Lindung - HPT = Hutan Produksi Terbatas

- APL = Area Penggunaan Lain - HPK = Hutan Produksi Konversi

Pada tahun 2004 Universitas Wageningen dan Global Forest Watch menerbitkan kajian klasifikasi hutan sebagai analisis terhadap data dari Departemen Kehutanan tersebut dengan hasil sebagai berikut :

Tabel 2. Data Tutupan Lahan Indonesia Tahun 2002 – Data Universitas Wageningen

HPK

HPT

KSA- KPA

Diluar Kawasan Hutan

HP

HL

Total

A. Lahan Terbakar, bekas terbakar

1.140

480

360

2.660

900

510

6.100

B. Hutan

11.500

19.940

8.130

5.510

14.540

14.980

74.620

C. Lahan berair/sawah

160

630

510

340

980

900

810

D. Mangrove/rawa

6.500

1.450

2.020

2.140

5.470

830

18.450

E. Hutan Pegunungan

240

1.610

4.030

530

290

8.200

14.900

F. Non-Hutan

6.890

4.140

1.210

6.870

5.620

2.520

27.250

G. Lahan Terbuka Permanen

750

390

170

110

600

140

600

H. Vegetasi muda /alang-alang

4.840

1.850

460

7.290

3.080

930

18.440

TOTAL

31.400

29.600

16.400

25.500

31.100

28.200

161.100

Tabel 1 di atas menyajikan hasil penginderaan jarak jauh paling mutakhir yang menelaah tutupan hutan baik di dalam maupun di luar Kawasan Hutan. Hasil tersebut dibagi berdasarkan klasifikasi pemanfaatan hutan dan menunjukkan bahwa sekitar 33 juta hektar dari total 120 juta hektar Kawasan Hutan, kenyataannya tidak memiliki tutupan hutan. Oleh karena itu, menurut data Departemen Kehutanan, hanya terdapat 87 juta hektar hutan di Indonesia dari 120 juta hektar Kawasan Hutan. Hal tersebut tidak secara nyata bertentangan dengan kajian-kajian tutupan hutan lain yang umumnya menyebut angka 100 juta hektar, karena – seperti ditunjukkan pada data di atas – terdapat hampir 8 juta hektar hutan berada di luar Kawasan Hutan dan, lebih jauh lagi, terdapat beberapa wilayah tidak memiliki data karena tutupan awan pada citra satelit.


Tabel 2 menunjukkan hasil dari sebuah analisis yang dilaksanakan oleh Universitas Wageningen dan Global Forest Watch/WRI, yang diterbitkan pada November 2004. Kajian ini juga menggunakan sistem klasifikasi hutan menurut Departemen Kehutanan, tetapi menggunakan asumsi-asumsi yang hati-hati tentang tipe tutupan lahan pada kategori-kategori tersebut. Perbedaan-perbedaan penting ketika dibandingkan dengan data Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa kurang dari 27 juta hektar dari Kawasan Hutan tidak lagi memiliki hutan. Perbedaan mencapai 6 juta hektar dapat dipertimbangkan sebagai akibat faktor tutupan awan serta perbedaan-perbedaan teknis antara spesifikasi Landsat dengan Spot.


B. PARADIGMA PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA


Pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia saat ini merupakan sebuah cerita yang beragam. Di sepanjang jutaan hektar, masyarakat setempat menanami hutan dengan buah-buahan, damar, kopi dan kakao dan sering ditanam bersama dengan pohon kayu-kayuan yang membentuk wilayah yang disebut wanatani / agroforest (de Foresta et al 2000). Wilayah wanatani ini menyediakan jasa lingkungan yang sama seperti hutan alam, dengan pengecualian pada perbedaan keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Banyak masyarakat setempat yang melindungi hutan alam, dan kadang bekerjasama dengan petugas Dinas Kehutanan pemerintah daerah setempat (Dala dan Jaya 2002). Namun, secara keseluruhan keadaan hutan alam Indonesia dapat dikategorikan sebagai salah satu krisis yang dihadapi bangsa ini. Laju deforestasi per tahun yang mencapai satu juta hektar tetap bertahan sepanjang sepuluh tahun terakhir serta kemampuan terpasang industri pengolahan kayu terus berkembang melampaui tingkat pemanfaatan lestari per tahun (Badan Planologi Kehutanan 2003). Analisa terakhir, menurut Departemen Kehutanan menunjukkan, produksi kayu yang secara resmi diakui mencapai 10 juta meter kubik pada tahun 2002, sementara jumlah kayu aktual yang setara dengan kayu hasil olahan mencapai 50 juta meter kubik pada tahun yang sama, ini menunjukkan perbedaan empat kali lipat antara jumlah persediaan kayu yang legal versus ilegal (Litski 2004). Dengan laju yang ada saat ini, bukan tidak mungkin hutan produksi Indonesia akan lenyap pada akhir dasawarsa ini dan Kawasan Hutan konservasi akan mengalami kerusakan serius atau bahkan lenyap sama sekali.

Konflik antara masyarakat setempat – yang mengklaim hak-haknya atas tanah dan sumberdaya hutan dan industri kehutanan – dengan pemerintah meningkat secara konsisten sepanjang limabelas tahun terakhir (Fern 2001; Kusworo 2000). Ketidakpastian penguasaan dan kepemilikan atas tanah baik bagi masyarakat maupun industri menyumbang kepada degradasi lahan dan hutan serta, pada banyak kejadian, menyebabkan terjadinya kekerasan. Jantung permasalahan tersebut adalah ketidakpastian ’aturan main’ yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan. Lembaga negara ini mengklaim kewenangannya atas sebagian besar wilayah Indonesia, tetapi tidak mampu menunjukkan kemampuannya mengelola wilayah yang luas tersebut serta tidak mampu menyediakan jaminan penguasaan serta pengelolaan yang dibutuhkan baik oleh masyarakat setempat maupun industri kehutanan.

Paradigma yang berlaku saat ini dipilih untuk mengelola Kawasan Hutan adalah pemanfaatan intensif untuk mendorong pembangunan ekonomi. Kawasan Hutan dikategorikan sebagai hutan produksi kayu, kawasan yang ditetapkan untuk dialihfungsikan menjadi pemanfaatan lain, serta kawasan konservasi. Pada kawasan yang diperuntukkan sebagai hutan produksi, pemerintah mengalokasikan sejumlah konsesi yang luas kepada perusahaan-perusahaan swasta. Sedangkan pada kawasan yang akan dialihfungsikan, ’deforestasi terencana’ diperbolehkan untuk membuka dan membebaskan Kawasan Hutan tersebut bagi tujuan pemanfaatan lain.

Pada tahun 1999, sebelum UU Kehutanan melarang kegiatan penambangan di Kawasan Hutan lindung, terdapat sekitar 150 perusahaan tambang yang memiliki kontrak karya yang bertumpangtindih dengan Kawasan Hutan seluas 11 juta hektar, termasuk 8,7 juta hektar hutan lindung dan 2,8 juta hektar hutan konservasi. Sebagian besar kawasan tersebut merupakan tempat bermukim masyarakat pedesaan yang merasa kehidupan mereka terancam oleh kegiatan tersebut. Operasi pertambangan muncul menjadi salah satu penyebab langsung dan tidak langsung deforestasi dengan laju yang mencengangkan. Beberapa pihak memperkirakan bahwa dampak pertambangan setara dengan 10% pengrusakan hutan di negara ini. Skema pemanfaatan sumberdaya hutan mengatur agar kegiatan masyarakat untuk menghindari kawasan-kawasan tempat beroperasinya pengusahaan hutan.


Pendekatan dalam pengaturan tertib administrasi kekayaan hutan nasional menghasilkan output ekonomi yang sangat besar yang telah menyumbang kepada perekonomian Indonesia. Namun demikian, hal itu juga telah menimbulkan sejumlah akibat negatif. Konsesi hutan diberikan secara tidak transparan kepada sejumlah kecil perseorangan atau perusahaan yang sangat berpengaruh dan memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Hutan juga digunakan sebagai kendaraan politik (Gautam et al 2000; Sembiring 2002). Semua ini terus berlanjut dan menjadikannya sebagai instrumen ampuh bertumbuhnya kekuasaan ekonomi dan politik di tangan sejumlah orang. Pada tahun 1998, perusahaan yang erat terkait dengan elit politik dan militer mengendalikan sekitar 60 juta hektar konsesi hutan di Indonesia (Mc Carthy 2000).

Ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan memfasilitasi meluasnya kegiatan-kegiatan ilegal dan korupsi di sektor kehutanan. Para pemegang konsesi yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan secara teratur terus melanggar ketentuan-ketentuan konsesi tanpa pernah dituntut secara hukum. Hukum dan peraturan diabaikan tanpa khawatir menghadapi sanksi hukum oleh pemerintah. Ada bukti yang menunjukkan bahwa 84% konsesi hutan telah melanggar berbagai hukum yang berlaku sepanjang pertengahan 1990-an dan pembalakkan liar secara sistematik terjadi bahkan di kawasan-kawasan taman nasional terkemuka – Gunung Leuser, Tanjung Puting dan Kerinci Seblat – tanpa tindakan hukum yang jelas terhadap pelanggarnya (Barber dan Schweithelm 2000; World Bank 2001). Sepanjang tahun-tahun tersebut, sekitar 70% hasil hutan adalah hasil kegiatan ilegal dan deforestasi telah menyapu sekitar 65 juta hektar – 2,2 kali luas Italia (World Bank 2001; FAO 2001;). Dapat dikatakan, perkiraan laju deforestasi sepanjang 1994-1997 adalah 1,7 juta hektar per tahun (FWI/GFW 2002). Begitu kayu yang berharga diekspolitasi, tanah yang ditinggalkan berikut sumberdaya hutannya diklasifikasikan sebagai hutan yang telah rusak yang dapat digunakan untuk perkebunan skala besar atau tujuan penggunaan lainnya. Fenomena tersebut merupakan senyawa ampuh dalam mendorong deforestasi dan degradasi hutan (Barber, Johnson dan Hafild 1994).


III. HUKUM PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM DAN KEPEMILIKAN LAHAN HUTAN DAN DAMPAKNYA PADA MASYARAKAT


A. TAP MPR NOMOR IX TAHUN 2001

Setelah konstitusi, peraturan terpenting yang mengatur pengelolaan dan distribusi manfaat sumberdaya alam adalah TAP MPR IX/2001. Peraturan ini disahkan sebagai dasar hukum oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001. Secara umum peraturan ini dipandang sebagai peraturan yang menjangkau jauh dan merupakan pernyataan hukum yang eksplisit yang mengharuskan pemerintah untuk berkomitmen secara penuh terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan pembaruan agraria. Dasar hukum tersebut mensyaratkan pemerintah untuk meninjau-ulang, menyesuaikan dan melakukan harmonisasi semua peraturan perundang-undangan yang menyangkut tanah dan sumberdaya alam lainnya. Dasar hukum ini menjadi instrumen kebijakan yang ampuh bagi proses reformasi UUPA (Sukanti 2003).

TAP MPR IX/2001 menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan sektor yang terkait dengan penguasaan sumberdaya alam harus dicabut karena memiliki pengaruh negatif terhadap pemberantasan kemiskinan serta pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam. Peraturan perundang-undangan tersebut harus direvisi, dengan menggunakan pendekatan yang holistik. Pada saat yang sama, TAP MPR IX/2001 memandatkan penyelesaian konflik melalui proses yang hukum yang berkeadilan.

