Selasa, 20 Mei 2008

MANAJEMEN KOLABORATIF : ALTERNATIF SOLUSI ATAS KONFLIK PENGELOLAAN SDA

Mukti Aji (Februari, 2008)

I. PENDAHULUAN


Pembangunan yang seimbang dan terpadu antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup adalah prinsip pembangunan yang senantiasa menjadi dasar pertimbangan utama bagi seluruh sektor dan daerah guna menjamin keberlanjutan proses pembangunan itu sendiri. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004–2009, perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup diarahkan untuk memperbaiki sistem pengelolaan sumber daya alam agar sumber daya alam mampu memberikan manfaat ekonomi, termasuk jasa lingkungannya, dalam jangka panjang dengan tetap menjamin kelestariannya.

Diakui bersama bahwa konflik dan sengketa tenurial dalam Kawasan Hutan, hak masyarakat dalam mengakses sumberdaya alam, dan kepemilikan lahan telah mengakibatkan ketegangan dan mengakibatkan peningkatan degradasi hutan. Konflik-konflik yang terjadi dalam Kawasan Hutan selama ini terjadi akibat permasalahan-permasalahan pokok yang antara lain karena adanya dualisme sistem pertanahan yaitu system pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut pemerintah dan masyarakat. Secara de jure Kawasan Hutan berada dalam penguasaan Negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan Negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak.

Pembangunan kehutanan selama lebih dari tiga puluh tahun telah difungsikan sebagai penunjang pembangunan ekonomi dengan memanfaatkan hasil hutan kayu secara berlebih, sementara masalah sosial dan lingkungan yang berkaitan dengan hutan kurang mendapat perhatian yang memadai. Akibat dari itu, hutan Indonesia telah terdegradasi dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Dampak-dampak negatif dari degradasi hutan juga semakin sering terjadi dengan korban jiwa dan materi yang semakin besar. Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah peningkatan perbaikan pengelolaan hutan secara terus menerus, yang melibatkan semua pihak.

II. TEORI KONFLIK


Menurut Hardjana (1994), konflik, perselisihan, percekcokan, pertentangan merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar dan amat mungkin terjadi. Seperti pengalaman hidup yang lain, konflik tidak dapat dirumuskan secara ketat. Lebih tepat jika konflik itu diuraikan dan dilukiskan. Konflik terjadi manakala dalam hubungan antara dua orang/kelompok atau lebih, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau beberapa orang/kelompok tersebut saling tergangu.

Konflik merupakan hal yang dapat atau biasa terjadi dalam hidup. Secara teoritis konflik berpotensi timbul dalam setiap interaksi sosial, tidak hanya disebabkan karena adanya perjuangan untuk bertahan hidup dengan keterbatasan ruang/sumber daya (struggle for limited space/resources), tetapi dikarenakan adanya insting agresif dan kompetitif yang dimiliki oleh manusia (innate instinct). Beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya konflik, antara lain yaitu :

1. Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikasi.

2. Perbedaan tujuan karena perbedaan nilai hidup yang dipegang.

3. Rebutan dan persaingan sumber daya.

4. Kurang jelasnya wewenang dan tanggung jawab.

5. Penafsiran yang berbeda atas suatu hal, perkara dan peristiwa yang sama.

6. Kurangnya kerjasama.

7. Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja.

Ada tiga komponen utama dalam konflik, yaitu: 1) kepentingan (interests), baik yang bersifat subyektif ataupun obyektif; 2) emosi (emotional), yaitu perasaan seperti kemarahan, ketakutan, dan lain-lain; 3) nilai (values), yang seringkali sulit terukur dan tertanam pada ide dan perasaan mengenai benar dan salah dalam mengatur perilaku kita (Soekanto, 1990 dalam Sardjono, 2004).

Menurut Hardjana (1994) secara garis besar, penyebab atau inti konflik itu dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu: (1) Masalah struktural; (2) Masalah kepentingan; (3) Masalah perbedaan nilai; (4) Masalah perbedaan data; dan (5) masalah hubungan antar manusia. Konflik dapat berintikan salah satu atau gabungan dua atau lebih diantara inti konflik yang telah disebutkan di atas.

Konflik bukan merupakan hal yang statis, tetapi dinamis dan mempunyai proses sendiri. Lingkaran konflik terdiri dari hal-hal berikut (Hardjana, 1994), yaitu:

1. Kondisi yang mendahului (antecedent conndition). Kondisi ini terdiri dari faktor-faktor yang pada umumnya membawa pada konflik.

  1. Kemungkinan konflik yang dilihat (precieved potential conflict). Pada tahap ini satu atau beberapa pihak yang terlibat melihat kemungkinan adanya konflik di antara mereka
  2. Konflik yang dirasa (felt conflict). Pada tahap ini, benturan kepentingan dan kebutuhan terjadi. Satu pihak atau beberapa pihak yang terlibat melihat keadaan yang tidak memuaskan, menghambat, menakutkan, dan mengancam.
  3. Perilaku yang tampak (manifest behavior). Pada waktu konflik sudah terjadi orang-orang menanggapi dan mengambil tindakan. Bentuknya dapat secara lisan, seperti saling mendiamkan, bertengkar, berdebat, atau nyata dalam perbuatan seperti bersaing, bermusuhan, atau menyerang.
  4. Konflik ditekan atau dikelola (suppressed or manged conflict). Pada tahap ini konflik yang sudah terjadi dapat ditekan, artinya konflik ditiadakan. Secara alamiah konflik itu tampak seperti sudah selesai, meskipun masalah intinya tidak ditangani, dan pihak-pihak yang berkonflik hanya sekedar berdampingan dalam suasana panas itu.
  5. Sesudah konflik diselesaikan (mangement aftermath). Bila konflik tidak dikelola dan diselesaikan, pihak-pihak yang terlihat dalam konflik menanggung segala akibatnya entah bagi diri sendiri, kerja, hubungan, dengan orang lain atau lembaga tempat orang bekerja.

Terlepas dari pengelolaan konflik secara positif maupun secara negatif, secara garis besar cara pengelolaan konflik dapat digolongkan menjadi lima kelompok, yaitu (Hardjana, 1994):

  1. Bersaing, bertanding (competiting), menguasai (dominating) atau memaksa (forcing). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri menang-kalah (win-lose approach). Pendekatan ini ditempuh jika tujuan penting, sedangkan hubungan baik dengan orang yang menjadi lawan konflik tidak penting.
  2. Kerjasama (collaborating) atau menghadapi (confronting). Dengan cara pengelolaan konflik ini, kedua pihak yang terlibat dalam konflik bekerjasama dan mencari pemecahan konflik yang memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Cara pengelolaan ini merupakan pendekatan menang-menang (win-win approach). Cara ini ditempuh jika tujuan amat penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga amat penting.
  3. Kompromi (compromising) atau berunding (negotiating). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik tidak ada yang menang atau kalah (neither win-win nor lose-lose approach). Cara ini ditempuh jika tujuan kepentingannya sedang-sedang saja dan hubungan baik dengan lawan konflik juga sedang-sedang saja kepentingannya.
  4. Menghindari (avoiding) atau menarik diri (withdrawal). Cara pengelolaan konflik menghindari merupakan pendekatan kalah-kalah (lose-lose approach). Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga tidak penting.
  5. Menyesuaikan (accomodating), memperlunak (smoothing) atau menurut (obliging). Cara pengelolaan menyesuaikan merupakan pendekatan kalah-menang (lose-win approach). Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting, tetapi hubungan dengan lawan konflik penting.

Resolusi konflik (dispute resolution) merupakan seluruh metoda, praktek, dan teknik, resmi ataupun tidak, melalui atau di luar pengadilan, yang digunakan untuk menyelesaikan konflik (miall, dkk, 1993). Secara luas, resolusi konflik dimaksudkan sebagai reduksi nyata dari suatu konflik sosial. Resolusi konflik ini bisa terjadi melalui usaha atas kesadaran sendiri (self-conscious efforts) untuk mencapai kesepakatan, atau bisa juga terjadi akibat berbagai penyebab lain, seperti perubahan lingkungan, pengaruh pihak ketiga, kemenangan salah satu pihak, dan sebagainya. Sedangkan secara lebih spesifik, resolusi konflik didefinisikan sebagai reduksi nyata dari suatu konflik sosial dalam rangka membangun kesadaran (concious settlement) dari permasalahan pertikaian (issues in dispute).

Sardjono (2004) menawarkan delapan prosedur umum penyelesaian konflik, yaitu:

1. Lumping it, terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan. Prosedur ini dilakukan karena penuntut (claimants) kekurangan informasi atau akses terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dan menganggap keberhasilan tuntutan akan rendah dan/atau biaya yang dikeluarkan untuk itu terlalu besar atau tidak sebanding dengan pencapaian hasilnya.

  1. Avoidance atau exit, yaitu mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Berbeda dengan lumping it yang tetap memelihara hubungan dan mengabaikan konflik. Di sini dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi, atau psikologi.
  2. Coercion, yaitu suatu pihak yang bersengketa menerapkan hasrat pada pihak yang lain. Bisa saja penerapannya dilakukan dengan ancaman atau paksaan, sebagaimana banyak terjadi di masyarakat.
  3. Negotiation, yaitu kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama-sama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga. Kedua belah pihak tersebut tidak mencari solusi masalah sesuai paraturan yang berlaku, melainkan menciptakan peraturan diantara mereka sendiri. Pemahaman ini mencakup pemecahan masalah kolaboratif (collaborative problem solving) dan negosiasi.
  4. Concilliation, yaitu mengajak kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan. Konsiliator (conciliator) tidak selalu berperan aktif dalam negosiasi selanjutnya, meskipun yang bersangkutan dapat saja bertindak demikian dalam kapasiitas tertentu atas permintaan pihak-pihak yang bertikai. Konsiliator seringkali memberikan konteks negosiasi, seperti tempat, fasilitas pendukung dan akan bertindak sebagai perantara (as a go-between).
  5. Mediation, adalah pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. Mediator bisa ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa atau mewakili otoritas di luar pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bersengketa menyetujui intervensi mediator tersebut. Praktek ini dikenal luas di masyarakat.
  6. Arbitration, bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.
  7. Adjudication, apabila terdapat intervensi dari pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil, baik yang diharapkan ataupun tidak oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Sistem pengadilan merupakan contoh terbaik dari ajudikasi.


III. KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN


Dalam membahas masalah pengelolaan sumber daya alam, perhatian biasanya difokuskan pada dimensi hubungan sosial yang berkaitan dengan sumber daya alam, serta masalah-masalah sosial yang muncul dan berkembang sebagai konsekuensi dari hubungan sosial tersebut. Hubungan sosial itu dapat terjadi pada tingkat mikro, meso ataupun makro, dalam arti menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan keluarga, organisasi, kelompok maupun masyarakat luas. Hubungan sosial itu dapat merefleksikan suatu integrasi sosial, tetapi juga dapat mencerminkan konflik sosial. Dalam sosiologi, integrasi sosial dikonsepsikan sebagai suatu proses ketika berbagai kelompok sosial yang ada dalam masyarakat saling menjaga keseimbangan untuk membentuk kedekatan hubungan, baik yang bersifat sosial, ekonomi maupun politik. Kelompok-kelompok sosial itu dapat terwujud atas dasar agama atau kepercayaan, suku, ras, dan kelas.

Kelompok-kelompok sosial yang terintegrasi dapat membentuk social networks (jaringan-jaringan hubungan) dalam sebuah unit sosial yang relatif akrab. Selanjutnya, hubungan sosial yang berkaitan dengan sumber daya alam secara teoritis dapat membentuk dua model struktur sosial. Model yang pertama lebih bersifat elitis, dalam arti kelompok elit atau penguasa berada di puncak strata. Mereka sangat leluasa bahkan memonopoli penafsiran atas manfaat dan fungsi sumber daya alam, dan kurang memberi peluang pada kemungkinan berkembangnya keragaman pemahaman tentang manfaat dan fungsi sumber daya alam. Sebaliknya, model yang kedua lebih berstruktur horisontal, dalam arti membuka kesempatan berdialog, mengembangkan komunikasi dua arah dan menghargai kemungkinan terjadinya perbedaan pemahaman sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang melembaga dalam masyarakat.

Menurut Usman (2004), untuk melakukan pemetaan konflik sosial terkait dengan degradasi lingkungan dan sumber daya alam sedikitnya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) faktor-faktor yang determinan mempengaruhi degradasi lingkungan; dan (2) gerakan-gerakan sosial yang merespon degradasi lingkungan tersebut dalam bentuk aksi mempengaruhi pelbagai pihak untuk merubah kebijakan tersebut. Faktor-faktor yang determinan mempengaruhi degradasi lingkungan dapat diterangkan melalui dua macam eksplanasi, yaitu: (1) eksplanasi ekologis dan (2) eksplanasi ekonomi politik.

Eksplanasi ekologis mengasumsikan bahwa degradasi lingkungan sebagai kondisi buruk ketika terjadi ketidakseimbangan antara supply depot (tempat yang menyediakan kebutuhan hidup dan kehidupan manusia), waste repository (tempat pembuangan barang yang dipergunakan oleh manusia) dan living space (tempat makhluk mempertahankan hidup dan kehidupan). Dalam konteks ini, supply depot telah berkembang sedemikian rupa sehingga waste repository mengganggu keberadaan living space. Sementara itu dalam eksplanasi ekonomi politik, degradasi sumber daya alam diasumsikan sebagai kondisi buruk akibat dari kegiatan ekonomi para pemilik modal.

Secara ringkas di atas dapat dinyatakan bahwa persoalan konflik pengelolaan sumberdaya hutan itu terutama berakar pada dua hal, yaitu: (1) kebijakan eksploitasi sumber daya alam yang dikembangkan di atas sistem yang mengutamakan konsep milik negara (state property) dan mengabaikan konsep milik pribadi (private property) dan milik komunal (communal property), dan (2) penempatan sumberdaya alam sebagai aset ekonomi atau faktor produksi secara berlebihan. Akar persoalan itu lebih pada tataran struktural, terutama dalam konteks kelembagaan, karena itu resolusi konflik lingkungan dan sumber daya alam harus dibangun dari konteks struktural pula. Pada tataran struktural, resolusi konflik bisa berbentuk rekonsiliasi dan rehabilitasi dalam memulihkan hubungan koeksistensi damai melalui pembenahan institusi sosial dan membangun kembali infrastruktur sosial yang rusak.

Secara garis besar konflik pengelolaan sumber daya hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal (Fisfer,dkk, 2000). Konflik vertikal adalah konflik yang melibatkan masyarakat di sekitar hutan dengan pihak-pihak lain yang dianggap memepunyai otoritas dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pihak-pihak di luar masyarakat tersebut antara lain: Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, BUMN, pengusaha kayu, dan aparat keamanan. Sedangkan konflik horisontal adalah konflik yang terjadi antar kelompok dalam masyarakat sendiri. Konflik ini melibatkan faksi-faksi atau keluarga-keluarga dalam masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda.

Yang termasuk ke dalam golongan konflik vertikal dalam pengelolaan hutan antara lain: (a) konflik tumpang tindih kebijakan; (b) konflik perebutan kewenangan pengelolaan hutan; (c) konflik perebutan hak pemanfaatan hasil hutan; (d) konflik pemanfaatan lahan hutan; (e) konflik karena tidak meratanya distribusi pendapatan dari hasil hutan; dan (f) konflik karena dampak yang ditimbulkan akibat eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Sedangkan yang termasuk golongan konflik horisontal dalam pengelolaan hutan antara lain : (a) konflik dalam pembagian lahan keluarga/desa; (b) konflik dalam pembagian hasil hutan; (c) konflik karena tidak meratanya kesempatan kerja di hutan; dan (d) konflik pemanfaatan sumberdaya hutan seperti kayu bakar, pakan ternak dan hasil hutan non kayu.


IV. PENGELOLAAN HUTAN KOLABORATIF SEBAGAI ALTERNATIF SOLUSI

Penyelesaian berbagai konflik seperti tersebut di atas bermacam-macam. Biasanya untuk kasus konflik horisontal diselesaikan lewat musyawarah antar warga masyarakat, sedangkan konflik vertikal diselesaikan lewat jalur hukum dan politik. Bahkan, kerap kali dijumpai penggunaan tindakan represif dan kekerasan untuk menyelesaikan konflik vertikal. Hasilnya dapat ditebak bahwa masyarakat sebagai pihak yang lemah banyak menjadi korban akibat tindakan represif ini.

Oleh sebab itu perlu diterapkannya pola kolaborasi pengelolaan karena ada peluang besar untuk menyelesaiakan berbagai konflik tersebut melalui jalur musyawarah antar pihak. Bahwa dipandang penting untuk membuat forum multipihak sebagai wadah para stakeholders untuk berkomukasi, berkoordinasi dan bermusyawarah menyelesaiakan berbagai permasalahan yang dihadapi bersama.

Penerapan pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan hutan ini diharapkan akan memberikan beberapa dampak positif berikut ini, yaitu:

1. Program pembangunan hutan lebih aplikatif sesuai deengan kondisi fiisik hutan, konteks sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat, sehingga memenuhi fungsi kelestarian hutan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

2. Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab diantara semua pihak terkait dalam merencanakan dan melaksanakan program, sehingga pelaksanaan program pembangunan hutan bisa berjalan efektif dan berkesinambungan.

3. Adanya peran bagi semua stakeholders untuk terlibat dalam proses pembangunan hutan, khususnya dalam hal pengambilan dan pertanggungan jawab keputusan sehingga semua stakeholders kehutanan terberdayakan.

4. Pelaksanaan program kehutanan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan setempat.

5. Adanya transparansi dan keterbukaan akibat penyebaran informasi dan wewenang yang jelas.

6. Pelaksanaan program lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan.

Keenam dampak positif diterapkannya pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan hutan tersebut hanya akan terjadi jika pada pelaksanaannya para stakeholders senantiasa menjunjung tinggi dan mengamalkan prinsip-prinsip kolaborasi. Prinsip-prinsip kolaborasi yang perlu diamalkan dalam pembangunan hutan adalah sebagai berikut :

1. Keterlibatan stakeholders. Adanya keterlibatan semua pihak, baik individu maupun kelompok masyarakat yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan.

2. Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya semua pihak mempunyai ketrampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses pembangunan hutan guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.

3. Transparansi (Transparency). Semua pihak harus dapat menumbuh-kembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog yang produktif.

4. Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power / Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi dalam pengelolaan hutan.

5. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses pembangunan hutan karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.

6. Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak dalam pembangunan hutan tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain .

7. Kerjasama (Cooperation). Diperlukan adanya kerjasama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia dan sumber daya modal.

Beberapa contoh isu yang seringkali menjadi persoalan dan diharapkan akan bisa diselesaikan melalui Pengelolaan kolaborasi antara lain: tumpang tindih batas, perbedaan kepentingan para pihak dan perbedaan persepsi dalam melihat nilai penting sebuah kawasan hutan. Secara detil, beberapa hal yang seringkali ‘disentuh’ dalam sebuah konsep pengelolaan kolaboratif adalah (Tajjudin, 2000):

1. Batas dan teritori sebuah kawasan hutan.

  1. Batasan fungsi dan keberlanjutan penggunaan.
  2. Identifikasi para pihak yang terlibat.
  3. Fungsi dan tanggungjawab para pihak sebagaimana yang diasumsikan oleh masing-masing pihak.
  4. Keuntungan dan hak yang diperoleh oleh masing-masing pihak.
  5. Kesepakatan terhadap prioritas dan rencana pengelolaan kawasan.
  6. Prosedur untuk menghadapi konflik dan melakukan negosiasi yang menghasilkan keputusan bersama mengenai hal tersebut diatas.
  7. Prosedur untuk mendorong implementasi keputusan tersebut.
  8. Memperjelas aturan untuk monitoring, evaluasi dan peninjauan kesepakatan kerjasama dan rencana pengelolaan jika dibutuhkan.

V. HAMBATAN DAN UPAYA PEMECAHAN


Pengelolaan kolaboratif didefinisikannya sebagai sebuah bentuk resoolusi konflik yang mengakomodasikan sikap bekerjasama (cooperative) dan assertive yang tinggi dengan tujuan mencapai sebuah ‘win-win solution’. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya hutan, pengelolaan kolaboratif dapat dikatakan sebagai sebuah situasi dimana beberapa atau semua pihak pada sebuah kawasan hutan terlibat dalam aktivitas pengelolaannya (Wiyono, 2008).

Hambatan-hambatan yang kerap ditemui pada pengelolaan hutan kolaboratif antara lain:

1. Hambatan perilaku. Secara psikologis, aparatur pemerintah seringkali merasa bahwa aparat lebih terhormat dan tinggi statusnya dibandingkan dengan masyarakat desa sekitar hutan. Demikian juga secara psikologis masyarakat merasa bahwa mereka lebih rendah dan kurang pengetahuannya dibandingkan dengan aparat pemerintah.

2. Hambatan kebijakan. Aparatur pemerintahan sudah terbiasa bekerja dengan memakai pedoman aturan yang baku yang bersifat instruktif dan top down. Cara-cara lama dalam pengambilan kebijakan tersebut tercermin dalam bentuk Surat Keputusan, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis yang terlalu rigid sehingga memandulkan kreatifitas pelaksana di lapangan.

3. Hambatan sistem manajemen. Diakui ataupun tidak, sampai saat ini sistem manajemen pengelolaan hutan masih mengikuti model perencanaan konvensional yang bersifat top-down dan sentralistik dan menegasikan konteks dan local specific. Biasanya pimpinan perusahaan di tingkat pusat menyiapkan "cetak biru" untuk dilaksanakan oleh petugas lapangan. Ditambah lagi, masih banyak keputusan, panduan pelaksanaan dan petunjuk teknis yang mempersempit ruang gerak staf operasional di lapangan untuk bisa fleksibel dan berpartisipasi.

4. Hambatan sumber daya manusia. Konsep pembangunan yang berfokus pada masyarakat merupakan konsep baru bagi aparat pemerintah, sehingga butuh waktu untuk sekadar memperkenalkan agar konsep ini bisa dipahami dan diterima ditengah-tengah mereka. Oleh karena itu diperlukan pelatihan untuk membekali mereka dengan pemahaman dan keahlian baru yang akan berguna dalam pelaksanaan program pembangunan.

Untuk menanggulangi hambatan-hambatan tersebut maka diperlukan tindakan bersama oleh semua stakeholder :

1. Masyarakat. Anggota masyarakat perlu diberdayakan dengan memegang tanggung jawab lebih besar dalam pengelolaan hutan ketimbang hanya menunggu apa yang disediakan pemerintah dan pemegang ijin hak. Masyarakat bukan lagi berperan sebagai obyek pembangunan kehutanan melainkan menjadi subyek. Oleh karena itu hendaknya masyarakat proaktif terlibat dalam merencanakan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi program-program kehutanan. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan bisa berupa: (a) pembutan kesepakatan bersama dengan Pemegang Ijin hak (IUPHHK/HTI/ISL) tentang hak dan kewajiban dalam pengelolaan hutan; (b) pembuatan rencana mikro pengelolaan hutan; (c) pelaksanaan kegiatan teknis kehutanan mulai dari persemaian, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, pengamanan, dan pemanenan; (d) monitoring tegakan dan penanganan pasca panen.

2. Pemegang Ijin Hak (IUPHHK,HTI,ISL). Pemegang ijin hak harus berperan sebagai fasilitator, menciptakan suasana positif agar semua pihak terkait bisa memberikan konstribusi dalam pengembangan dan pelaksanaan program. Mereka semestinya bertindak sebagai 'pemungkin' (enabler) yang mendorong masyarakat untuk mencari dan menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang muncul, dan bukannya menyediakan jawaban atas semua masalah yang ada. Mereka selayaknya mempertimbangkan perspesktif sosial dan hal-hal teknis serta menghindari dominasi atas berjalannya proses partisipasi dalam pembangunan hutan.

3. Pemerintah Daerah. Lembaga pemerintah di tingkat kabupaten perlu membuat mekanisme penyusunan manajemen, monitoring serta evaluasi untuk mempromosikan penerapan pendekatan partisipatif di tingkat lapangan dan lembaga-lembaga terkait. Staf pemerintah memerlukan keahlian baru guna penerapan pendekatan ini, sehingga mesti ada mekanisme penyebaran informasi dan menjalin hubungan koordinasi dengan pemegang ijin hak, masyarakat, serta instansi lain terkait. Lebih jauh, pemerintah daerah hendaknya juga menyediakan anggaran dana khusus untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan.

4. Pihak lain terkait. Pihak lain yang dimaksud misalnya LSM, lembaga donor, perguruan tinggi, kalangan pers, dan lain-lain. Pihak-pihak tersebut harus senantiasa mendorong terwujudnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Peran mereka bisa sebagai fasilitator, penyedia jasa pelatihan, penyebaran informasi dan mediator bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

VI. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dua prioritas menyangkut hak dasar atas sumberdaya alam dan pengelolaan diusulkan sebagai bagian tak-terpisahkan dari proses rasionalisasi kawasan hutan. Yang pertama, memprioritaskan tindakan ke arah pengakuan atau pemberian hak-hak pengelolaan, atau jika memungkinkan, kepemilikan kepada masyarakat setempat (baik secara kolektif maupun perseorangan) atas tanah di dalam Kawasan Hutan. Hukum di Indonesia sampai sejauh ini tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Departemen Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam Kawasan Hutan Negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam (UUD, Pasal 33). Sebaliknya, Undang undang Pokok Agraria (UUPA) memungkinkan bagi negara untuk menguasai secara langsung tanah, jika hanya ketika tidak ada pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Namun, walaupun tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara, kewenangan Departemen Kehutanan hanyalah menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan pada tanah tersebut, (Fay dan Michon, 2005).

Yang kedua, hak-hak atas sumberdaya memprioritaskan pengelolaan berkelanjutan terhadap hutan yang secara aktual masih ada, sebagaimana didefinisikan oleh Undang-undang Kehutanan Tahun 1999 (UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan). Wilayah tersebut adalah hutan produksi dan hutan lindung yang tersisa. Tindakan tersebut mungkin akan mengarah kepada penguasaan hutan yang lebih masuk akal dan diterima luas. Hasilnya seharusnya diakui oleh masyarakat setempat dan seharusnya diarahkan untuk sebuah pengelolaan-bersama (co-management) sumberdaya hutan (bukan tanahnya) antara masyarakat setempat dengan pemerintah. Terpisah dari pertimbangan-pertimbangan etis dari praktik pengakuan hak-hak secara resmi yang berlaku di masyarakat sejak turun temurun, kepastian penguasaan tanah yang lebih luas memiliki implikasi positif terhadap ekonomi karena hal tersebut akan menurunkan ketidakpastian serta meningkatkan insentif untuk perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dengan meningkatkan peluang masyarakat setempat untuk menikmati hasil dari jerih payah mereka (De foresta,2000).

Upaya mengoptimalkan peranan dan sumbangan sektor kehutanan pada pembangunan berarti evaluasi dari kebjakan yang ada sekarang dan menyempurnakan aspek-aspek yang tidak mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Kejayaan hutan yang selalu didengungkan sebagai sumber daya alam yang berlimpah dan tak terkirakan nilainya tampaknya hanya akan tinggal kenangan apabila tidak ada upaya nyata dan sungguh-sungguh serta menyeluruh dari semua pihak yang berkepentingan untuk melestarikannya dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA


Awang, San Afri, 2003, Politik Kehutanan Masyarakat, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

De Foresta et al. 2000. Ketika Kebun berupa hutan: Sebuah Sumbangan masyarakat, ICRAF Bogor;, Pustaka Hutan Rakyat Vol IV, no 3, Yogyakarta.

Fay, C., and G. Michon. 2005. Redressing forestry hegemony: When a forestry regulatory framework is best replaced by an agrarian one. Forest, Trees and Livelihoods. Vol. 15.

Fisher, Simon, Jawed Ludin, Steve Williams, Dekha Ibrahim Abdi, Richard Smith dan Sue Williams, 2000, Mengelola Konflik, Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council, Indonesia, Jakarta.

Hardjana, Agus M., 1994, Konflik di Tempat Kerja, Kanisius, Yogyakarta.

Iskandar U, 1999, Dialog Kehutanan dalam Wacana Global, cet. 1, Bigraf Publishing : Yogyakarta.

Miall, Hugh, Oliver Ramsbothan, dan Tom Woodhouse, 2002, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mangunwijaya, F.M., 2006, Hidup Harmonis dengan Alam, edisi 1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Prakoso M., 1996, Renjana Kebijakan Kehutanan, Aditya Media, Yogyakarta.

Sardjono, Mustofa Agung, 2004, Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik, dan Kelestarian Sumberdaya, Debut Press, Yogyakarta.

Tajjudin, D, 2000, Manajemen Kolaborasi, Pustaka LATIN. Bogor.

Usman, Sunyoto, 2004, Jalan Terjal Perubahan Sosial, CIRed dan Jejak Pena, Yogyakarta.

Wiyono T Putro, 2008, Pentingnya Partisipasi dan Penguatan Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Jawa, Makalah Kursus Pengelolaan Hutan, DERAS Training Centre, Yogyakarta.

1 komentar:

alumni smagar'99 mengatakan...

mohon izin untuk mengunduh tulisannya. hatur nuhun