MUKTI AJI (Desember, 2007)
Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk konkret sektor pertambangan, menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit.
Namun dari sisi lingkungan hidup, pertambangan dianggap paling merusak dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya. Pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak dan atau menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing,, maupun batuan limbah, serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam.
Berkenaan dengan latar belakang pekerjaan Penulis di Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, maka penulis akan melihatnya dari sudut Kehutanan, dimana salah satu isu penting dalam pengembangan kegiatan pertambangan versus kelestarian lingkungan hidup adalah tumpang tindih dan konflik penggunaan lahan, terutama dengan kegiatan kehutanan.
A. BAGAIMANA UNDANG–UNDANG NO.23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENINJAU MASALAH PERTAMBANGAN
Undang-undang No. 23 tahun 2007 secara umum memerintahkan agar lingkungan hidup dikelola dalam rangka pembangunan dengan serasi, seimbang, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dimana setiap orang memeiliki hak yang sama untuk dapat mengelola namun diatur sepenuhnya oleh pemerintah. Secara rinci penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Dalam Pasal 3 diterangkan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan sasaran seperti dijabarkan pada pasal 4 diantaranya :
a. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup;
b. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
2. Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dikatakan bahwa sumber daya alam yang dikuasai oleh negara akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (pasal 8), ) yang kemudian diatur hak, kewajiban dan peran masyarakat seperti yang tertuang pada pasal 5, 6 dan pasal 7 dimana Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Tugas Pemerintah dijelaskan pada pasal pada pasal 8 diantaranya :
a. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
b. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam;
c. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan.
4. Perihal pelestarian fungsi lingkungan hidup dijabarkan pada pasal 14 s/d 17 diantaranya :
a. Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup;
b. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan;
c. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
B. UNDANG–UNDANG NO.11 TAHUN 1967 TENTANG PERTAMBANGAN
Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 1). Beberapa ketentuan pokok yang diatur dalam Undang-undang tersebut antara lain :
1. Penggolongan pelaksanaan penguasaan bahan galian diatur pada pasal 3 – 4 sebagai berikut :
a. Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian golongan bahan galian strategis dan Golongan bahan galian vital dilakukan oleh Menteri.
b. Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian selain golongan bahan galian strategis dan Golongan bahan galian vital dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.
2. Usaha pertambangan bahan-bahan galian dapat meliputi (pasal 14) : penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, serta penjualan.
3. Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya (pasal 30).
C. BAGAIMANA UNDANG–UNDANG NO.41 TAHUN 1997 TENTANG KEHUTANAN DAN PERPU NO. 1 TAHUN 2004 MENINJAU MASALAH PERTAMBANGAN
Dalam UU No.41/1999, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1). Hutan dapat dikategorikan sebagai 1) hutan berdasarkan statusnya, meliputi hutan negara dan hutan hak, 2) hutan berdasarkan fungsinya, meliputi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
Beberapa hal yang diatur yang terkait dengan kegiatan pertambangan, adalah sebagai berikut :
1. Definisi pengelolaan hutan dijelaskan pada pasal 21 meliputi :
a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
b. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan;
c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan;
d. Perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya (pasal 23), yang dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional (pasal 24).
3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan diatur pada pasal 38 sebagai berikut :
a. Hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung yang dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
b. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Untuk kegiatan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan selanjutnya diatur bahwa semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.
D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Beberapa hal yang berkaitan dengan persoalan pertambangan kaitanya dengan persoalan lingkungan dan khususnya dengan masalah kehutanan adalah sebagai berikut :
1. Dampak pertambangan terhadap kerusakan lingkungan
Keberadaan industri pertambangan sangat ditentukan oleh karakteristik cadangan dan tergantung pada lokasi cadangan tersebut. Sifat hakiki dari kegiatan pertambangan adalah membuka lahan, mengubah bentang alam sehingga mempunyai potensi merubah tatanan ekosistem suatu wilayah baik dari segi biologi, geologi dan fisik maupun tatanan sosio-ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Karena sifat sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (nonremovable) maka dalam kurun waktu tertentu cadangan sumbernya akan habis dan dapat menimbulkan berbagai masalah lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Perubahan bentang alam sebagai akibat kegiatan pertambangan tersebut menimbulkan citra, persepsi dan pengertian masyarakat bahwa kegiatan pertambangan lebih banyak menimbulkan kerusakan dan kerugian masyarakat dibandingkan dengan manfaatnya, khususnya manfaat bagi masyarakat di sekitar tambang.
Oleh karena itu beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan tambang sebelum beroperasi adalah :
a. Perlindungan Lingkungan Pertambangan dan Pasca Tambang.
Pertambangan tidak dipungkiri berpotensi menyebabkan gangguan terhadap lingkungan, termasuk fungsi lahan dan hutan. Tekanan yang besar terhadap pertambangan diakibatkan oleh perilaku beberapa kegiatan pertambangan diakibatkan oleh perilaku beberapa kegiatan pertambangan yang memang harus dikoreksi, serta awamnya masyarakat terhadap teknologi pertambangan yang benar, sehingga muncul persepsi yang kurang pas terhadap pertambangan secara keseluruhan. Persepsi yang salah tersebut juga mempengaruhi berbagai kebijakan di sektor lain yang tentunya tanpa disadari telah mengunci kegiatan sektor pertambangan. Salah satu tujuan adanya kegiatan pertambangan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu maka segala kegiatan yang dapat menyebabkan keresahan masyarakat, termasuk kerusakan lingkungan sudah selayaknya dicegah atau paling tidak ditanggulangi.
Di samping itu untuk mendukung pembangunan berkelanjutan setelah periode pasca tambang, perlu ada kebijakan penutupan tambang yang bertujuan untuk mendorong setiap kegiatan pertambangan mempunyai konsep sejak dini mengenai penataan lahan bekas tambang agar aman dan tetap mempunyai fungsi lingkungan. Konsep pemanfaatan lahan bekas tambang tersebut tentunya harus sesuai dengan rencana pembangunan di daerah dan merupakan kesepakatan tiga unsur utama aktor pembangunan, yaitu industri pertambangan, pemerintah, dan masyarakat. Dalam melaksanakan penutupan tambang wajib memenuhi prinsip-prinsip lingkungan hidup, K3, serta konservasi bahan galian.
b. Konservasi
Sumberdaya mineral dan batubara adalah sumberdaya alam yang tak terbarukan, maka pengelolaan, pengusahaan, dan pemanfaatannya mutlak harus optimal, baik bagi perusahaan, masyarakat, pemerintah, maupun lingkungannya. Sehubungan dengan hal tersebut maka segala bentuk pemborosan sumberdaya mineral dan batubara harus dicegah dan dihindari.
Penerapan prinsip konservasi dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan produksi penambangan, pengolahan, penanganan cadangan marjinal, dan mengoptimalkan pemanfaatan mineral ikutan. Dalam rangka konservasi mineral dan batubara, setiap cadangan yang telah diketahui kualitas dan kuantitasnya (termasuk tailing) harus didata dengan baik, sehingga apabila terjadi perubahan harga di pasaran, antisipasi di lapangan dapat dilakukan dengan baik, tanpa menimbulkan ketidak-efisienan produksi dan pengolahan/pemurnian bahan galian.
2. Sulitnya Mengakomodasi Kegiatan Pertambangan kedalam Penataan Ruang
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya terminologi land use dan land cover dalam penataan ruang. Land use (penggunaan lahan) merupakan alokasi lahan berdasarkan fungsinya, seperti permukiman, pertanian, perkebunan, perdagangan, dan sebagainya. Sementara land cover merupakan alokasi lahan berdasarkan tutupan lahannya, seperti sawah, semak, lahan terbangun, lahan terbuka, dan sebagainya. Pertambangan tidak termasuk ke dalam keduanya, karena kegiatan sektor pertambangan baru dapat berlangsung jika ditemukan kandungan potensi mineral di bawah permukaan tanah pada kedalaman tertentu. Meskipun diketahui memiliki kandungan potensi mineral, belum tentu dapat dieksploitasi seluruhnya, karena terkait dengan besaran dan nilai ekonomis kandungan mineral tersebut. Proses penetapan kawasan pertambangan yang membutuhkan lahan di atas permukaan tanah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan proses penataan ruang itu sendiri
3. Tumpang Tindih Pemanfaatan Ruang dengan Lahan Kehutanan
Hutan merupakan ekosistem alami tempat senyawa-senyawa organik mengalami pembusukan dan penimbunan secara alami. Setelah cukup lama, materi-materi organik tersebut membusuk, akhirnya tertimbun karena terdesak lapisan materi organik baru. Itu sebabnya hutan merupakan tempat yang sangat mungkin mengandung banyak bahan mineral organik, yang potensial untuk dijadikan sebagai bahan tambang. Saat ini pertambangan sering dilakukan di daerah terpencil, bahkan di kawasan hutan lindung.
Pada dasarnya, dengan atau tanpa pemberlakuan UU No.41/1999, pertambangan akan selalu bersinggungan dengan kawasan kehutanan. UU No.41/1999 menimbulkan ruang gerak sektor pertambangan semakin terbatas khususnya dalam hal pertambangan di hutan lindung. Karena itu, perlu dirumuskan langkah-langkah yang menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution), yang artinya menguntungkan sektor pertambangan sekaligus tidak merugikan kawasan hutan.
E. PENUTUP
Tumpang tindih lahan sektor kehutanan dan pertambangan memerlukan perhatian dan “kelapangan dada” dari kedua belah pihak, untuk sama-sama mencari solusi yang terbaik dan adil. Solusi ini berupa tetap pada prinsip pelestarian hutan, namun memberikan ruang gerak yang cukup bagi sektor pertambangan.
1 komentar:
artikel yang sangat membantu dalam mencari informasi
www.sepatusafetyonline.com
Posting Komentar