UUPA Tahun 1960 dan UU Kehutanan Tahun 1999 merupakan dua peraturan perundang-undangan yang sangat penting yang berada dalam tatanan hukum di bawah payung TAP MPR IX/2001 dalam mengatur tanah dan sumberdaya alam. Undang-undang tersebut mengatur pengelolaan dan distribusi manfaat dari sumberdaya alam. Pada sebuah seminar di Yogyakarta, semua lembaga pemerintah yang mengurus tanah dan sumberdaya alam (termasuk Departemen Kehutanan) berkumpul dan bersepakat bahwa revisi UUPA harus menjadi kerangka payung bagi pengaturan-pengaturan penguasaan dan kepemilikan atas tanah dan sumberdaya alam. Selain UUPA, beberapa produk hukum dan perundangundangan disepakati untuk direvisi, antara lain UU Penataan Ruang Tahun 1992 dan penyiapan rancangan Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya Alam (RUU PSDA) (Prosiding Pertemuan Harmonisasi Hukum, 14 November 2003).


B. UNDANG–UNDANG NO.5 TAHUN 1960 TENTANG POKOK AGRARIA

Sebuah analisis yang tepat tentang kewenangan kehutanan dan sumberdaya alam di Indonesia harus mengacu kepada telaahan seksama UU Pokok Agraria Tahun 1960. Boedi Harsono, seorang ahli hukum pertanahan menulis, Dari perspektif hukum pertanahan tentang tanah dimana terdapat hutan di atasnya, penguasaan diatur melalui Hukum Tanah. Hak-hak pengelolaan yang diberikan kepada Departemen Kehutanan seperti dimandatkan UU Kehutanan ... Pada situasi ini, pemberian dan pengakuan hak-hak atas tanah dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) menggunakan Hukum Tanah. Departemen Kehutanan hanya memiliki kewenangan memberikan hak pemanfaatan hutan dan hak pengumpulan hasil hutan (Harsono 1997).

UUPA mencakup seluruh tanah di Indonesia. Ia memandu pemerintah dalam mengakui dan memberikan 7 jenis hak atas tanah. Hak yang paling menyeluruh dan pasti, berdasarkan perspektif hukum barat, adalah hak milik. Keenam lainnya merupakan bentuk hak untuk menikmati hasil atas tanah yang ditentukan oleh negara. Peraturan Pemerintah (PP) No 24 yang disahkan oleh Presiden Suharto pada tahun 1997 menyediakan kerangka prosedur bagi pengakuan atau pemberian berbagai klasifikasi hak atas tanah. Di bawah PP ini, tanah dibagi dua: Tanah adat, dimana pengakuan diberikan kepada hak-hak yang sudah ada sebelum pemberlakuan UUPA, atau disebut Hak Lama; yang kedua adalah tanah negara, yang terbuka untuk dibagikan untuk badan-badan privat, atau disebut Hak Baru. Meski pengaturannya tidak terbatas pada perseorangan, pada prakteknya ’badan badan privat’ yang menerima sertifikat tanah diberikan tanpa perkecualian kepada perseorangan (Barber dan Churchill 1987).

Sementara UUPA dan sejumlah peraturan pengelolaan sumberdaya alam turunannya memberi perhatian besar terhadap pengakuan atas hak ulayat (atau dengan nama lain seperti hak adat), sejauh ini terdapat fakta tentang pengakuan de facto dengan kemauan politik yang rendah. Satu pengecualian penting adalah prosedur untuk pengakuan terhadap ’sertifikasi tanah komunal’ bagi masyarakat adat seperti diatur lewat Keputusan Menteri Pertanahan Tahun 1999, yang menyediakan pedoman bagi pendaftaran tanah adat (KepMen No. 5 Tahun 1999). Pengaturan ini sebagian besar merupakan hasil dari tekanan politik langsung oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), meskipun belum ada upaya untuk menguji prosedur ini.


C.
UNDANG–UNDANG NO.41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

Dalam UU No. 41 tahun 1999 dikatakan bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang dan hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung jawab.

Undang-undang (UU) Kehutanan Tahun 1999 adalah produk hukum pertama yang dihasilkan pasca-Suharto, atau masa Reformasi. Undang-undang ini memberikan kekuasaan kepada Departemen Kehutanan untuk menetapkan dan mengelola Kawasan Hutan. Tak satu pun hukum yang memberikan Departemen Kehutanan kewenangan untuk penerbitan hak-hak penguasaan yang didefinisikan oleh UUPA. Sebenarnya, secara hukum sangat tepat dikatakan bahwa istilah ’tanah hutan’ tidak ada di dalam sistem hukum Indonesia. Istilah tanah hutan bukan merupakan terminologi hukum dalam bahasa Indonesia dan bahkan merupakan istilah yang tidak lazim dalam pengelolaan hutan dan kehutanan. Istilah hukum yang digunakan adalah Kawasan Hutan, yang didefinisikan sebagai ’suatu kawasan tertentu yang diperuntukkan dan/atau diatur oleh pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan’. Undang-undang tersebut membagi Kawasan Hutan menjadi :

- Kawasan Hutan Negara, dimana pemerintah (Departemen Kehutanan) telah menetapkan bahwa tidak ada hak kepemilikan privat atas tanahnya; dan,

- Hutan Hak, dimana tanah dan tutupan tanah dapat dikualifikasikan sebagai hutan tetapi terdapat hak-hak privat di atasnya.

Dengan rincian penjelasan sebagai berikut :

a. Kawasan Hutan

Kawasan Hutan pertama kali digunakan sebagai terminologi hukum pada UU Kehutanan Tahun 1967 dan menjadi satu satuan pembatas yurisdiksi Departemen Kehutanan seperti tertuang pada UU Kehutanan Tahun 1999. Proses untuk menetapkan cakupan aktual dapat ditelusuri lewat PP tentang Perencanaan Kehutanan yang disahkan Presiden Suharto pada tahun 1970 (PP No 33/1970). Pemerintah untuk beberapa waktu lamanya telah memberikan konsesi pembalakkan di luar pulau Jawa, bahkan sebelum UU Kehutanan Tahun 1967 diberlakukan. Konsesi tersebut berada di hutan-hutan alam serta, untuk beberapa waktu lamanya, berlanjut tanpa pengaturan hukum atau persyaratan-persyaratan pengelolaan untuk menentukan apakah kawasan konsesi tersebut tumpang tindih atau tidak dengan hak-hak masyarakat adat setempat. Tanah di dalam dan sekitar kawasan konsesi tersebut berada di bawah kewenangan Departemen Agraria dan ’tidak terdaftar’, sebagaimana halnya pada sebagian besar wilayah di Indonesia hingga saat ini. Oleh karena itu, sebuah definisi yang lebih jernih tentang Kawasan Hutan sangat dibutuhkan.

PP No. 33/1970 memberikan kewenangan kepada Departemen Kehutanan (yang pada saat itu berada di bawah Departemen Pertanian) untuk mendefinisikan Kawasan Hutan Negara. Peraturan yang mengatur penetapan Kawasan Hutan diterbitkan pada tahun 1974 (SK MenHut No. 85/1974) dan hingga pertengahan tahun 80-an hampir tiga perempat wilayah tanah di Indonesia ditetapkan sebagai Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan, yang pada saat itu baru berdiri sendiri terpisah dari Departemen Pertanian. Proses penetapannya dilakukan melalui Tata-Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Hal tersebut diciptakan lewat kajian-kajian di atas meja dan peta-peta vegetasi berdasarkan citra penginderaan jarak jauh dan didukung oleh proses penilaian biofisik yang sangat rumit yang sama sekali tidak disertai kriteria sosial.

b. Kawasan Hutan Negara

Seperti telah diutarakan sebelumnya, Kawasan Hutan hanya dapat didefinisikan secara hukum sebagai Kawasan Hutan Negara jika ketika ditetapkan tidak terdapat hak atas tanah di wilayah bersangkutan (hak-hak seperti yang didefinisikan pada UUPA Tahun 1960). Namun demikian, ketika niat UU Kehutanan Tahun 1999 sudah jelas, tafsirnya oleh sebagian besar pejabat Departemen Kehutanan begitu bias ketika mendefinisikan Kawasan Hutan Negara, sebagai semua kawasan yang telah ditetapkan tata-batasnya lewat TGHK/RTRWP yang tanahnya tidak memiliki sertifikat yang dikeluarkan BPN sesuai dengan UUPA Tahun 1960. Pada penjelasan UU Kehutanan Tahun 1999 menyatakan bahwa, secara prinsip, semua kawasan yang dikuasai oleh Hukum Adat berada di bawah kategori Kawasan Hutan Negara. Pernyataan ini bertentangan dengan definisi Hutan Hak seperti yang diatur pada UU Kehutanan Tahun 1999 dan PP No. 24 Tahun 1997, dimana hak-hak privat dapat diklaim dan diakui sesuai dengan UUPA Tahun 1960.

Dengan tujuan untuk menetapkan status hak-hak lokal dengan ’Kawasan Hutan’, sebuah proses empat langkah yang cukup rinci telah dibuat, yang disebut Berita Acara Tata Batas (BATB). Dengan menandatangani BATB, sesuai prosedur yang melibatkan masyarakat, Departemen Kehutanan dan BPN – menggunakan prinsip-prinsip UUPA Tahun 1960 serta dengan masyarakat secara langsung menandatangani berita acara , bahwa mereka tidak memiliki klaim atas kawasan dan bahwa proses tersebut dilakukan secara adil dengan disertai penjelasan dan pemahaman atas konsekuensi-konsekuensi hukumnya – kawasan tersebut secara hukum dan dapat diterima (legal and legitimate) ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Negara. Sampai dengan awal 2005, proses penatabatasan baru berhasil mencakup 12 juta hektar, atau sekitar 10% dari 120 juta hektar ’Kawasan Hutan’, menyisakan 108 juta hektar dengan status tak pasti dengan ketiadaan informasi atas hak-hak yang melekat pada kawasan tersebut. Hal tersebut berarti luas ’Kawasan Hutan Negara’ Indonesia yang resmi saat ini hanyalah 12 juta hektar, bukan 120 juta hektar seperti yang umumnya dianggap.

’Kawasan Hutan’ yang tersisa 108 juta hektar dapat dianggap sebagai ’Kawasan Hutan Non-Negara’ dan merupakan tanah yang dipertimbangkan oleh BPN dikuasai oleh negara, tetapi bukan ’Tanah Negara’, karena pemerintah harus menentukan apakah hak-hak atas tanah ada atau tidak (seperti yang disyaratkan oleh PP No. 24).18 Sebagai hasilnya, negara tidak dapat memberikan hak pengelolaan, pengusahaan atau hak pakai (bahkan jika negara masih ’menguasai’ tanah tersebut) atas kawasan bersangkutan hingga ditentukan apakah terdapat hak privat di atasnya. Hanya setelah itu, sebagai contoh, Departemen Kehutanan dapat mengeluarkan ijin pemanfaatan dan, pada kasus Hutan Hak, hanya kepada mereka yang memiliki hak atas tanah yang bersangkutan (Harsono 1997).

c. Kawasa Hutan Hak

Jika hasil dari proses pengukuhan penuh kawasan, seperti yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan, sejauh ini hanya mencakup 10% dari Kawasan Hutan, cukup adil jika diasumsikan bahwa 90% sisanya berada di bawah kategori Kawasan Hutan Hak, atau hutan privat, sebelum terbukti sebaliknya.

Dan secara hukum juga dapat dilihat bahwa tanah ’Kawasan Hutan Hak’ dan ’Kawasan Hutan Negara’ tersebut berada di bawah kewenangan BPN, lembaga negara yang bertanggungjawab dalam administrasi berbagai bentuk penguasaan atas tanah sesuai UUPA Tahun 1960. Pada kasus Kawasan Hutan Negara, tanah tersebut, menurut UUPA Tahun 1960, dikategorikan sebagai Tanah Negara, karena proses BATB menentukan bahwa tidak ada hak yang berada di atasnya. Sedangkan pada kasus Hutan Hak, hampir tanpa perkecualian, selama negara belum menentukan apakah terdapat hak lokal atas tanah tersebut, maka ia tetap berstatus ’tidak terdaftar’ di dalam kawasan yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan sebagai ’Kawasan Hutan’. ’Tanah tidak terdaftar’ dikuasai oleh negara tetapi secara teknis bukanlah Tanah Negara.

D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Kerangka hukum diperumit oleh sejumlah undang-undang terkait yang secara tidak langsung memberi dampak pada cara dimana lembaga negara pada tingkat berbeda dan masyarakat mengelola sumberdaya hutan dengan dasar kejelasan hak. Sebagai contoh, terdapat sekitar 2.000 undang-undang, peraturan dan norma yang terkait dengan tanah. Lebih banyak lagi undang-undang dari sektor lain yang secara tidak langsung memberi dampak kepada pengelolaan sumberdaya hutan. Tidak hanya itu, ada banyak keputusan-keputusan tingkat menteri, surat edaran menteri dan peraturan pemerintah yang juga mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah. Undang-undang baru yang terkait dengan proses desentralisasi Indonesia menciptakan ketidakjelasan baru tentang hak untuk menguasai sumberdaya hutan. Sebagai contoh, sebuah keputusan presiden menetapkan bahwa urusan menyangkut penguasaan dan kepemilikan atas tanah berada di bawah kewenangan pemerintah pusat sementara UU Pemerintahan Daerah No. 22 Tahun 1999 memberikan otonomi kepada kabupaten untuk membuat keputusan menyangkut urusan-urusan pertanahan, termasuk penyelesaian konflik (Sembiring 2002).

Hal yang sama juga terlihat pada PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kekuasaan Pemerintah Pusat dan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 1999, karena memberikan kewenangan otonomi kepada pemerintah propinsi bukan kepada pemerintah kabupaten. PP No. 25 Tahun 2000 memberikan Departemen Kehutanan kewenangan utama menetapkan batas, fungsi dan Kawasan Hutan. Tetapi, pemerintah daerah tidak selalu menghormati kewenangan tersebut, sebagian karena keputusan menteri tidak memiliki status hukum untuk mengubah keputusan-keputusan tingkat lokal (Effendi 2002). Lebih jauh lagi, UU Kehutanan Tahun 1999 mensyaratkan pemerintahan desa untuk melaksanakan praktik pengelolaan hutan berkelanjutan, sementara UU No. 22 Tahun 1999 mensyaratkan mereka untuk memanfaatkan sumberdaya demi menghasilkan pendapatan guna membiayai program-program pembangunan, dan juga mendorong diperolehnya manfaat jangka pendek serta mempercepat eksploitasi sumberdaya hutan.

Gambaran di atas menunjukkan ketidak konsistenan hukum antara UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 dengan UU Kehutanan Tahun 1999. UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999 memberikan kewenangan atas keputusan-keputusan tentang pengelolaan sumberdaya alam kepada pemerintah daerah. PP No 34 tentang Pengelolaan, Eksploitasi dan Pemanfaatan Kawasan Hutan menyediakan pedoman operasional untuk pelaksanaan UU Kehutanan Tahun 1999. Peraturan tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk mengambil keputusan atas pemberian konsesi hutan untuk pembalakan yang memiliki prospek keuntungan besar, hak yang menurut pemerintah daerah seharusnya merupakan bagian dari kewenangan mereka. Oleh karena itu, oleh berbagai pihak peraturan tersebut dipandang sebagai upaya untuk memusatkan-kembali pengambilan keputusan.

Pada kasus yang lain, undang-undang pada hakekatnya tidak ditegakkan. UU Penataan Ruang Tahun 199222 mewajibkan pemerintah, dengan partisipasi masyarakat setempat, untuk melakukan penataan ruang. Pada kenyataannya, hal tersebut sangat jarang terjadi. Pengaturan dalam undang-undang menyediakan ’rujukan’ dan ’pertimbangan’ untuk digunakan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Namun yang terjadi, para konsultan biasanya sudah menyiapkan hampir keseluruhan dari rencana tata ruang tersebut. Masalah lain yang khususnya terkait dengan undang-undang ini adalah, tidak adanya penetapan hukuman atau sanksi terhadap pelanggaran undang-undang ini. Sebagai contoh, jika alih-fungsi lahan terjadi di suatu kawasan dimana hal tersebut bertentangan dengan tata ruang, tidak ada mekanisme bagi pihak yang berwenang untuk melakukan tindakan tegas penegakannya, karena mereka tidak berwenang untuk memaksakan suatu sanksi terhadap pelanggarnya. Lebih jauh, undang-undang ini kelihatannya bertentangan dengan produk hukum tentang desentralisasi, khususnya UU Otonomi Daerah No 22 Tahun 1999. Sehingga UU Kehutanan Tahun 1999 menjadi sangat sentralistik dalam pendekatannya, sementara UU Otonomi Daerah menekankan proses perencanaan dari bawah ke atas (Effendi 2002).


E. DAMPAK BAGI MASYARAKAT

Kekacauan dan ketidakpastian hukum telah menimbulkan dampak yang merusak pada masyarakat pedesaan yang secara turun-temurun hidup bergantung kepada hutan sebagai sumber penghidupan mereka, tetapi tidak memiliki hak secara hukum terhadap hutan. Pada masa lalu, konsesi hutan untuk penebangan kayu dalam jumlah yang sangat luas terdapat di wilayah yang dihuni masyarakat yang tidak memiliki sumberdaya terhadap hukum. Hal sama, sejak pertengahan tahun 80-an, pemerintah mempromosikan perkebunan (hutan tanaman atau perkebunan kelapa sawit) ’mengalihfungsikan’ hutan tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat setempat. Konflik antara masyarakat, pemerintah, perusahaan pemegang konsesi dan perusahaan perkebunan meningkat drastik dan mewabah ke seluruh Indonesia, karena negara dan sekelompok kecil perusahaan menikmati rente atas sumberdaya sementara masyarakat lokal dengan hak-hak adatnya dipinggirkan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan (Barber dan Churcill 1987).

Dalam benak masyarakat yang hidupnya bergantung kepada sumberdaya hutan, pembangunan dan beroperasinya konsesi pembalakkan dan perkebunan menjadi hal yang senantiasa berkaitan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan serta menurunnya mutu kehidupan mereka. Ketidakpercayaan kepada pemerintah dan perusahaan terus bertumbuh semakin intensif (Arnold 2001). Ketika masyarakat bereaksi dengan kekerasan karena ketiadaan saluran hukum bagi mereka, aparat militer akan melakukan tindakan keras terhadap aksi-aksi protes tersebut. Pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) sangat umum terjadi (Gautam et al 2000; Human Rights Watch 2003).

Tegangan dan konflik juga berpengaruh terhadap hubungan antara kelompok masyarakat yang dipinggirkan karena mereka harus bersaing mendapatkan akses terhadap tanah yang secara hukum dikuasai pemerintah tetapi secara de facto dikuasai oleh pihak lain. Sebagai tambahan, migrasi spontan, melanjutkan pembukaan daerah-daerah yang tak terjangkau pada Kawasan Hutan, pemerintah juga mensponsori program transmigrasi untuk memberantas tekanan terhadap tanah di kawasan tersebut dengan menaikkan kepadatan penduduk, memindahkan masyarakat miskin dari pulau Jawa dan, dalam jumlah yang lebih sedikit didatangkan dari Bali, ke pulau-pulau lain. Konflik antara masyarakat desa dan transmigran semakin bertambah, dengan intensitas yang meningkat secara tajam selama beberapa tahun pada masa Orde Baru, ketika kemiskinan tumbuh dan terdapat kegagalan tertib hukum (Kartodihardjo 1999; Gautam et al 2000).


IV. PEMBAHASAN DAN ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH


A. BEBERAPA CONTOH PENGUASAAN MASYARAKAT ATAS KAWASAN HUTAN

Hak-hak kepemilikan masyarakat adat memiliki prioritas tinggi dikalangan masyarakat global dan oleh karena itu dilindungi oleh beberapa deklarasi dan hukum internasional. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB, Tahun 1948) menetapkan bahwa tak seorang pun dapat kehilangan kepemilikannya bahkan jika hal itu tidak terdokumentasi pada surat-surat resmi. Konvensi International Labour Organisation (ILO) 169 mengandung pengaturan-pengaturan tentang hak-hak masyarakat asli dan masyarakat adat yang mensyaratkan penghormatan terhadap kedudukan adatnya serta menyediakan instrumen untuk mengakui dan melindungi hak-hak tersebut. Dinyatakan bahwa kepemilikan masyarakat adat atas tanah harus diakui (ILO 1989). Komisi PBB untuk Pemberantasan Diskriminasi Rasial juga merekomendasikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan tanah-tanah, wilayah dan sumberdaya komunalnya (CERD 1997).

Hutan memungkinkan masyarakat miskin untuk mendayagunakan tenaga mereka guna memperoleh manfaat produktif sehingga mereka tidak terlalu bergantung kepada upah serta mengurangi kerentanan mereka terhadap kejutan-kejutan ekonomi. Tanah adalah aset yang paling penting yang dapat dimiliki masyarakat. Banyak dari kekayaan masyarakat pedesaan berupa akses dan kontrol atas tanah. Menjamin hak-hak penguasaan dan kepemilikan atas tanah berimplikasi kepada sebuah proses transfer kekayaan dan oleh karena itu menyumbang kepada pemberdayaan dan pemberantasan kemiskinan di wilayah pedesaan (Deininger 2003). Malahan kepemilikan atas tanah juga memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan pendapatan ekonomi yang efisien karena kepemilikan dan kontrol lokal berasosiasi dengan pengelolaan sumberdaya yang sudah teruji, mudah diakses dan berlandaskan pengetahuan lokal yang sangat penting bagi keberlanjutan produktifitas.

Di Thailand land reform memiliki dampak penting terhadap output ekonomi dan pendapatan pemerintah. Di China penghapusan pola kepemilikan komunal disertai perluasan penguasaan atas tanah menghasilkan perbaikan produktifitas yang luar biasa. Hasil serupa dapat dilihat di Vietnam, Ghana dan negara lainnya (Do dan Iyer 2003; Besley 1995). Di Nepal dan Vietnam meningkatnya mutu pengelolaan hutan terjadi karena adanya pengalihan hak-hak atas hutan negara kepada masyarakat dan perseorangan (Deininger 2003). Sebagai gantinya ketika terjadi peningkatan tekanan terhadap Kawasan Hutan tetapi penguasaan secara hukum tidak ada atau berlaku ketidakpastian penguasaan atas tanah seperti yang terjadi di Indonesia, konflik dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan dipastikan akan terjadi.

B. POLEMIK DI TINGKAT NASIONAL

Beberapa polemik yang muncul di tingkat nasional terkait dengan Hak masyarakat dalam mengakses sumber daya alam dan kepemilikan lahan hutan adalah sebagai berikut :

1. Kemungkinan Pembagian dan Penjualan Tanah Hutan

Kritik terhadap reformasi Kawasan Hutan Negara untuk kepentingan kepemilikan oleh masyarakat begitu gencar disorongkan, bahwa jika status tanah diberikan kepada petani perseorangan, sangat mungkin mereka akan memecahnya menjadi beberapa persil dan menjual tanah tersebut yang pada akhirnya akan menciptakan situasi yang lebih buruk daripada keadaan sebelum reformasi. Namun demikian reformasi kebijakan yang dikaji dalam laporan ini lebih dipusatkan kepada pengakuan terhadap kepemilikan oleh masyarakat atas hutan. Kepemilikan oleh masyarakat juga menawarkan keunggulan lain pada situasi dimana ada kebutuhan terhadap pencapaian skala ekonomi dimana eksternalitas dapat lebih mudah ditangani oleh tindakan bersama daripada oleh perseorangan.

2. Argumen yang Menyampingkan Pertimbangan Kepemilikan oleh Pemerintah

Salah satu justifikasi utama adanya penguasaan eksklusif oleh pemerintah atas sumberdaya hutan adalah bahwa sumberdaya tersebut memiliki beragam ‘eksternalitas’, misalnya pengaruh yang diinginkan oleh masyarakat tetapi tidak menarik perhatian si pemilik karena mereka tidak menerima kompensasi untuk memproduksi eksternalitas. Argumen ini mendesak bahwa produksi total dari layanan-layanan ini akan berkurang dibandingkan yang diharapkan karena perseorangan atau masyarakat tidak akan tertarik untuk terlibat dalam kegiatankegiatan yang tidak dapat menghasilkan keuntungan finansial.

Fakta-fakta yang tersebar luas dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa, sesungguhnya pemegang hak kepemilikan atas sumberdaya secara privat, termasuk di dalamnya hak-hak penguasaan dan kepemilikan berbasis masyarakat, dapat dan bisa menghasilkan manfaat-manfaat seperti pelestarian keanekaragaman hayati dan penyerapan karbon, dihasilkan bersama-sama dengan hasil hutan yang diinginkan masyarakat (Ostrom 1990). Sebagai contoh banyak tanah yang sudah tidak berupa hutan alam yang ternyata sesuai untuk produksi pertanian tapi sebagian lain tidak cocok untuk digunakan untuk keperluan tersebut. Meskipun demikian lahan jenis ini dapat mendukung penanaman pohon atau wanatani dan pengembangannya dapat meningkatkan produksi bersama berdasarkan pengaruh-pengaruh eksternal hutan (Holmes 2002).

3. Kekhawatiran bahwa elite masyarakatlah yang diuntungkan

Pihak-pihak yang tidak setuju terhadap hak-hak kepemilikan masyarakat atas hutan berpendapat beberapa kasus di berbagai negara menunjukkan bahwa ketika pemerintah menyerahkan tanah kepada masyarakat, kolusi di antara pemimpin masyarakat untuk mendapatkan keuntungan sering terjadi, yang mengarah kepada proses pemusatan kekuasaan dan penumpukkan aset di tangan segelintir orang. Jika wakil-wakil masyarakat memiliki kekuasaan untuk mendistribusikan-ulang kepemilikan atas tanah atau mengalokasikan hak kepada anggota perseorangan, sangat realistis untuk mengharapkan bahwa beberapa dari mereka akan bergabung dengan kelompok politik atau kepentingan lain untuk mengeksploitasi peluangpeluang demi keuntungan mereka sendiri. Bahkan jika proses alokasi berlangsung terbuka, sangat umum bagi segelintir pemimpin untuk mendominasi perdebatan di masyarakat dan mengendalikan proses pengambilan keputusan mengikuti arahan mereka (Thamrin 2002).

4. Potensi Meningkatnya Konflik Antar Masyarakat

Sengketa di kalangan masyarakat tentang tata-batas wilayah yang diklaim sebagai tanah mereka bukanlah hal yang tidak lazim. Hak-hak atas hutan kerap bertumpang-tindih, beberapa diklaim oleh sebagian kelompok yang bahkan tidak hidup di wilayah bersangkutan. Memberikan penguasaan tanah secara jelas dan takterbantahkan pada kondisi seperti itu mungkin sulit dan bahkan tidak akan memecahkan masalah serta konflik yang berasosiasi dengan hak adat atas tanah dan kekayaan alamnya.

C. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Dari polemik di atas, beberapa alternatif pemecahan dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pengelolaan Hutan Secara Bersama (Collaborative Forest Management, CFM)

Pengelolaan hutan secara bersama (collaborative forest management, CFM), secara sempit dipaparkan sebagai skema berbasis kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat setempat. Pengaturan-pengaturan tersebut sangat bervariasi sejalan dengan unsur-unsur yang membentuk pola kemitraan, mulai dari sekedar menyediakan informasi tentang program pemerintah kepada masyarakat sampai kepada berbagai bentuk proses konsultasi hingga proses partisipatif yang interaktif (IIED 1994). Lebih jauh skema CFM bisa jadi mencakup atau mungkin juga tidak, hak-hak kepemilikan atas tanah, tetapi dalam perdebatan di Indonesia rancang CFM dibahas sebagai alternatif dari pengakuan secara hukum hak-hak kepemilikan adat atas tanah, bukan sebagai konsep pelengkap. Tetapi hal tersebut bukan merupakan keharusan. Sebagai contoh di hutan dimana masyarakat tidak mengklaim hak-hak kepemilikannya tetapi lebih kepada akses, pengaturan CFM dapat berlangsung efektif dan hak-hak dapat diberikan secara bersyarat berdasarkan tata-guna dan pemeliharaan sumberdaya alam yang baik. Belakangan ini rancangan yang berlaku di Indonesia, Hutan Kemasyarakatan (HKM) mengakomodasi prinsip tersebut meskipun kemajuan pelaksanaannya begitu lambat.

Keunggulan CFM adalah keberadaan pemerintah sebagai salah satu mitra, dimana secara langsung menjamin kepastian penguasaan atas tanah karena keterlibatannya merupakan bentuk pengakuan terhadap masyarakat sebagai entitas yang dapat menikmati hak-hak yang tertulis dalam kesepakatan. Sebagai tambahan pengaturan dalam CFM memiliki potensi untuk memperkenalkan sistem pemeriksaan dan keseimbangan (check and balances) agar kepentingan para pihak dapat diakomodasi (Carter 1999;).

2. Sewa Jangka Panjang

Sebuah alternatif yang diusulkan beberapa pihak di Indonesia adalah pemberian sewa jangka-panjang dari Kawasan Hutan Negara dengan aturan yang memungkinkan perpanjangan langsung sepanjang semua persyaratannya dipenuhi. Pendekatan sewa jelas memiliki lebih sedikit keunggulan dibandingkan kepemilikan penuh tetapi pada beberapa kasus bisa jadi merupakan pilihan jangka-pendek yang layak secara politik. Pendekatan ini dapat menjadi langkah awal yang pada akhirnya mengarah ke pengakuan penuh terhadap hak-hak penguasaan oleh masyarakat. Namun demikian pendekatan ini mensyaratkan kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah tidak akan membatalkan perjanjian di tengah ketiadaan suatu aturan hukum yang jelas.

Terlepas dari beberapa keterbatasannya, sewa adalah alternatif paling dekat kepada kepemilikan secara penuh khususnya jika pendekatan ini berlaku untuk jangka panjang, yang memberi waktu cukup lama untuk mengikutsertakan paling sedikit peluang untuk mendapatkan hasil dari usaha jangka-panjang dan investasi oleh masyarakat. Tentu saja hal ini akan muncul jika aturan mainnya jelas yang didukung oleh adanya pengaturan-pengaturan yang memadai untuk menyelesaikan sengketa lewat keputusan-keputusan yang obyektif, transparan dan berkeadilan.

Beberapa langkah menuju kesepakatan formal dengan masyarakat terjadi pada tahun 1998, ketika Menteri Kehutanan dan Perkebunan menyerahkan hak pengelolaan – bukan kepemilikan – 29.000 hektar Kawasan Hutan Negara kepada masyarakat Krui di Lampung, Sumatra. Sebuah klasifikasi baru untuk mewujudkan kesepakatan ini pun dibuat, Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI). Ini adalah untuk pertama kalinya skema pengelolaan oleh masyarakat diakui secara resmi di Kawasan Hutan.

3. Pembaruan Kerangka Peraturan dan Perundang-undangan

Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat begitu pentingnya sehingga harus terintegrasi dalam strategi dan kebijakan yang luas untuk pembaruan bidang kehutanan. Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat mensyaratkan perbaikan kerangka peraturan dan perundang-undangan sehingga hak-hak tersebut dapat diberikan tanpa menimbulkan masalah-masalah baru di bidang hukum. Kebingungan yang umum terjadi serta ketidak -jelasan yang mempengaruhi penguasaan Kawasan Hutan harus dilenyapkan. Peraturan dan perundang-undangan yang berlebihan serta tidak realistik merupakan satu isu yang juga harus dipecahkan.

V. PENUTUP


Bahwa konflik-konflik yang terjadi di atas tanah Kawasan Hutan selama ini banyak diakibatkan oleh adanya perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan Negara atas sumberdaya alam Indonesia. Perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan Negara tersebut tidak hanya terjadi antara pemerintah dengan masyarakat, namun juga di antara instansi pemerintah, dan antara pemerintah dengan para pelaku usaha. Perbedaan perbedaan ini sering diikuti dengan praktek-praktek pemanfaatan yang eksesif yang tidak diikuti dengan penyelesaian yang tepat sehingga menimbulkan situasi yang merugikan, baik terhadap sumberdaya hutan itu sendiri maupun terhadap masyarakat yang kehidupannya tergantung pada keberadaan dan keserasian alam tersebut.

Penguatan penguasaan hutan jelas dibutuhkan meski rumit dan mengundang perdebatan untuk maju lebih jauh ke arah pengelolaan hutan baik serta perlindungan hak-hak asasi manusia di Indonesia. Mengembangkan dan melaksanakan sebuah prakarsa pembaruan penguasaan di tingkat nasional akan membutuhkan kepemimpinan yang tegas dari lembaga-lembaga negara di tingkat pusat termasuk Departemen Kehutanan, BPN, DPR, serta dukungan kuat dari kelompok-kelompok masyarakat adat, organisasi masyarakat lain, ornop, kelompok pembela hak-hak asasi manusia serta komunitas donor internasional.

Badan-badan internasional dapat menyediakan dukungan konseptual untuk pembaruan kebijakan, pelajaran-pelajaran dari pengalaman internasional terkait prakarsa-prakarsa serupa atau masukan-masukan hasil riset dan kajian untuk suatu perdebatan kebijakan di tingkat nasional yang lebih obyektif. Meskipun bantuanbantuan internasional dapat bermanfaat pada akhirnya keberhasilan tetap akan bergantung kepada kepemimpinan dan kemauan politik pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Barbier E.B., N. Bockstael, J.C. Burgess and I. Strand. 1993. The timber trade and tropical deforestation in Indonesia.

Carter, J., 1999. Recent experience in collaborative forest management approaches: A review of key issues. Paper prepared for the World Bank Forest Policy Review Implementation and Strategy.-Washington DC, USA.

Dick, J. 1991. Forest land use, forest use zonation, and deforestation in Indonesia: a summary and interpretation of existing information. (BAPEDAL).

de Foresta et al. 2000. Ketika Kebun berupa hutan: Sebuah Sumbangan masyarakat, ICRAF Bogor; Suhardjito, ed., 2000. Hutan Rakyat di Jawa; Peranannya dalam Ekonomi Desa, Fahutan IPB, Bogor; Jurnal Hutan Rakyat 2002, Sustensi Hutan Rakyat dan Pengelolaan DAS, Pustaka Hutan Rakyat Vol IV, no 3, Yogyakarta.

FAO. 1996. Forest Resources Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover and Study of Change Processes. FAO.

Fay, C., and G. Michon. 2005. Redressing forestry hegemony: When a forestry regulatory framework is best replaced by an agrarian one. Forest, Trees and Livelihoods. Vol. 15.

Fraser, A.I. 1996. Social, economic and political aspects of forest clearance and land-use planning in Indonesia.

Hariadi. 1993. Rendahnya kontribusi pengusahaan hutan terhadap pembangunan regional. (The low level of economic contribution of forest enterprises to the regional development.) Teknolog.

Harsono, B. 1997. Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, jilid 1. Jakarta, Indonesia: Djambatan Publishing.

Sunati, A. 2003. Konsepsi yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Indonesia, Jakarta.

Soemardjono, M.S.W. 2001. Kebijakan Peratnahan: dari Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, Indonesia.

Theile, R. 1995. Conserving tropical rain forests in Indonesia: a quantitative assessment of alternative policies. Journal of Agricultural Economics.

World Bank. 1995. The economics of long term management of Indonesia’s natural forest.

Tidak ada komentar: