Rabu, 04 Maret 2009

KRISIS GLOBAL DAN DUNIA PERTANIAN INDONESIA

PEMBANGUNAN PERTANIAN
MUKTI AJI - PSAL - UNPAR
FEBRUARI 2009


I. PENDAHULUAN

Tahun 2008 bisa dikatakan sebagai periode yang suram dunia. Betapa tidak, krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) yang dipicu oleh krisis subprime mortgage (terjadi akibat macetnya kredit properti) pada medio 2006 tampaknya akan terus berlanjut. Celakanya, karena hubungan patronase yang sedemikian lekat antara pasar keuangan AS dan dunia, imbas negatif juga terjadi di negara-negara lain. Salah satu channel penularan adalah melalui harga saham. Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs Dollar AS terhadap mata uang Euro dan Yen. Jatuhnya valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi AS akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Spektrum dan dimensi krisis ekonomi pun telah secara agresif bergerak ke berbagai penjuru dan bidang-bidang kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan militer masyarakat dunia. Krisis telah mengunci miliaran rakyat miskin di dunia dalam kesengsaraan, kekerasan dan perang, wabah penyakit, dan keterbelakangan budaya.
Gejolak politik akibat kenaikan harga telah terjadi di berbagai kawasan dunia. Di Haiti, gelombang protes warga akibat kenaikan harga kebutuhan pokok telah memaksa pemerintahan setempat untuk meletakkan jabatan. Gelombang protes massa pun membayangi kawasan-kawasan dunia lainnya. Di Zimbabwe, krisis harga yang bertemu dengan momentum krisis politik dalam pemilu setempat telah memicu aksi-aksi kekerasan terhadap oposisi. Sementara di Indonesia, kegelisahan yang tak berkesudahan akibat kenaikan harga pangan sudah mulai diaktualisasikan dalam aksi-aksi politik yang dilakukan oleh mahasiswa, buruh, dan kaum tani.

Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden SBY-Kalla sesungguhnya berada dalam keadaan yang sangat sulit. Akibat krisis ini, beban utang pemerintah bertambah hingga Rp 97,74 triliun (Kompas, 15/4). Besarnya beban APBN dan tingginya utang mendorong Bank Dunia untuk mendesak agar Indonesia mencabut berbagai subsidi. Desakan tersebut disampaikan langsung oleh Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim von Amsberg. Menurutnya, anggaran untuk menaikkan subsidi BBM di APBN 2008 yang naik hampir tiga kali lipat dari tahun lalu, hanya akan dirasakan manfaatnya oleh segelintir masyarakat dari kalangan mampu. Lebih lanjut, Joachim von Amsberg menjelaskan, “Seharusnya, anggaran tersebut dialihkan untuk pembangunan infrastruktur atau proyek-proyek yang menyerap banyak tenaga kerja, sehingga dapat menekan angka pengangguran dan kemiskinan”.


II. DAMPAK KRISIS GLOBAL

Dampak krisis keuangan AS menjalar ke Eropa dan Asia Pasifik dalam bentuk bangkrutnya bank/institusi keuangan/korporasi, meningkatnya inflasi, menurunnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pengangguran, dan runtuhnya indeks bursa saham. Di Indonesia, krisis keuangan global terbukti memporakporandakan pasar modal dan valas. IHSG anjlok dari angka 2.830 menjadi 1.111, atau turun lebih dari 60%. Nilai kurs rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi cukup dramatis dari Rp 9.076 hingga sempat hampir menembus Rp 13.000.

Krisis global berpengaruh besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara singkat, krisis global mempengaruhi penanaman modal asing di Indonesia. Banyak investor asing yangg mempermasalahkan krisis global dan mempertimbangkannya masak-masak sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi atau membeli saham di Indonesia. Dampak ke dua adalah dalm forex / pertukaran mata uang asing, yang secara otomatis berpengaruh pada impor / expor negara Indonesia.

Dampak krisis finansial global mulai merembes ke sektor riil di Tanah Air. Sejumlah sektor industri, di antaranya menjadi tumpuan ekspor, mulai merasakan kemerosotan kinerja akibat terpuruknya permintaan, dan bersiap-siap menyambut datangnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.

Industri baja nasional, misalnya, kian terpuruk. Harga baja di pasar internasional dalam tiga bulan belakangan ini merosot hingga 36,5 persen, dari sebelumnya US$ 1.150 menjadi US$ 730 per ton. Belum lagi, persoalan lain yang harus dihadapi industri baja dalam negeri, seperti melemahnya daya beli masyarakat, pengetatan likuiditas perbankan, tingginya suku bunga kredit, serta ancaman penundaan sejumlah proyek infrastruktur yang belum juga terpecahkan.

Kondisi yang sama dihadapi industri tekstil. Ketua Asosiasi Pertekstilan (API) Daerah Jawa Barat. Sekitar 70.000 tenaga kerja terancam mengalami PHK mulai awal tahun 2009. Jabar, yang merupakan sentra industri tekstil di Tanah Air, memiliki lebih dari 700 pabrik tekstil yang menyerap sekitar 700.000 tenaga kerja. Dampak krisis ekonomi di AS sangat terasa, mengingat AS merupakan ekspor terbesar industri tekstil dan produk tekstil dari Jabar. Tahun 2007, total nilai ekspor tekstil Jabar mencapai US$ 4,72 miliar.

Dampak krisis finansial yang terasa di industri mebel. Sebanyak 80 persen ekspor mebel dari lima perusahaan anggota Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) ke pasar AS terpaksa dibatalkan. Total kerugian yang diderita diperkirakan sekitar US$ 6,25 juta-US$ 7,5 juta.


III. DAMPAK KRISIS GLOBAL TERHADAP DUNIA PERTANIAN INDONESIA

Berbagai media lokal maupun internasional secara terus menerus melaporkan dampak krisis dan kelangkaan pangan di dunia yang indikasinya telah terlihat sejak awal tahun ini. Sampai dengan akhir Maret 2008, sebagaimana dilaporkan FAO, telah terjadi krisis pangan yang sangat serius di 36 negara dan 21 negara diataranya merupakan negara di benua Afrika yang merasakan dampak paling serius bahkan menyebabkan terjadinya kelaparan kronis dan beberapa kasus kematian.

Pengaruh krisis global yang terjadi di Indonesia saat ini tidak hanya menghantui kehidupan ekonomi rakyat Indonesia, Secara kongkrit krisis global juga menyeret semua kalangan untuk siap menangung dampaknya yakni kemiskinal massal, PHK Massal, dan Masalah sosial yang pasti timbul. Krisis global itu juga menyerang petani, khususnya para petani produksinya berorientasi pada pasar eksport. Merekalah justrus salah satu korban pertama yang merasakan dampak krisis global, akibat lesunya daya beli pasar internasional. Sehingga nasib petani khususnya para buruh tani semakin jelas kemana arahnya, tidak lain yakni PHK.

Dalam Perkembangan Krisis Global saat ini tidak ada satupun Industri yang ada di Indonesia cukup kuat pondasinya untuk mempertahankan kelangsungan produksinya, tanpa terkecuali industri pupuk dalam negeri. Karena Semua Industri Indonesia khususnya yang berbasiskan bahan baku kimia itu di dapatkan dari import, artinya kandungan lokalnya (Bahan Baku Lokal) tidak lebih dari 20%-30% yang dihasilkan oleh Indonesia untuk suplai industri dalam negeri. Di Sisi yang lain, transaksi dalam Perdangangan Internasional alat tukarnya masih mengunakan Dollar AS. Sementara itu nilai tukar dollar AS di dalam negeri sepanjang bulan desember 2008 berada pada kisaran 11000-11700/USD.

Terhadap kenaikan harga global, harga pangan di Indonesia cenderung lebih stabil kecuali untuk minyak goreng dan kedelai. Bila Indonesia impor, maka ancaman di depan mata adalah kenaikan harga beras akibat kenaikan harga global 133% dalam periode januari-mei 2008 (FAO: Food Outlook, Mei 2008).

Akibat atas krisis dan kelangkaan pangan dunia juga semakin diperparah dengan tindakan beberapa negara produsen pangan utamanya padi yang membatasi bahkan menghentikan permintaan impor dari negara lain.


IV. ALTERNATIF SOLUSI ATASI KRISIS

Bila dikaji dari struktur permasalahannya, krisis pangan tidak hanya menjadi kenyataan dunia hari ini, melainkan juga menjadi akumulasi dari berbagai krisis yang terjadi dalam struktur perekonomian dunia saat ini. Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan antisipasi krisis keuangan global tersebut, seperti arahan Presiden dalam rapat kabinet berupa 8 (delapan) Grand Strategy pembangunan ke depan yaitu :

1. Menggunakan dan meningkatkan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri, agar tidak senantiasa terhantui oleh bahaya arus modal ke luar negeri (capital out flow).
2. Meningkatkan tabungan (saving) dalam negeri sebagai sumber investasi domestik.
3. Memperkuat perekonomian domestik, termasuk pasar dalam negeri, agar pertumbuhan perekonomian (growth) tidak hanya mengandalkan ekspor, yang setiap saat bisa terancam manakala ekonomi dunia mengalami resesi.
4. Meningkatkan daya beli masyarakat, demikian juga spending pemerintah dan swasta, agar pasar domestik makin tumbuh dengan baik.
5. Menggalakkan penggunaan produk dalam negeri (barang dan jasa), agar neraca pembayaran kita aman (tidak defisit) dan devisa kita tidak terkuras.
6. Meningkatkan ketahanan dan kecukupan kebutuhan rakyat, terutama pangan, agar ketika dunia mengalami krisis ekonomi, kebutuhan rakyat tetap dapat dipenuhi.
7. Memajukan ekonomi daerah di seluruh provinsi, kabupaten dan kota agar semua daerah dapat menjadi sumber, kekuatan dan sabuk pengaman perekonomian nasional.
8. Mengelola dan mendayagunakan sumber daya alam, terutama minyak, gas, batubara dan minyak kelapa sawit, agar benar-benar dapat meningkatkan penerimaan negara, dan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Rektor IPB Herry Suhardiyanto mengatakan, upaya peningkatan kemandirian pangan dan energi semakin berat dengan adanya krisis keuangan di Amerika Serikat yang menjalar menjadi krisis global. "Krisis finansial yang semula diduga tidak terlalu kuat kaitannya dengan sektor riil, ternyata memiliki dampak yang cukup besar bagi sektor riil, khususnya pertanian yang berorientasi ekspor," katanya.

IPB merekomendasikan 5 hal yang sebaiknya dilakukan pemerintah.
Pertama, Merealisasikan resources based economy melalui integrasi bisnis hulu-hilir. Kedua, Membangun sistem keuangan berkeadilan dengan pola bagi hasil. Ketiga, mengalokasikan dana dan program pembangunan yang fokus pada komoditi unggulan dan berpihak pada rakyat. Keempat, Membangun ketahanan pangan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan strategi subsitusi impor. Kelima, Mendorong pemerintah daerah untuk aktif mendukung perkembangan sektor riil, baik UMKM dan usaha pertanian dalam arti luas.

Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) merekomendasikan beberapa langkah untuk mengatasi krisisi gobal yang kini melanda bangsa Indonesia. Pertama, melakukan penyesuaian APBN 2009 dengan prioritas untuk pembangunan infrastruktur dalam bentuk program padat karya disamping melakukan penataan bagi sektor informal di kota-kota dengan kebijakan anti penggusuran. Kedua, Di bidang pertanian, diambil langkah untuk mengarahkan petani miskin dan penganggur untuk mendapatkan lahan produktif sebagai modal untuk meningkatkan taraf hidup serta membatalkan rencana pemberlakuan pajak terhadap produk-produk pertanian. Ketiga, di bidang ekonomi makro, mendesak diturunkan suku bunga dan melonggarkan likuiditas untuk menggerakkan sektor riil serta memberikan insentif pajak bagi industri yang mempunyai basis penyerapan tenaga kerja yang besar. Keempat, diperlukan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan tenaga-tenaga sarjana yang terkena imbas PHK sebagai tenaga pendampingan di sektor pertanian, kesehatan dan kependudukan. Kelima, melakukan reorientasi kebijakan-kebijakan pembangunan yang mendorong ke arah kemandirian bangsa.


V. PENUTUP

Dampak kelangkaan pangan yang sangat serius dalam skala global sebenarnya marupakan salah satu pelajaran berharga atas berbagai kebijakan di berbagai negara yang pada beberapa dekade terakhir cenderung meminggirkan prioritas pembangunan pertanian.

Momentum krisis pangan ini bisa dimaknai dari sisi positif dan negatif yaitu sebagai ancaman dan sekaligus peluang bagi kebangkitan pertanian nasional. Indonesia sebagai negara yang masih memproklamirkan diri sebagai negara agraris harus mengambil kebijakan yang tegas dan komprehensif terkait dengan kebangkitan pertanian.


- Dari Berbagai Sumber -

Tidak ada komentar: