Rabu, 04 Maret 2009

HUTAN RAWA GAMBUT TROPIKA SEBANGAU

Praktek Lapangan
MUKTI AJI - PSAL - UNPAR
FEBRUARI 2009


I. PENDAHULUAN

Hutan Rawa Gambut Tropika Sebangau merupakan salah satu hutan rawa gambut yang tersisa di Propinsi Kalimantan Tengah. Saat ini, Kawasan Sebangau merupakan kawasan yang menjadi tumpuan masyarakat karena dapat memberikan nilai ekonomi – ekologi yang sangat penting bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Kawasan ini juga mendukung pembangunan wilayah di Kota Palangkaraya.

Ekosistem Gambut Sebangau merupakan salah satu ekosistem yang kondisinya relatif masih baik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya dan merupakan kawasan yang memainkan peranan yang sangat penting bagi gudang penyimpanan karbon dan pengatur tata air di Kota Palangkaraya. Oleh karena itu kestabilan ekosistem ini merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup manusia, baik ditingkat lokal, regional, nasional maupun global.

Terdegradasinya ekosistem gambut di dalam dan sekitar kawasan taman nasional akibat pembangunan kanal dan pembukaan hutan akan menyebabkan ekosistem ini peka terhadap kebakaran. Kondisi ini telah dibuktikan pada tahun 1997 pada saat terjadi bencana kekeringan El Nino, dimana pada tahun tersebut telah terjadi bencana kebakaran yang sangat hebat dengan areal yang terbakar relatif sangat luas. Didasarkan hasil pantauan data satelit sebelum dan sesudah kebakaran pada tahun 1997 di dalam areal studi seluas 2,5 juta hektar di daerah Kalimantan Tengah diketahui bahwa 32 % (790.000 ha) areal tersebut terbakar dan 91,5 % (730.000 ha) merupakan lahan gambut. Dari hasil pengukuran lapangan (ground measurement) kebakaran gambut dalam, diduga telah dilepaskan karbon ke atmosfir sebanyak 0,19 – 0,23 gigaton (Gt) sebagai akibat kebakaran gambut dalam dan karbon yang dilepaskan diperbanyak pula sebesar 0,05 Gt sebagai akibat kebakaran tajuk (overlying vegetation). Hasil ekstrapolasi menunjukkan bahwa akibat kebakaran gambut dan vegetasi di Indonesia pada tahun 1997 telah dilepaskan karbon (CO2) ke atmosfir sebesar 0,81 – 2,57 Gt, dimana hal ini setara dengan 13 – 40 % rata-rata emisi karbon tahunan global yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, dan efek kebakaran tersebut menghasilkan konsentrasi CO2 di atmosfir terbesar sejak awal pengukuran konsentrasi karbon di atmosfir pada tahun 1957. Efek dari kebakaran tersebut memberikan kontribusi nyata terhadap kabut asap yang menutupi sebagian besar Asia Tenggara dan juga menyebabkan penurunan kualitas udara dan peningkatan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kesehatan manusia.


II. KARAKTERISTIK LAHAN LOKASI PRAKTEK

Ekosistem Hutan Rawa Gambut Sebangau menurut Pusat Penelitian Biologi LIPI (2006) mengandung keanekaragaman jenis flora yang unik/khas seperti ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera costulata), belangeran (Shorea belangeran), bintangur (Calophyllum sclerophyllum), meranti (Shorea spp.), nyatoh (Palaquium spp.), keruing (Dipterocarpus spp), agathis (Aghatis spp), dan menjalin (Xanthophyllum spp.). Umumnya jenis-jenis tumbuhan tersebut menempati tipe ekosistem hutan primer dan sekunder.

Komunitas hutan primer; menurut Pusat Penelitian Biologi LIPI (2006) adalah hutan primer bekas tebangan, sehingga hutannya telah mengalami kerusakan, namun sebagian besar hutannya masih relatif baik, dimana tegakan-tegakan jenis tumbuhan primernya masih terlihat rapat. Jenis-jenis tumbuhan yang umumnya dijumpai di tipe ini adalah Dryobalanops lanceolata, Shorea balangeran, Shorea bracteolate, Gonystylus bancanus, Dipterocarpus sp., Dacridium sp., dan Dyera polyphylla.

Komunitas hutan primer umumnya tersusun dari tiga lapisan utama, yaitu lapisan atas, tengah dan bawah. Lapisan teratas (kanopi utama) didominasi oleh Combrecartus rotundatus. Lapisan tengah disusun oleh Campnosperma coriaceum, Dactylocladus stenostachys, Palaquium ridleyi, Xylopia fusca, Tristaniopsis whiteana, Syzygium spp., Tetractomia tetranda dan Shorea bracteolata. Sedangkan lapisan ketiga merupakan jenis tumbuhan semai dari anakan pohon penyusun lapisan pertama dan kedua. Pada lapisan ketiga juga dijumpai jenis-jenis tumbuhan perdu (seperti Ixora havilandii, Antidesma coriaceum, Diospyros sp., dan Wikstroemia androsaemifolia), jenis tumbuhan herba (seperti Pandanus sp., Hanguana malayana, Taenitis blechnoides, dan Euthemis sp.), dan tumbuhan pemanjat (seperti Willughbeia sp., Alyxia reinwarddtiana, Cissus sp., Ampelocissus thyrsiflora, Nephentes spp., Gnetum latifolium, dan Fibraurea chloroleuca).

Komunitas Hutan Sekunder; merupakan komunitas yang telah terdegradasi dengan kuat akibat aktivitas manusia. Di dalam komunitas ini menurut Pusat Penelitian Biologi LIPI (2006) dijumpai tumbuhan pionir, yaitu Macaranga caladifolia. Jenis-jenis tumbuhan lainnya adalah Cratoxylum glaucum, Lithocarpus bennettii, Ilex cymosa, Glochidion philippicum, Ploarium alternifolium, Ficus spp., Adenanthera sp., dan Tristaniopsis whiteana serta beberapa jenis tumbuhan hutan primer yang cepat tumbuh dan dapat bertahan hidup setelah ditebang atau mengeluarkan trubusan, seperti Combretocarpus rotundatus, Tristaniopsis whiteana, Campnosperma coriaceum, Syzygium spp., dan Baccaurea bracteata. Kemudian jenis-jenis tumbuhan perdu yang juga ditemukan di dalam komunitas ini adalah Tarenna fragras, Timonius flavescens, Rhotmania grandis, Antidesma coriaceum, A. phanerophlebium, Ardisia sp, dan Ilex cymosa dan jenis tumbuhan herba adalah Fimbristylis spp., Scleria purpurescens, Isachne sp., dan Cyperus spp. Lebih lanjut jenis tumbuhan perambat/liana yang dijumpai di dalam komunitas ini adalah Fissistigma kingiana, Uncaria acida, Lecananthus erubescens, Coptosapelta sp., Dalbergia sp., dan Flagellaria indica.

Didasarkan jenis tumbuhan terlihat dengan jelas bahwa jenis-jenis tumbuhan di kedua komunitas tersebut relatif sangat jauh berbeda. Perbedaan ini diduga karena tingkat kekerasan perubahan penutupan lahan, baik disebabkan penebangan tidak resmi dan atau kebakaran hutan. Namun demikian faktor kedalaman gambut juga dapat menjadi faktor perbedaan jenis tumbuhan, dimana komunitas hutan primer umumnya menempati gambut dalam sedangkan hutan sekunder lebih banyak dijumpai di daerah gambut dangkal. Tingginya aktivitas manusia juga menjadi faktor penyebab tidak meratanya distribusi komunitas hutan tersebut di dalam kawasan Sebangau.


III. ANCAMAN EKOSISTEM SEBANGAU

Berdasarkan pengamatan di lapangan, ekosistem di lokasi praktek potensial mengalami degradasi ekosistem karena :

1. Banyaknya pengalihan fungsi lahan baik inisiatif masyarakat maupun pihak lain.
2. Pengembangan Sarana dan Prasarana Pembangunan Kota Palangka Raya.
3. Kegiatan pengembangan ekonomi wilayah.
4. Perubahan ekosistem regional.
5. Adanya kanal/parit yang dapat dijadikan sarana angkut kayu.
6. Kebakaran


IV. LANGKAH STRATEGIS

Berdasarkan analisis kondisi dan permasalahanmaka dari segi aspek pengelolaan dan kebijaksanaan terhadap ancaman yang ada, alternatif kegiatan dapat dilaksanakan dengan mengupayakan :

1. kemantapan kawasan,
2. keterpaduan pengamanan,
3. keterpaduan pembangunan dan pengembangan,
4. kemantapan lembaga pengelola,
5. kemantapan lembaga konsultasi dan koordinasi,
6. partisipasi masyarakat,
7. kepedulian masyarakat (kemitraan)


V. PENUTUP

Tingginya nilai manfaat Kawasan Sebangau, baik manfaat ekologi maupun ekonomi, saat ini belum diikuti oleh tingginya kesadaran masyarakat, baik dari pihak Pemerintah maupun pihak lain yang terlibat. Kawasan ini masih mengalami berbagai gangguan yang dapat mengancam kelestariannya, kemudian secara ekologis kawasan ini juga rentan terhadap perubahan keseimbangan ekosistem akibat telah terdegradasinya secara kuat ekosistem di sekitar kawasan dan masih berlangsungnya proses suksesi di dalam kawasan akibat eksploitasi hutan dan hasil hutan.

Kesuksesan pengelolaan dan penyelamatan ekosistem sebangau, selain ditentukan oleh kondisi sumber daya lahan dan pengelolaan lingkungannya juga sangat tergantung pada kwalitas sumber daya manusia pengelolanya. Pengelolaan kawasan sebangau secara berkelanjutan menuntut ketrampilan, kerajinan, keuletan, kewaspadaan dan kebersamaan.

1 komentar:

Indra Bayu mengatakan...

mengenang prktek lapang lah kawal nah