Mukti Aji (2007)
Analisa Hukum Kebakaran Hutan di Kalimantan Tengah
I. PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Dalam pengelolaan lingkungan hidup, kondisi pada saat ini menunjukkan terjadi penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan yang signifikan. Kasus pencemaran lingkungan cenderung meningkat. Tingkat kualitas udara di berbagai
Kemajuan transportasi dan industri yang tidak diiringi dengan penerapan teknologi bersih memberikan dampak negatif yang besar terutama bagi lingkungan perkotaan. Tingkat pencemaran air pada berbagai badan air baik air permukaan maupun air tanah juga menunjukkan tingkat yang mengkhawatirkan, yang dapat mengancam pemenuhan kebutuhan air bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Sungai-sungai di perkotaan semakin kehilangan fungsi ekologisnya karena tercemar limbah industri dan rumah tangga. Demikian juga dengan kondisi tanah yang semakin tercemar oleh bahan kimia yang berasal dari sampah padat dan pupuk kimia. Hilangnya berbagai spesies kenekaragaman hayati juga menjadi salah satu cerminan degradasi daya dukung lingkungan.
Di samping itu, kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup tersebut juga dipengaruhi oleh pertambahan penduduk yang pesat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi dengan penerapan yang tidak ramah lingkungan, dan kurangnya etika serta perilaku yang berpihak pada kepentingan pelestarian lingkungan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup, dan lemahnya penegakan hukum di bidang lingkungan hidup memicu kerusakan lingkungan hidup yang makin parah.
Kalimantan Tengah yang memiliki luas wilayah lebih dari 15,3 Juta hektar mempunyai masalah serius yaitu kerusakan hutan dan lahan yang telah mencapai lebih dari 4 juta hektar dan lahan kritis yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan seluas kurang lebih 1,7 juta hektar. Penyebabnya diantaranya adalah maraknya praktek illegal logging dan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
B. RUMUSAN MASALAH
Kebakaran hutan dan lahan adalah bencana yang hampir setiap tahun selalu berulang. Berbagai upaya untuk menekan jumlah kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan baik secara preventif maupun penegakan hukum dengan segala perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dari Pusat sampai tingkat Provinsi.
Beberapa peraturan dan kebijakan tersebut secara umum melarang adanya pembakaran hutan dan lahan. Khususnya di Kalimantan Tengah Gubernur melalui instruksi nomor : 364/1337/DISTAN tanggal 6 Agustus 2007 dengan tegas melarang kepada warganya untuk tidak melakukan pembakaran hutan, lahan dan pekarangan tanpa kecuali. Deklarasi Palangka Raya juga semakin memperkuat akan adanya larangan membakar hutan, lahan dan kebun.
Dalam kerangka melestarikan fungsi lingkungan, langkah ini patut kita acungi jempol, namun pertanyaannya kemudian adalah bagaimana terhadap para peladang dan petani tradisional Kalimantan Tengah yang secara riil telah menggunakan metoda pembakaran untuk membuka lahan bahkan sebelum Negara
Dalam tulisan ini penulis ingin merunut dan mengupas tentang peraturan perundangan dan hukum baik regulasi nasional (Undang-undang dan Peraturan Pemerintah) maupun regulasi daerah (Perda dan Keputusan Gubernur) yang berlaku, tentang kebakaran hutan dan lahan khususnya dalam hal pelarangan terhadap pembakaran hutan dan lahan yang nantinya akan berimbas pada penghilangan salah satu budaya lokal Kalimantan Tengah yaitu Perladangan tradisional. Padahal semua ahli ekologi setuju bahwa perladangan berpindah adalah metode pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
C. BATAS PENGERTIAN
Pembakaran adalah tindakan sengaja membakar sesuatu dengan maksud tertentu. Sementara kebakaran adalah terbakarnya sesuatu yang menimbulkan bahaya atau mendatangkan bencana. Kebakaran dapat terjadi akibat pembakaran yang tidak dikendalikan karena proses spontan alami atau karena kelalaian manusia. Sumber api alami ialah kilat yang menyambar pohon atau bangunan, letusan gunung api yang menebarkan bongkahan bara api, dan gesekan antara ranting tumbuhan kering karena goyangan angin yang menimbulkan panas dan percikan api.
Kelalaian disebabkan karena lupa, tidak tahu, atau lengah, sehingga membuat tindakan keliru dan tidak sengaja. Pembakaran yang menimbulkan kebakaran tidak dapat disebut kelalaian karena berkenaan dengan penggunaan api yang tidak dikendalikan. Peristiwa semacam ini ditimbulkan oleh kesengajaan yang tidak memperdulikan syarat-syarat menerapkan teknologi api.
II. TINJAUAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
A. SEJARAH KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
a. 1982 – 1983
Kebakaran hebat pertama yang merupakan akibat dari kombinasi antara pengelolaan hutan di era Orde Baru dan fenomena iklim El Nino menghancurkan 210.000 km2 dari wilayah Provinsi Kalimantan Timur selama tahun 1982–1983. Kalimantan Timur merupakan fokus pertama ledakan produksi kayu Indonesia, dan hampir seluruh kawasan dibagi menjadi kawasan HPH sejak tahun 1970–an. Praktek kegiatan pembalakan disini umumnya buruk, meninggalkan akumulasi limbah pembalakan yang luar biasa dalam hutan. Banyak spesies pionir dan sekunder tumbuh pesat di kawasan-kawasan yang telah dibalak, sehingga membentuk lapisan vegetasi bawah yang padat dan mudah terbakar daripada lapisan penutup tanah yang tidak begitu rapat, yang merupakan ciri hutan-hutan hujan primer.
Kekeringan akibat fenomena El Nino yang hebat melanda kawasan ini antara bulan Juni 1982 dan Mei 1983, dan kebakaran terjadi serempak hampir diseluruh wilayah Provinsi ini pada akhir tahun 1982. Kebakaran ini tidak dapat dikendalikan sampai akhirnya musim hujan tiba pada bulan Mei 1983. Saat itu 3,2 juta ha hutan habis terbakar; 2,7 juta ha diantaranya adalah hutan hujan tropis. Tingkat kerusakan bervariasi di areal yang berbeda, dari kebakaran bawah yang merambat perlahan di hutan primer sampai pengrusakan yang menyeluruh di areal yang baru saja dibalak dan di hutan-hutan rawa gambut. Sekitar 73.000 ha hutan dataran rendah Dipterocarpaceae yang bernilai komersial mengalami kerusakan berat dan 2,1 juta ha lainnya mengalami kerusakan ringan atau sedang.
Tingkat kerusakan kebakaran secara langsung berkaitan dengan tingkat degradasi hutan: hanya 11 persen dari hutan-hutan primer yang tidak dibalak pada areal yang dipengaruhi oleh kekeringan dan kebakaran yang sesungguhnya terbakar. Kerusakan terjadi sebatas vegetasi bawah, dan hutan sama sekali tertutup kembali menjelang tahun 1988. Sebaliknya, di kawasan yang luasnya hampir satu juta ha pada areal hutan ‘yang dibalak secara sedang (80% dibalak lebih dulu sebelum kebakaran), 84% hutan terbakar, dan kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih hebat (Schindler dkk, 1989 dalam Serasi, 2004). Suatu perkiraan menghitung biaya akibat kebakaran tahun 1982-1983 sekitar 9 miliar dolar, dimana hampir 8,3 miliar dolar berasal dari hilannya tegakan pohon (Hess,1994 dalam Serasi, 2004).
Kebakaran yang luas kembali terjadi beberapa kali dalam dekade berikutnya setelah kebakaran di Kalimantan Timur, diperkirakan membakar 500.000 ha pada tahun 1991 dan hampir 5 juta ha pada tahun 1994.
b. 1997 – 1998
Ketika kemarau panjang berikutnya oleh pengaruh El Nino yang hebat melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, akibatnya merupakan bencana. Menjelang awal tahun 1998 hampir 10 juta ha telah terkena dampak kebakaran, yang menyebabkan berbagai kerusakan yang diperkirakan hampir senilai 10 miliar dolar. Asap akibat kebakaran ini membuat sebagian besar kawasan Asia Tenggara berkabut hingga beberapa bulan.
Meskipun sudah ada peringatan dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup menjelang tahun 1997 akan terjadinya fenomena El Nino, pembakaran terutama untuk membuka lahan hutan dan belukar yang terdegradasi untuk perkebunan, terus terjadi di areal yang luas di Sumatera dan Kalimantan. Pembukaan lahan dengan cara membakar hutan tidak terbatas hanya di Kalimantan dan Sumatera – kebakaran dilaporkan terjadi di 23 dari 27 Provinsi Indonesia pada tahun 1997-1998. Namun, sejumlah besar kebakaran hutan yang luar biasa terjadi di kedua pulau tersebut disebabkan oleh perusahaan perkebunan dan berbagai proyek pemerintah yang melenyapkan puluhan ribu hektar dalam satu kesempatan saja.
Akibat terjadinya kebakaran pada tahun 1997-1998, kawasan hutan yang tadinya tertutup tajuk dengan cukup rapat (sebesar 63%) menurun secara drastis menjadi tinggal 4%; sedangkan hutan yang penutupan tajuknya sedang menurun dari 8% menjadi 5%. Sedikitnya 83% bentang alam hutan sekarang ini berubah menjadi tipe vegetasi sekunder (hutan tajuk terbuka, vegetasi kerdil, dan padang rumput). Luasan vegetasi sekunder ini sangat jauh meningkat dibandingkan dengan luasan tahun 1987 yang hanya sekitar 33%.
Secara umum data tahun dan luas kebakaran tersaji pada tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Data tahun dan luasan hutan yang terbakar
NO | TAHUN | LUAS (Ha) |
1. | 1877 | Tercatat pertama kali |
2. | 1915 | 80.000 |
3. | 1982/1983 | 3.600.000 |
4. | 1987 | 66.000 |
5. | 1991 | 500.000 |
6. | 1994 | 5.110.000 |
7. | 1997/1998 | 10 – 11.000.000 |
Sumber data : Bambang Hero Saharjo, IPB, 2006
c. Tahun 2005 - 2006
Untuk tahun 2005 dan 2006 luas areal yang terbakar mencapai 8.000.000 ha dengan jumlah titik panas (Hot Spot) yang terjadi di beberapa Provinsi tersaji sebagai berikut :
Tabel 2. Data Hotspot tahun 2005 dan 2006
NO | PROVINSI | TAHUN 2005 | TAHUN 2006 |
1. | Sumatera Utara | 3.830 | 3.581 |
2. | Riau | 22.630 | 35.426 |
3. | Jambi | 1.208 | 6.948 |
4. | Sumatera Selatan | 1.182 | 21.734 |
5. | Kalimantan Barat | 3.022 | 29.266 |
6. | Kalimantan Tengah | 3.147 | 40.897 |
7. | Kalimantan Selatan | 758 | 6.469 |
8. | Sulawesi Selatan | 133 | 1.201 |
Sumber data : Bambang Hero Saharjo, IPB, 2006
B. DAMPAK KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Masalah Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia semakin meningkat dalam dasawarsa terakhir ini dan menimbulkan masalah lingkungan hidup, sosial dan ekonomi, baik di Indonesia maupun di negara tetangga. Tahun 1997/1998, sekitar 9.7 juta hektar lahan dan hutan musnah terbakar, dan mempengaruhi kehidupan 75 juta orang oleh dampak dari asap dan kebakaran itu sendiri.
1. Menurut data BAPPENAS tahun 1998, kerugian yang diderita negara akibat dari kebakaran hutan adalah Rp 10,066 trilyun dari luas lahan yang terbakar sebesar 507.239,5 ha.
2. Dari sisi ekologi/biofisik, pada ekosistem darat, kebakaran hutan akan memusnahkan flora dan fauna serta biodiversitas. Lennertz et al (1983) menduga bahwa api yang cukup panas dapat mematikan 100% tumbuhan hijau, 75% tumbuhan bawah, dan 80% organisme penutup tanah baik hewan maupun tumbuhan. Ditambahkan oleh Alikodra et al (1984) bahwa pada daerah bekas kebakaran yang terdapat di provinsi Kalimantan Timur menunjukkan angka kematian pada tingkat vegetasi pohon adalah 33 – 84%, sedangkan pada tingkat vegetasi tiang sebesar 61%.
Pada ekosistem air (rawa dan gambut), Diperkirakan terdapat 17-27 juta hektar rawa air tawar dan rawa gambut di Indonsesia. Rawa tersebut tersebar di Sumatra 40%, Kalimantan 38%, Papua Barat 21%. Pada kebakaran tahun 1997/98, jumlah lahan basah (rawa dan gambut) yang terbakar mencapai 1.5 juta hektar, menyumbang 60% asap dan 76% CO2 emisi.
Pada ekosistem udara, kebakaran hutan akan berdampak buruk pada lingkungan atmosfer. Biomassa senyawa organik yang terkandung dan tersimpan dalam hutan (sebelum hutan terbakar), pada saat hutan terbakar, senyawa organik tersebut akan terlepas ke luar menjadi gas rumah kaca dan polutan yang mengapung dan melayang di udara. Emisi gas rumah kaca berasal dari gas CO2 dan H2O, NOx, dan CH4 yang masing-masing memiliki life time berbeda. Gas-gas tersebut akan mengapung-apung di atmosfer sebagai gas rumah kaca yang berdampak pada pemanasan bumi, perubahan iklim, pencairan salju, dan kenaikan tinggi muka air laut.
Hasil penelitian di Mauna Loa Observatorium, Hawaii mengungkapkan bahwa kepadatan CO2 diatmosfir telah mencapai tingkat tertinggi yaitu 379 ppm pada tanggal 19 Maret 2004 (RusselSchnell, dalam Serasi, 2004).
3. Pengaruh dari segi sosial adalah berupa kabut asap yang menghalangi daya visibilitas terutama untuk sektor penerbangan dan transportasi darat. Kesehatan masyarakat khususnya penyakit ISPA juga terjadi akibat kebakaran. Berikut adalah tabel jumlah penderita penyakit yang diakibatkan oleh terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 (menurut Departemen
Tabel 3 jumlah penderita Asma dan Bronkhitis akibat asap periode September – November 1997
NO | PROVINSI | JUMLAH PENDUDUK YANG BERESIKO | ASMA | BRONKHITIS | MENINGGAL |
1. | RIAU | 1.701.000 | 41.028 | 7.995 | 75 |
2. | SUMATERA BARAT | 2.411.000 | 58.164 | 11.332 | 106 |
3. | JAMBI | 1.478.000 | 35.650 | 6.947 | 65 |
4. | SUMATERA SELATAN | 2.355.000 | 56.803 | 11.069 | 104 |
5. | | 1.478.000 | 44.574 | 8.686 | 74 |
6. | | 716.000 | 17.574 | 3.366 | 29 |
7. | | 1.733.000 | 41.800 | 8.145 | 69 |
8. | | 118.000 | 2.846 | 555 | 5 |
TOTAL | 12.360.000 | 298.125 | 58.095 | 527 |
Sumber data : Departemen Kesehatan RI tahun 1997
C. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI
Di Kalimantan Tengah, kebakaran hutan dan lahan hampir terjadi tiap tahun dan diantaranya telah terjadi 4 kali kebakaran yang cukup besar pada Tahun 1994, 1997, 2002 dan 2006 yang melanda hutan alam, hutan yang dikonversi untuk perkebunan dan lahan terlantar serta lahan masyarakat. Sebagai contoh, selama kebakaran Tahun 1997 hutan produktif yang rusak seluas 39.416,09 Ha.
Data Titik Panas (Hot-Spot) harian dari Stasiun Penerimaan Data Satelit NOAA (North Oceanic Athmospheric Administration) dengan suhu ambang 42 oC yang dapat digunakan untuk deteksi dini terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Rekapitulasi Data Hot-Spot Harian selama 6 Tahun Terakhir
Tahun | Periode | Jml. Hot-spot | Lokasi Sebaran Hot Spot |
2002 | Juni - Okt | 20.014 | - Lebih dari 50 % secara mengelompok di luar kawasan hutan, yaitu pada areal penggunaan lain (kebun/lahan pertanian dan areal eks PLG 1 Juta Hektar) - Selebihnya tersebar secara sporadis di seluruh wilayah |
2003 | Juni - Des | 9.726 | |
2004 | Agt - Okt | 12.196 | |
2005 | Juni - Okt | 2.842 | |
2006 | Juli - Nop | 38.906 | |
2007 | Juli - Agt | 103 |
Sumber data : Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah
Berdasarkan hasil analisis data Titik Panas (Hot-Spot) selama 6 Tahun terakhir, daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah meliputi :
1. Lahan terlantar di kiri-kanan jalan Trans Kalimantan poros Selatan (Jalur Palangka Raya – Tumbang Nusa – Pulang Pisau) termasuk areal eks PLG 1 Juta Hektar di wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas. Penutupan lahan berupa semak belukar dengan kondisi edafis tanah bergambut tebal.
2. Lahan perkebunan besar (sawit) di wilayah Kabupaten Sukamara, Lamandau, Seruyan, Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Katingan, Gunung Mas dan Barito Utara.
3. Lahan Pertanian dan Perkebunan masyarakat (perladangan berpindah, sawah dan kebun rakyat) tersebar secara sporadis di 14 kabupaten/kota se Kalimantan Tengah.
III. KAJIAN HUKUM NASIONAL DAN KEBIJAKAN PROVINSI
A. UNDANG–UNDANG NO. 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA.
a. Dalam UU No. 24 tahun 2007 memasukan terminologi kebakaran hutan dan lahan sebagai salah satu penyebab kejadian bencana. Dimana pengertian bencana dan hal yang berkaitan dengannya dimaknai sebagai (pasal 1) :
1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
4. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
5. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
b. Penanggulangan bencana bertujuan untuk (pasal 4) :
1. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;
2. Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
3. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
4. Menghargai budaya lokal.
5. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
c. Wewenang dan tanggung jawab penanggulangan bencana dijabarkan dalam pasal 5 s/d pasal 9 sebagai berikut :
1. Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
2. Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi :
- Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;
- Perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
- Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
- Pemulihan kondisi dari dampak bencana;
- Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
3. Wewenang Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi :
- Penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional;
- Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
- Perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana;
- Perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan;
4. Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi :
- Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum;
- Perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
- Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;
- Pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.
5. Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi :
- Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;
- Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;
- Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;
- Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya;
- Perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya;
d. Hak dan kewajiban masyarakat dalam penanggulangan bencana diatur dalam pasal 26 – 27, sebagai berikut :
1. Hak masyarakat dimana setiap orang berhak :
- Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana;
- Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana;
- Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana;
- Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya;
2. Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar
3. Kewajiban masyarakat, dimana setiap orang wajib untuk :
- Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
- Melakukan kegiatan penanggulangan bencana;
- Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana;
e. Penyelenggaraan penanggulangan bencana diatur pada pasal 31 s/d pasal 47 sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi (pasal 33) :
- Pra bencana;
- Saat tanggap darurat;
- Pasca bencana.
2. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan 4 (empat) aspek meliputi (pasal 32) :
- Sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;
- Kelestarian lingkungan hidup;
- Kemanfaatan dan efektivitas;
- Lingkup luas wilayah.
3. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana (pasal 35) meliputi:
- Perencanaan penanggulangan bencana;
- Pengurangan risiko bencana;
- Pencegahan;
- Pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
4. Perencanaan penanggulangan bencana meliputi:
- Pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
- Pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
- Analisis kemungkinan dampak bencana;
- Pilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
- Penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana;
- Alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.
5. Kegiatan pencegahan meliputi (pasal 38) :
- Identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana;
- Kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana;
- Pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana;
- Penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup;
- Penguatan ketahanan sosial masyarakat.
B. UNDANG–UNDANG NO.23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Secara harfiah, UU No. 23 tahun 1997 tidak mencantumkan terminologi Kebakaran hutan dan lahan, namun merumuskannya ke dalam terminologi yang lebih umum yaitu lingkungan hidup. Pengertian lingkungan hidup dijelaskan sebagai (pasal 1) kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
a. Beberapa pengertian dijelaskan dalam penjelasan (Pasal 1) yang ada kaitanya dengan kebakaran hutan dan lahan adalah :
1. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
2. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
3. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
4. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan.
b. Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dikatakan bahwa sumber daya alam yang dikuasai oleh negara akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (pasal 8) yang kemudian diatur hak, kewajiban dan peran masyarakat seperti yang tertuang pada pasal 5, 6 dan pasal 7 sebagai berikut
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
5. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
6. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan dengan cara
- Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
- Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
- Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
- Memberikan saran pendapat;
c. Kewajiban pemerintah diatur pada pasal 10 sebagai berikut :
1. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
2. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup;
3. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
4. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
5. Mengembangkan dan mengembangkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
6. Memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup;
7. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup;
8. Menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;
9. Memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup.
d. Wewenang pengelolaan lingkungan hidup diatur pada pasal 9 sebagai berikut :
1. Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
2. Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.
3. Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam nonhayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
e. Sasaran pengelolaan lingkungan hidup dirumuskan dalam pasal 4 sebagai berikut
1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup;
2. Terwujudnya manusia
3. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
6. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik
f. Dalam hal pelaksanaan regulasi pengelolaan hidup, pasal 11 dan 12 mengatur
1. Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.
2. Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
3. Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah dan mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
g. Aspek Pelestarian fungsi lingkungan hidup daslam UU No.23 tahun 1997 diatur dalam pasal 14 – 17 sebagai berikut :
1. Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar mutu dan kriteria
2. Ketentuan mengenai kriteria
3. Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
4. Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
h. Pengaturan tentang ketentuan pidana seperti yang tertuang pada pasal 41 dan 42 yaitu :
1. Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
C. UNDANG–UNDANG NO.41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN
Dalam kaitannya dengan persoalan kebakaran hutan dan lahan beberapa hal yang harus dipedomani adalah :
a. Asas dan tujuan diterangkan pada pasal 2 s/d 3 :
1. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.
2. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan :
- Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
- Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
- Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal;
- Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
b. Penguasaan hutan dijelaskan pada pasal 4 sebagai berikut :
1. Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
2. Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud memberi wewenang kepada pemerintah untuk :
- Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
- Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan;
- Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan
3. Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
c. Status dan Fungsi Hutan diatur pada pasal 5 s/d 9 dan pasal 34 seperti :
1. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Dan hutan negara dapat berupa hutan adat
2. Pemerintah menetapkan status hutan dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
3. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi.
4. Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus yang diperlukan untuk kepentingan umum seperti :
- Penelitian dan pengembangan;
- Pendidikan dan latihan;
- Religi dan budaya.
5. Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dapat diberikan kepada :
- Masyarakat hukum adat;
- Lembaga pendidikan;
- Lembaga penelitian;
- Lembaga sosial dan keagamaan
d. Masalah perlindungan dan konservasi alam diatur pada pasal 46 s/d 48 :
1. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
2. Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
- Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.
- Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
3. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya dimana dalam penjelasannya disebutkan bahwa Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran.
e. Kebakaran Hutan dan Lahan diatur dalam pasal 49 s/d 50 sebagai berikut :
1. Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
2. Setiap orang dilarang membakar hutan.
3. Penjelasan tentang semua orang dilarang membakar adalah :
- Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang.
- Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
f. Ketentuan Pidana terkait dengan kebakaran hutan dan lahan (pasal 78) :
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan berupa membakar hutan, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan berupa membakar hutan, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
D. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 4 TAHUN 2001
a. Beberapa pengertian dijelaskan pada pasal 1 :
1. Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
2. Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mempertahankan fungsi hutan dan atau lahan melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
3. Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;
4. Dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan;
b. Tata laksana pengendalian kebakaran hutan dan lahan diuraikan pada pasal 11 s/d pasal 16 sebagai berikut :
1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan.
2. Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
3. Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
c. Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dijelaskan dalam pasal 17 dan pasal 18 sebagai berikut :
1. Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya, dalam penjelasan pasal ini dikatakan : ”Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi sampai diluar areal ladang dan kebunnya. Pembakaran tersebut dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan ladang dan kebun”.
2. Pedoman umum penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan setelah berkoordinasi dengan Menteri lain yang terkait dan Instansi yang bertanggung jawab.
3. Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksudditetapkan dengan peraturan daerah
d. Wewenang penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dari Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Kabupaten/Kota diatur pada pasal 23 s/d 33 sebagai berikut :
1. Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan lintas Provinsi dan atau lintas batas negara.
2. Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.
3. Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud Gubernur dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
4. Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud, wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.
5. Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
6. Dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan, Bupati/Walikota dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
7. Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud, wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan
e. Dalam hal peningkatan kesadaran masyarakat diatur pada Pasal 42 yaitu :
1. Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab / Pimpinan instansi teknis/Menteri berkewajiban meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak dan tanggung jawab serta kemampuannya untuk mencegah kebakaran hutan dan atau lahan.
2. Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan atau lahan.
f. Ketentuan Pidana pada Pasal 52 menyatakan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 18 yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
E. PERATURAN DAERAH PROVINSI
a. Dalam PERDA No. 5 tahun 2003 beberapa pengertian dijelaskan sebagai berikut (pasal 1) :
1. Kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.
2. Pembakaran hutan adalah kegiatan pembakaran hutan yang dilakukan untuk tujuan khusus antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian
3. Pengendalian kerusakan hutan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
4. Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
b. Pengaturan tentang perijinan untuk pembakaran tertuang dalam pasal 2 :
1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan.
2. Untuk hal-hal tertentu yang bersifat khusus , pembakaran hutan dan atau lahan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan ijin dari Pejabat yang berwenang. Ketentuan mengenai perijinan akan diatur oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dalam penjelasan dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hal-hal tertentu yang bersifat khusus dalam pembakaran hutan dan atau lahan adalah :
- Pembakaran lahan dan hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat ijin dari pejabat yang berwenang.
- Kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan atau kebun.
c. Penanggulangan dijelaskan pada pasal 7 yaitu : Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya. Dalam penjelasan ayat 7 dikatakan : ” penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi sampai di luar areal ladang dan kebunnya. Pembakaran tersebut dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan ladang dan kebun.
d. Kewenangan Gubernur diatur pada pasal 13 s/d 16 sebagai berikut :
1. Gubernur berwenang mengendalikan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lintas kabupaten/kota.
2. Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lintas kabupaten/kota, Gubernur melakukan koordinasi penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan lintas kabupaten/kota.
3. Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud Gubernur dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
4. Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.
5. Perangkat Organisasi tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
e. Perihal Pengawasan diatur pada pasal 17 s/d 19 sebagai berikut :
1. Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lintas Kabupaten/Kota.
2. Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan dilakukan :
- Secara periodik untuk mencegah kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup.
- Secara intensif untuk menanggulangi dampak dan pemulihan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
3. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud menunjukan ketidakpatuhan penanggung jawab usaha, maka Gubernur memerintahkan penanggung jawab usaha untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan melakukan tindakan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan atau pemulihan.
f. Peningkatan kesadaran masyarakat diatur pada pasal 23 sebagai berikut :
1. Gubernur/Bupati/Walikota meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak dan tanggung jawab serta kemampuannya untuk mencegah kebakaran hutan dan atau lahan.
2. Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan atau lahan.
g. Ketentuan pidana diatur pada pasal 25 yaitu :Barangsiapa yang dengan sengaja dan atau karena kelalaiannya melanggar ketentuan tersebut dipidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) yang disetorkan ke Kas Daerah Kalimantan Tengah.
F. KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR : 77 DAN 78 TAHUN 2005
Sebagai konsekuensi dari Peraturan Daerah No. 5 tahun 2003 tentang Pengendalian kebakaran hutan dan lahan maka Gubernur Kalimantan Tengah mengeluarkan 2 Keputusan yaitu :
1. Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 77 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah dimana didalamnya terdapat ruang lingkup pelaksanaan meliputi :
a. Pengorganisasian (pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi, Satuan Pelaksana di Tingkat Kabupaten dan Satuan Tugas/Brigade Pengendalian Kebakaran di Tingkat Lapangan).
b. Tugas Pokok dan Fungsi Instansi Terkait dalam rangka kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
c. Kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
d. Komando dan Pengendalian (pembentukan Posko, Administrasi dan Pelaporan).
2. Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 78 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Kalimantan Tengah dimana didalamnya terdapat gambaran teknis mengenai :
a. Teori dasar kebakaran hutan dan lahan.
b. Kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
c. Pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan.
d. Penanggulangan (pemadaman) kebakaran hutan dan lahan.
IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN PELARANGAN MEMBAKAR HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
Deklarasi Palangka Raya dan Instruksi Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 364/1337/Distan Tanggal 6 Agustus 2007 menjadi titik yang fenomenal di Kalimantan Tengah khususnya terhadap para peladang dan petani tradisional Kalimantan Tengah. Dalam kerangka melestarikan fungsi lingkungan, langkah ini patut kita acungi jempol, namun pertanyaannya kemudian adalah bagaimana terhadap para peladang dan petani tradisional Kalimantan Tengah yang secara riil telah menggunakan metoda pembakaran untuk membuka lahan bahkan sebelum Negara Indonesia itu ada? Benarkah bahwa bencana kebakaran diakibatkan oleh mereka? Dan apakah instruksi Gubernur tersebut mendasarkan pada aturan yang lebih tinggi yang telah berlaku sebelumnya?
A. ANALISA HUKUM
Analisa hukum terhadap Instruksi Gubernur tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1. UU No. 24 tahun 2007 memasukan terminologi kebakaran hutan dan lahan sebagai salah satu penyebab kejadian bencana, untuk melindungi masyarakat dari dampak bencana maka harus dilakukan penanggulangan dengan tetap menghargai budaya lokal. Kewenangan penyelenggaraan penanggulangan bencana diberikan kepada pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menetapkan dan merumuskan kebijakan.
2. UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat oleh karena itu Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Pemerintah berkewajiban Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan sasaran tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup.
3. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan tegas menyatakan bahwa Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Juga setiap orang dilarang membakar hutan. Namun dalam penjelasan pasal dimaksud terdapat dua poin penting yaitu : 1). pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang dan 2). pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup juga dengan tegas melarang kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan dan setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya, namun dalam penjelasan pasal ini dikatakan : ”Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi sampai diluar areal ladang dan kebunnya. Pembakaran tersebut dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan ladang dan kebun”.
PP No. 4 tahun 2001 juga mewajibkan kepada Gubernur (dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan) untuk melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota. Dan mewajibkan kepada Bupati (dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan) untuk melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
5. Peraturan Daerah No. 5 tahun 2003 bahkan mengadopsi beberapa ketentuan dalam UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 4 tahun 2001 sebagai berikut :
a. Untuk hal-hal tertentu yang bersifat khusus , pembakaran hutan dan atau lahan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan ijin dari Pejabat yang berwenang. Ketentuan mengenai perijinan akan diatur oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
b. Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu yang bersifat khusus dalam pembakaran hutan dan atau lahan adalah :
- Pembakaran lahan dan hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat ijin dari pejabat yang berwenang.
- Kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan atau kebun.
c. Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi sampai di luar areal ladang dan kebunnya. Pembakaran tersebut dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan ladang dan kebun.
d. Kewenangan Gubernur (dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan) untuk melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.
e. Kewenangan Bupati (dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan) untuk melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
B. PEMBAHASAN
Dari Analisa Hukum tersebut di atas maka terhadap Instruksi Gubernur Kalimantan Tengah Nomor : 364/1337/Distan Tanggal 6 Agustus 2007 penulis berpandangan sebagai berikut :
1. Menurut Amanah UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus. atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Yang ditegaskan lagi dalam Perda No. 5 tahun 2003 bahwa : yang dimaksud dengan hal-hal tertentu yang bersifat khusus dalam pembakaran hutan dan atau lahan adalah juga kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan atau kebun.
2. PP No. 4 tahun 2001 mengklasifikasikan bahwa Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi sampai diluar areal ladang dan kebunnya. Menurut penulis berarti bahwa kebakaran (pembakaran) yang terjadi di dalam areal ladang atau kebun menurut UU No. 24 tahun 2007 termasuk dalam ”menghargai kebudayaan lokal” untuk tujuan penanggulangan bencana dan bukan merupakan tindakan perusakan terhadap lingkungan hidup (menurut UU No. 23 tahun 1997 Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan).
3. Untuk kepastian hukum agar kebakaran yang terjadi dapat ditentukan di dalam atau di luar areal ladang, PP No. 4 tahun 2001 mewajibkan kepada Gubernur dan Bupati untuk melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Kewenangan tersebut juga dipertegas dalam Perda No. 5 tahun 2003. Menurut penulis, tugas Gubernur dan Bupati untuk inventarisasi inilah yang belum dilaksanakan dan dituangkan dalam bentuk instruksi atau peraturan karena output dari inventarisasi adalah adanya data yang mempunyai kekuatan hukum tentang pemetaan pemilik dan luasan kegiatan peladangan yang dilakukan.
4. Pelaksanaan pembakaran terhadap ladang yang telah diinventarisir inilah yang menurut UU 41 tahun 1999 dan Perda No. 5 tahun 2003 merupakan pembakaran secara terbatas yang dilakukan untuk tujuan khusus dan harus mendapat ijin dari pihak yang berwenang.
5. Tafsiran klasifikasi pelanggaran terhadap peraturan tersebut menurut UU 41 tahun 1999 dan PP No. 4 tahun 2001 adalah :
- Apabila belum mendapatkan ijin tetapi sudah melakukan pembakaran
- Kebakaran lahan tersebut terjadi sampai diluar areal ladang dan kebunnya.
6. Dengan demikian Penulis berpendapat bahwa pelarangan membakar di Kalimantan Tengah semestinya ada pengecualian terhadap pebakaran untuk tujuan khusus dan percepatan tugas kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan inventarisasi terhadap kegiatan perladangan.
V. PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. UU No. 24 tahun 2007 menegaskan bahwa untuk melindungi masyarakat dari dampak bencana maka harus dilakukan penanggulangan dengan tetap menghargai budaya lokal.
2. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, memperbolehkan adanya pembakaran terbatas untuk tujuan khusus, yang dipertegas dalam Perda No. 5 tahun 2003 bahwa yang dimaksud dengan hal-hal tertentu yang bersifat khusus dalam pembakaran hutan dan atau lahan adalah juga kebiasaan masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan atau kebun. Pelaksanaan pembakaran tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
3. PP No. 4 tahun 2001 mengklasifikasikan bahwa Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi sampai diluar areal ladang.
B. SARAN
1. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten agar melaksanakan amanah PP No. 4 tahun 2001 yang mewajibkan kepada Gubernur dan Bupati untuk melaksanakan inventarisasi terhadap terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan khususnya terhadap kegiatan peladangan dimana output dari inventarisasi tersebut adalah tersedianya data rinci tentang pemilik dan luas ladang yang dipunyai untuk kepastian hukum agar kebakaran yang terjadi dapat ditentukan di dalam atau di luar areal ladang.
2. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah agar menciptakan pola, tata waktu dan mekanisme perijinan pembakaran terbatas untuk tujuan khusus dalam bentuk peraturan.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Hero Saharjo, Dr.,Ir.,M.Agr., 2006, Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang Lestari; Perlukah Dilakukan? : Bogor.
Hardjosoemantri K, 1926, Hukum Tata Lingkungan edisi ke-17 cetakan ke-7, Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Iskandar U, 1999, Dialog Kehutanan dalam Wacana Global, cet. 1, Bigraf Publishing : Yogyakarta.
Koeswaji, H.H., 1993, Hukum Pidana Lingkungan, Cet. 1,Citra Aditya Bhakti : Bandung.
Marpaung, L., 1995, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, Cet.1 Erlangga : Jakarta.
Mangunwijaya, F.M., 2006, Hidup Harmonis dengan Alam, edisi 1, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Salim, H.S.,2003, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Cet. 1, Sinar Grafika: Jakarta.
Serasi,2004, Edisi Mei – Juni : Jakarta.
Silalahi, D., 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Cet. 1, Edisi ketiga, Alumni : Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar