Rabu, 04 Maret 2009

HUTAN, PANGAN, ENERGI DAN PENGENTASAN KEMISKINAN

EKONOMI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
MUKTI AJI - PSAL - UNPAR
JUNI 2008


I. PARADOKS KENAIKAN HARGA BBM

TAK ADA SUBSIDI BBM (KWIK KIAN GIE) :

- Tanggal 16/8/2007 pada penyampaian nota keuangan pemerintah menyatakan bahwa penerimaan Indonesia akan lebih dari 50 Milyar dari belanja negara disetiap 1 US $ kenaikan harga minyak dunia (Metro TV, 23/05/2008).
- Kontradiksi dengan pengumuman kenaikan oleh menkeu dan men ESDM bahwa setiap kenaikan 1 US$ APBN kita terbebani 30 Trilyun untuk subsidi (Metro TV, 23/05/2008).
- Pemerintah mengambil minyak bumi secara gratis dengan biaya hanya US$ 15/barrel.
- Tapi karena hanya bisa menjualnya seharga US$ 77/barrel pemerintah merasa rugi jika harga minyak Internasional lebih dari harga itu.
- Indonesia tidak 100% impor, karena Kebutuhan BBM Indonesia 1,2 juta barel per hari (bph) sementara Produksi sebesar 1 juta bph, Harusnya impor hanya 0,2 juta bph.
- Jika harga minyak Internasional US$ 125/barrel dan biaya US$ 15/barrel serta impor 200 ribu bph maka pemerintah Indonesia dengan harga Rp 4.500/liter (US$ 77/brl) untung US$ 49,4 juta per hari atau Rp 165,8 Trilyun dalam setahun (1US@=Rp 9.200).

Minyak Indonesia dikelola perusahaan asing :

- Keuntungan Perusahaan Migas yang beroperasi di Indonesia, Exxon Mobil tahun 2007 sebesar US$ 40,6 milyar (Rp 373 trilyun) dari pendapatan US$ 114,9 milyar (RP 1.057 trilyun – CNN).
- Bagi hasil migas sebesar 85:15 % untuk pemerintah dan perusahaan asing baru dilakukan setelah dipotong “Cost Recovery” yang besarnya ditetapkan perusahaan asing.
- Jika tidak tersisa, Indonesia tidak dapat. Di Blok Natuna setelah dipotong Cost Recovery Indonesia dapat 0 dan Exxon 100% (Kompas, 13 Oktober 2006).
- Transparansi International Indonesia menemukan biaya senang-senang main golf dimasukkan dalam Cost Recovery (DetikFinance.com).
- Di Blok Cepu terdapat cadangan minyak 781 juta barel dengan produk/hari = 165.000 barel namun harus dibagi : Exxon = 45%, Pertamina = 45% dan Daerah = 110%.
- Pendapatan Exxon per hari di blok cepu = Rp. 100,2375 Milyard, dibawa keluar oleh Exxon setiap hari tanpa membayar Cost Recovery.

Energi Indonesia untuk siapa? (Kompas) :

- Indonesia ekspor 70% batubara ke luar negeri.
- Indonesia pengekspor LNG terbesar di dunia.
- Indonesia ekspor 500 ribu bph minyak sementara listrik sering padam, rakyat antri gas, minyak tanah dan bensin.
- Jika energi diprioritaskan untuk dalam negeri dan Pembangkit listrik PLN yang memakai BBM dialihkan ke PLTA, PLTG, atau batubara, maka Indonesia tak perlu impor BBM sama sekali.
- Jumlah pemilik mobil mewah < 5% (<10 juta)
- Supir Bis, Metromini, Mikrolet Supir Truk pengangkut barang Para nelayan Penumpang angkot (bukan orang kaya).
- Jika BBM naik pasti menderita karena tarif angkot naik dan harga barang naik karena didistribusikan dengan Truk/BBM Rakyat miskin menderita.


II. TEORI KEMISKINAN

- Dalam Panduan Keluarga Sejahtera (1996: 10) kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam memenuhi kebutuhannya.
- Dalam Panduan IDT (1993: 26) bahwa kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.
- Yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran. Tahun 2006, garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 175.324,- per kapita per bulan dan penduduk miskin pedesaan sebesar Rp. 131.256,- per kapita per bulan.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian:

- Kemiskinan absolut, Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan.
- Kemiskinan relatif, Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
- Kemiskinan kultural, miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.

Penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (2000: 107) sebagai berikut:

1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah;
2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitas juga rendah, upahnya pun rendah;
3. kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal.

Penduduk Pedesaan dan Peran Komoditi Makanan :

- Menurut data BPS Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta.
- Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta, berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta.
- Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan.
- Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Maret 2006, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 74,99 persen.

Tabel 1.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia

Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk Miskin
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
1996 9,42 24,59 34,01 13,39 19,78 17,47
1998 17,60 31,90 49,50 21,92 25,72 24,23
1999 15,64 32,33 47,97 19,41 26,03 23,43
2000 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14
2001 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41
2002 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20
2003 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42
2004 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66
2005 12,40 22,70 35,10 11,37 19,51 15,97
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)tahun 2006
III. PERAN HUTAN DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN


- BPS mencatat tahun 2004, dari 48,8 juta penduduk Indonesia yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan terdapat 10,2 juta tergolong kedalam kelompok miskin yang mencakup miskin pendapatan, berusaha yang layak, pendidikan, kesehatan dan sanitasi.

- Peran yang telah dimainkan oleh Departemen Kehutanan khususnya dalam menanggulangi kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan payung besar ”social forestry” , antara lain:
1. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dilaksanakan di wilayah Hutan Produksi di Jawa oleh Perum Perhutani
2. Pembangunan Hutan Kemasyarakatan.
3. Pengembangan aneka usaha kehutanan oleh masyarakat
4. Pembangunan hutan rakyat.
5. Pemberdayaan masyarakat sekitar Hutan Produksi (HP).
6. Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) di sekitar wilayah Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dari hutan alam atau hutan tanaman.

- Kita belum dapat menilai apakah kegiatan-kegiatan yang telah dirancang dan dilaksanakan benar-benar mencapai sasaran. Hanya secara kualitatif dapat dirasakan bahwa pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan masih belum menunjukkan hasil yang signifikan.
- Kesulitan penilaian dapat digambarkan antara lain melalui sulitnya menemui jawaban atas pertanyaan: Apa ukuran pendapatan masyarakat meningkat ?, Apakah kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan tepat sasaran ?, Apakah ada ukuran dampak positif maupun negatif dari pelaksanaan kegiatan ?.
- Departemen Kehutanan juga belum melakukan penentuan kriteria-kriteria dan indikator keberhasilan berdasarkan data dan informasi mengenai kemiskinan di dalam dan sekitar hutan yang komprehensif.
- Berkaitan dengan kondisi saat ini dimana terjadi krisis pangan dan carut-marutnya pengurusan BBM, maka Kehutanan seyogyanya dapat memberikan dan menciptakan program yang nyata dalam kaitannya dengan krisis pangan dan energi.


IV. HUTAN, PANGAN, DAN ENERGI (FOREST, FOOD & FUEL)

- Akhir tahun 2004 pemerintah menetapkan hutan negara seluas 120,35 juta ha. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 23,24 juta ha, hutan lindung seluas 29,1 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta ha, hutan produksi seluas 27,74 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta ha.
- Konteks hutan sebagai penggerak ekonomi menjadikan hutan-hutan alam indonesia diarahkan pada memutar mesin-mesin penghasil devisa dengan kayu sebagai bahan utamanya dan menegaskan seakan hanya pemerintah yang mempunyai hak utama dalam pengelolaan hutan. Sementara pada kenyataannya tidak ada satupun kawasan hutan yang tidak bertuan dalam artian tidak dihuni oleh masyarakat yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun menetap disitu.
- Bahwa masyarakat yang menempati kawasan di dalam dan sekitar hutan melihat hutan adalah kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai sosial, budaya dan religius
- Sepanjang pemanfaatan hutan dilandasi oleh asas pengelolaan hutan lestari dan disesuaikan dengan fungsi hutannya (konservasi, lindung dan produksi), maka hutan akan dapat memberi sumbangan dalam menanggulangi kemiskinan melalui terbukanya kesempatan kerja dan berusaha dengan memanfaatkan hasil hutan kayu maupun non kayu (rotan, gaharu, madu dll) maupun mengisi kesempatan kerja pada kegiatan-kegiatan pengusahaan hutan, industri kehutanan.
- Disamping itu lahan kawasan hutan pada lokasi-lokasi tertentu dapat dimanfaatkan untuk secara bersama-sama ruangnya diisi dengan berbagai komoditi antara lain: pohon, tanaman pangan, tanaman obat-obatan dan tanaman yang dapat diproses menjadi bahan bakar /biofuel (singkong dan jarak pagar).

- Peran yang harus dimainkan kehutanan untuk mendukung hal tersebut :

1. Memfokuskan terhadap program-program yang sudah ada dengan jenis kegiatan dan pemilihan tanaman untuk penyediaan pangan dan energi (biofuel).
2. Penyiapan perangkat kebijakan dan sistem hukum yang merubah paradigma lama seperti :
- Timber based management digantikan dengan "forest resource management" untuk memperoleh manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya secara seimbang. Pohon adalah komponen utama dari hutan yang merupakan sumber dari keseluruhan fungsi hutan, maka pohon tidak boleh hanya dipandang sebagai penghasil kayu semata.
- Participatory and collborative forest management menggantikan sistem pengelolaan hutan yang didominasi oleh peranan pemerintah dan melibatkan seluruh stake holders.
- Pemanfaatan hutan secara berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan dengan memposisikan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan sebagai penerima manfaat utama.

3. Rehabilitasi dan Konservasi SDH di dalam dan di luar kawasan hutan diarahkan pada pelibatan secara aktif warga masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut, sehingga kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dapat lebih memberi manfaat yang nyata kepada masyarakat.

4. Pemilihan teknis, jenis tanaman dan pola tanam dalam RHL dengan mempertimbangkan manfaat ekologi dan ekonomi didasarkan pada fungsi hutan dan lahan, serta kebutuhan dan minat masyarakat setempat dengan mengutamakan jenis unggulan daerah, untuk menciptakan pendapatan masyarakat jangka pendek, menengah dan panjang melalui pola kehutanan terpadu

5. Pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat menjadi dasar pemilihan kegiatan, jenis tanaman, teknis dan pola tanam dibidang kehutanan.

6. Fakta bahwa tahun 2008 ini Pemerintah mengucurkan 8,4 Trilyun untuk program GNRH-L maka perlu dilakukan Format ulang aturan teknis tentang GERHAN khususnya pada pemilihan jenis tanaman berdasarkan kedekatan lokasi dengan desa. Di Jawa sudah mulai dikembangkan MANAGEMENT REGIME dimana :
a. Wilayah terdekat dengan desa, tanaman kehutanan dicampur dengan tanaman pangan (lebih dominan tanaman pangan) dan tanaman biofuel.
b. Wilayah tengah, didominasi jenis lokal dan tanaman kayu untuk keperluan kayu bakar.
c. Wilayah terjauh, barulah murni tanaman kehutanan jenis komersil

HUTAN RAWA GAMBUT TROPIKA SEBANGAU

Praktek Lapangan
MUKTI AJI - PSAL - UNPAR
FEBRUARI 2009


I. PENDAHULUAN

Hutan Rawa Gambut Tropika Sebangau merupakan salah satu hutan rawa gambut yang tersisa di Propinsi Kalimantan Tengah. Saat ini, Kawasan Sebangau merupakan kawasan yang menjadi tumpuan masyarakat karena dapat memberikan nilai ekonomi – ekologi yang sangat penting bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Kawasan ini juga mendukung pembangunan wilayah di Kota Palangkaraya.

Ekosistem Gambut Sebangau merupakan salah satu ekosistem yang kondisinya relatif masih baik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya dan merupakan kawasan yang memainkan peranan yang sangat penting bagi gudang penyimpanan karbon dan pengatur tata air di Kota Palangkaraya. Oleh karena itu kestabilan ekosistem ini merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup manusia, baik ditingkat lokal, regional, nasional maupun global.

Terdegradasinya ekosistem gambut di dalam dan sekitar kawasan taman nasional akibat pembangunan kanal dan pembukaan hutan akan menyebabkan ekosistem ini peka terhadap kebakaran. Kondisi ini telah dibuktikan pada tahun 1997 pada saat terjadi bencana kekeringan El Nino, dimana pada tahun tersebut telah terjadi bencana kebakaran yang sangat hebat dengan areal yang terbakar relatif sangat luas. Didasarkan hasil pantauan data satelit sebelum dan sesudah kebakaran pada tahun 1997 di dalam areal studi seluas 2,5 juta hektar di daerah Kalimantan Tengah diketahui bahwa 32 % (790.000 ha) areal tersebut terbakar dan 91,5 % (730.000 ha) merupakan lahan gambut. Dari hasil pengukuran lapangan (ground measurement) kebakaran gambut dalam, diduga telah dilepaskan karbon ke atmosfir sebanyak 0,19 – 0,23 gigaton (Gt) sebagai akibat kebakaran gambut dalam dan karbon yang dilepaskan diperbanyak pula sebesar 0,05 Gt sebagai akibat kebakaran tajuk (overlying vegetation). Hasil ekstrapolasi menunjukkan bahwa akibat kebakaran gambut dan vegetasi di Indonesia pada tahun 1997 telah dilepaskan karbon (CO2) ke atmosfir sebesar 0,81 – 2,57 Gt, dimana hal ini setara dengan 13 – 40 % rata-rata emisi karbon tahunan global yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, dan efek kebakaran tersebut menghasilkan konsentrasi CO2 di atmosfir terbesar sejak awal pengukuran konsentrasi karbon di atmosfir pada tahun 1957. Efek dari kebakaran tersebut memberikan kontribusi nyata terhadap kabut asap yang menutupi sebagian besar Asia Tenggara dan juga menyebabkan penurunan kualitas udara dan peningkatan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kesehatan manusia.


II. KARAKTERISTIK LAHAN LOKASI PRAKTEK

Ekosistem Hutan Rawa Gambut Sebangau menurut Pusat Penelitian Biologi LIPI (2006) mengandung keanekaragaman jenis flora yang unik/khas seperti ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera costulata), belangeran (Shorea belangeran), bintangur (Calophyllum sclerophyllum), meranti (Shorea spp.), nyatoh (Palaquium spp.), keruing (Dipterocarpus spp), agathis (Aghatis spp), dan menjalin (Xanthophyllum spp.). Umumnya jenis-jenis tumbuhan tersebut menempati tipe ekosistem hutan primer dan sekunder.

Komunitas hutan primer; menurut Pusat Penelitian Biologi LIPI (2006) adalah hutan primer bekas tebangan, sehingga hutannya telah mengalami kerusakan, namun sebagian besar hutannya masih relatif baik, dimana tegakan-tegakan jenis tumbuhan primernya masih terlihat rapat. Jenis-jenis tumbuhan yang umumnya dijumpai di tipe ini adalah Dryobalanops lanceolata, Shorea balangeran, Shorea bracteolate, Gonystylus bancanus, Dipterocarpus sp., Dacridium sp., dan Dyera polyphylla.

Komunitas hutan primer umumnya tersusun dari tiga lapisan utama, yaitu lapisan atas, tengah dan bawah. Lapisan teratas (kanopi utama) didominasi oleh Combrecartus rotundatus. Lapisan tengah disusun oleh Campnosperma coriaceum, Dactylocladus stenostachys, Palaquium ridleyi, Xylopia fusca, Tristaniopsis whiteana, Syzygium spp., Tetractomia tetranda dan Shorea bracteolata. Sedangkan lapisan ketiga merupakan jenis tumbuhan semai dari anakan pohon penyusun lapisan pertama dan kedua. Pada lapisan ketiga juga dijumpai jenis-jenis tumbuhan perdu (seperti Ixora havilandii, Antidesma coriaceum, Diospyros sp., dan Wikstroemia androsaemifolia), jenis tumbuhan herba (seperti Pandanus sp., Hanguana malayana, Taenitis blechnoides, dan Euthemis sp.), dan tumbuhan pemanjat (seperti Willughbeia sp., Alyxia reinwarddtiana, Cissus sp., Ampelocissus thyrsiflora, Nephentes spp., Gnetum latifolium, dan Fibraurea chloroleuca).

Komunitas Hutan Sekunder; merupakan komunitas yang telah terdegradasi dengan kuat akibat aktivitas manusia. Di dalam komunitas ini menurut Pusat Penelitian Biologi LIPI (2006) dijumpai tumbuhan pionir, yaitu Macaranga caladifolia. Jenis-jenis tumbuhan lainnya adalah Cratoxylum glaucum, Lithocarpus bennettii, Ilex cymosa, Glochidion philippicum, Ploarium alternifolium, Ficus spp., Adenanthera sp., dan Tristaniopsis whiteana serta beberapa jenis tumbuhan hutan primer yang cepat tumbuh dan dapat bertahan hidup setelah ditebang atau mengeluarkan trubusan, seperti Combretocarpus rotundatus, Tristaniopsis whiteana, Campnosperma coriaceum, Syzygium spp., dan Baccaurea bracteata. Kemudian jenis-jenis tumbuhan perdu yang juga ditemukan di dalam komunitas ini adalah Tarenna fragras, Timonius flavescens, Rhotmania grandis, Antidesma coriaceum, A. phanerophlebium, Ardisia sp, dan Ilex cymosa dan jenis tumbuhan herba adalah Fimbristylis spp., Scleria purpurescens, Isachne sp., dan Cyperus spp. Lebih lanjut jenis tumbuhan perambat/liana yang dijumpai di dalam komunitas ini adalah Fissistigma kingiana, Uncaria acida, Lecananthus erubescens, Coptosapelta sp., Dalbergia sp., dan Flagellaria indica.

Didasarkan jenis tumbuhan terlihat dengan jelas bahwa jenis-jenis tumbuhan di kedua komunitas tersebut relatif sangat jauh berbeda. Perbedaan ini diduga karena tingkat kekerasan perubahan penutupan lahan, baik disebabkan penebangan tidak resmi dan atau kebakaran hutan. Namun demikian faktor kedalaman gambut juga dapat menjadi faktor perbedaan jenis tumbuhan, dimana komunitas hutan primer umumnya menempati gambut dalam sedangkan hutan sekunder lebih banyak dijumpai di daerah gambut dangkal. Tingginya aktivitas manusia juga menjadi faktor penyebab tidak meratanya distribusi komunitas hutan tersebut di dalam kawasan Sebangau.


III. ANCAMAN EKOSISTEM SEBANGAU

Berdasarkan pengamatan di lapangan, ekosistem di lokasi praktek potensial mengalami degradasi ekosistem karena :

1. Banyaknya pengalihan fungsi lahan baik inisiatif masyarakat maupun pihak lain.
2. Pengembangan Sarana dan Prasarana Pembangunan Kota Palangka Raya.
3. Kegiatan pengembangan ekonomi wilayah.
4. Perubahan ekosistem regional.
5. Adanya kanal/parit yang dapat dijadikan sarana angkut kayu.
6. Kebakaran


IV. LANGKAH STRATEGIS

Berdasarkan analisis kondisi dan permasalahanmaka dari segi aspek pengelolaan dan kebijaksanaan terhadap ancaman yang ada, alternatif kegiatan dapat dilaksanakan dengan mengupayakan :

1. kemantapan kawasan,
2. keterpaduan pengamanan,
3. keterpaduan pembangunan dan pengembangan,
4. kemantapan lembaga pengelola,
5. kemantapan lembaga konsultasi dan koordinasi,
6. partisipasi masyarakat,
7. kepedulian masyarakat (kemitraan)


V. PENUTUP

Tingginya nilai manfaat Kawasan Sebangau, baik manfaat ekologi maupun ekonomi, saat ini belum diikuti oleh tingginya kesadaran masyarakat, baik dari pihak Pemerintah maupun pihak lain yang terlibat. Kawasan ini masih mengalami berbagai gangguan yang dapat mengancam kelestariannya, kemudian secara ekologis kawasan ini juga rentan terhadap perubahan keseimbangan ekosistem akibat telah terdegradasinya secara kuat ekosistem di sekitar kawasan dan masih berlangsungnya proses suksesi di dalam kawasan akibat eksploitasi hutan dan hasil hutan.

Kesuksesan pengelolaan dan penyelamatan ekosistem sebangau, selain ditentukan oleh kondisi sumber daya lahan dan pengelolaan lingkungannya juga sangat tergantung pada kwalitas sumber daya manusia pengelolanya. Pengelolaan kawasan sebangau secara berkelanjutan menuntut ketrampilan, kerajinan, keuletan, kewaspadaan dan kebersamaan.

PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN SEBANGAU

PEMBANGUNAN PERTANIAN
MUKTI AJI - PSAL - UNPAR
FEBRUARI 2009


I. PENDAHULUAN

Kawasan Sebangau ditetapkan sebagai taman nasional melalui SK Menteri Kehutanan No. 423/Menhut/II/2004 pada tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas + 568.700 ha. Kawasan ini terletak di antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan, dan berada pada Wilayah Administrasi Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah.

Hutan Rawa Gambut Tropika Sebangau merupakan salah satu hutan rawa gambut yang tersisa di Propinsi Kalimantan Tengah. Saat ini, Kawasan Sebangau merupakan kawasan yang menjadi tumpuan masyarakat karena dapat memberikan nilai ekonomi – ekologi yang sangat penting bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Kawasan ini juga mendukung pembangunan wilayah di Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya.

Ekosistem Gambut Sebangau merupakan salah satu ekosistem yang kondisinya relatif masih baik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya dan merupakan kawasan yang memainkan peranan yang sangat penting bagi gudang penyimpanan karbon dan pengatur tata air di Kabupaten Katingan serta Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya. Oleh karena itu kestabilan ekosistem ini merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup manusia, baik ditingkat lokal, regional, nasional maupun global.

Lahan rawa gambut tropika juga merupakan reservoir biodiversitas dan habitat bagi satwa langka. Meski keanekaragaman spesies pohon di kawasan hutan rawa gambut lebih rendah dari hutan tropika dataran rendah, namun spesies pohon bersifat endemik. Selain itu, ekosistem ini juga penting sebagai habitat berbagai spesies hewan, khususnya primata seperti orang utan (Pongo pygmaeus). Beberapa jenis ikan ditemukan bersifat endemik pada ekosistem ini. Selain itu, lahan gambut alami memiliki peran penting dalam keseimbangan air regional melalui fungsinya sebagai water catchment dan reservoir. Dengan kapasitas menyimpan yang besar, antara 80-90% volume gambut akan menjadi penampung air pada musim hujan dan melepaskannya secara bertahap pada musim kemarau.

Kawasan hutan gambut di antara sungai Sebangau merupakan habitat berbagai jenis satwaliar dengan nilai ekonomi tinggi, jarang dan dilindungi. Orang utan, kera ekor pendek, gibon, adalah jenis-jenis satwa dominan dan seringkali ditemukan. Beruang madu, dan rusa adalah jenis dominan dibandingkan lainnya. Diantara jenis-jenis burung, satu jenis telah diklasifikasikan sebagai jenis hampir punah tetapi masih dapat dijumpai di dalam kawasan, yaitu baliang. Jenis satwa yang sering dikonsumsi oleh masyarakat lokal adalah bangamat (kalong). Jenis reptil yang juga dapat ditemukan di dalam lokasi adalah panganen (ular phyton), hanjaliwan (ular tadung), muhe (ular kobra), biawak, dan kura-kura.

Beberapa jenis ikan yang dapat dijumpai juga di dalam kawasan antara lain adalah gabus (Channa striata), lele (Clarias sp.), bapuyu (Anabas testudineus), kakapar (Belontia hesselti), sambaling (Betta sp.). Ikan-ikan tersebut berperanan penting dalam keseimbangan ekosistem dan juga sebagai sumber protein penting bagi masyarakat sekitar. Di Sungai Sebangau, beberapa jenis ikan seperti (Helostoma temminckii), lele (Clarias sp.), bapuyu – (Anabas testudineus), karandang (Channa pleuropthalmus), tapah (Wallago leeri), gabus (Channa striata) seringkali dijumpai dalam jumlah besar dan kemudian digantikan oleh spesies lainnya.

Mayoritas masyarakat di sekitar kawasan Sebangau bermatapencaharian utama dari hasil pertanian tanaman padi dan palawija. Usaha pertanian merupakan matapencaharian masyarakat transmigrasi. Adapun usaha perikanan lebih banyak dilakukan oleh penduduk asli.


II. ALTERNATIF LANGKAH PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PEMUKIMAN WILAYAH SEBANGAU

Berdasarkan pengamatan visual di kawasan pemukiman wilayah Sebangau khususnya di Desa Kereng Bangkirai dan sekitarnya, beberapa hal yang dapat dilakukan untuk pengembangan dan pembangunan bidang pertanian adalah sebagai berikut :

1. Peternakan Ayam Ras
Peternakan ayam ras dapat dikembangkan dengan alasan bahwa kebutuhan akan ayam potong di kota Palangka Raya cukup tinggi sementara pemenuhan kebutuhan ayam potong banyak didatangkan dari daerah yang relatif jauh dari kota (Tangkiling). Langkah yang dapat dilakukan kaitannya dengan pengembangan peternakan ayam ras adalah :

a. Pencadangan lokasi yang tidak berada di dekat pemukiman (di Kalampangan dan sekitarnya.
b. Pembangunan pabrik pakan ternak yang didukung dengan pengembangan jagung dan sumber protein hewani.
c. Penguatan kelembagaan di tingkat peternak seperti pembentukan kelompok peternak untuk ternak ayam pedaging dan ayam petelur.
d. Pembinaan peternak dalam penanggulangan penyakit.
e. Membangun kemitraan dengan perusahaan besar.
2. Perikanan Budidaya

Sangat disayangkan bahwa sungai sebangau terlihat belum banyak dimanfaatkan untuk budidaya ikan air tawar khususnya dengan model keramba. Langkah yang dapat dilakukan untuk pengembangan budidaya ikan air tawar adalah :

a. Pembinaan teknik budidaya ikan khususnya pada jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan spesifik Kalimantan Tengah.
b. Pengembangan usaha pasca panen.
c. Perluasan pasar melalui kemitraan dengan perusahaan besar dan orientasi ekspor.

3. Industri Rumah Tangga / UMKM

Dengan pertimbangan bahwa hasil pertanian di daerah sebangau selama ini hanya dipasarkan dalam bentuk mentah, maka diperlukan pengembangan industri rumah tangga / UMKM yang berbasis (bahan baku) dari hasil pertanian. Langkah yang dapat dilakukan adalah :

a. Pengembangan industri dengan memanfaatkan bahan baku lokal.
b. Identifikasi produk industri yang potensial dikembangkan.
c. Penguatan kelembagaan.


III. PENUTUP

Kesuksesan usaha tani di lahan gambut, selain ditentukan oleh kondisi sumber daya lahan dan pengelolaan lingkungannya juga sangat tergantung pada kwalitas sumber daya manusia pengelolanya (Petani dan Instansi terkait). Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan menuntut ketrampilan, kerajinan, keuletan, kewaspadaan dan kebersamaan.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, maka sudah saatnya kawasan sebangau dikembangkan tidak hanya sebagai penghasil bahan mentah namun harus ada upaya pengembangan bentuk olahan dan juga kemitraan dengan perusahaan berskala besar.

KRISIS GLOBAL DAN DUNIA PERTANIAN INDONESIA

PEMBANGUNAN PERTANIAN
MUKTI AJI - PSAL - UNPAR
FEBRUARI 2009


I. PENDAHULUAN

Tahun 2008 bisa dikatakan sebagai periode yang suram dunia. Betapa tidak, krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) yang dipicu oleh krisis subprime mortgage (terjadi akibat macetnya kredit properti) pada medio 2006 tampaknya akan terus berlanjut. Celakanya, karena hubungan patronase yang sedemikian lekat antara pasar keuangan AS dan dunia, imbas negatif juga terjadi di negara-negara lain. Salah satu channel penularan adalah melalui harga saham. Kerugian bank-bank internasional akibat krisis subprime mortgage pada awalnya menimbulkan penurunan kurs Dollar AS terhadap mata uang Euro dan Yen. Jatuhnya valuasi saham di AS selanjutnya memicu penurunan harga saham di seluruh dunia karena investor khawatir pelemahan ekonomi AS akan berdampak pada pelambatan ekonomi dunia.

Spektrum dan dimensi krisis ekonomi pun telah secara agresif bergerak ke berbagai penjuru dan bidang-bidang kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan militer masyarakat dunia. Krisis telah mengunci miliaran rakyat miskin di dunia dalam kesengsaraan, kekerasan dan perang, wabah penyakit, dan keterbelakangan budaya.
Gejolak politik akibat kenaikan harga telah terjadi di berbagai kawasan dunia. Di Haiti, gelombang protes warga akibat kenaikan harga kebutuhan pokok telah memaksa pemerintahan setempat untuk meletakkan jabatan. Gelombang protes massa pun membayangi kawasan-kawasan dunia lainnya. Di Zimbabwe, krisis harga yang bertemu dengan momentum krisis politik dalam pemilu setempat telah memicu aksi-aksi kekerasan terhadap oposisi. Sementara di Indonesia, kegelisahan yang tak berkesudahan akibat kenaikan harga pangan sudah mulai diaktualisasikan dalam aksi-aksi politik yang dilakukan oleh mahasiswa, buruh, dan kaum tani.

Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden SBY-Kalla sesungguhnya berada dalam keadaan yang sangat sulit. Akibat krisis ini, beban utang pemerintah bertambah hingga Rp 97,74 triliun (Kompas, 15/4). Besarnya beban APBN dan tingginya utang mendorong Bank Dunia untuk mendesak agar Indonesia mencabut berbagai subsidi. Desakan tersebut disampaikan langsung oleh Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim von Amsberg. Menurutnya, anggaran untuk menaikkan subsidi BBM di APBN 2008 yang naik hampir tiga kali lipat dari tahun lalu, hanya akan dirasakan manfaatnya oleh segelintir masyarakat dari kalangan mampu. Lebih lanjut, Joachim von Amsberg menjelaskan, “Seharusnya, anggaran tersebut dialihkan untuk pembangunan infrastruktur atau proyek-proyek yang menyerap banyak tenaga kerja, sehingga dapat menekan angka pengangguran dan kemiskinan”.


II. DAMPAK KRISIS GLOBAL

Dampak krisis keuangan AS menjalar ke Eropa dan Asia Pasifik dalam bentuk bangkrutnya bank/institusi keuangan/korporasi, meningkatnya inflasi, menurunnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pengangguran, dan runtuhnya indeks bursa saham. Di Indonesia, krisis keuangan global terbukti memporakporandakan pasar modal dan valas. IHSG anjlok dari angka 2.830 menjadi 1.111, atau turun lebih dari 60%. Nilai kurs rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi cukup dramatis dari Rp 9.076 hingga sempat hampir menembus Rp 13.000.

Krisis global berpengaruh besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara singkat, krisis global mempengaruhi penanaman modal asing di Indonesia. Banyak investor asing yangg mempermasalahkan krisis global dan mempertimbangkannya masak-masak sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi atau membeli saham di Indonesia. Dampak ke dua adalah dalm forex / pertukaran mata uang asing, yang secara otomatis berpengaruh pada impor / expor negara Indonesia.

Dampak krisis finansial global mulai merembes ke sektor riil di Tanah Air. Sejumlah sektor industri, di antaranya menjadi tumpuan ekspor, mulai merasakan kemerosotan kinerja akibat terpuruknya permintaan, dan bersiap-siap menyambut datangnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.

Industri baja nasional, misalnya, kian terpuruk. Harga baja di pasar internasional dalam tiga bulan belakangan ini merosot hingga 36,5 persen, dari sebelumnya US$ 1.150 menjadi US$ 730 per ton. Belum lagi, persoalan lain yang harus dihadapi industri baja dalam negeri, seperti melemahnya daya beli masyarakat, pengetatan likuiditas perbankan, tingginya suku bunga kredit, serta ancaman penundaan sejumlah proyek infrastruktur yang belum juga terpecahkan.

Kondisi yang sama dihadapi industri tekstil. Ketua Asosiasi Pertekstilan (API) Daerah Jawa Barat. Sekitar 70.000 tenaga kerja terancam mengalami PHK mulai awal tahun 2009. Jabar, yang merupakan sentra industri tekstil di Tanah Air, memiliki lebih dari 700 pabrik tekstil yang menyerap sekitar 700.000 tenaga kerja. Dampak krisis ekonomi di AS sangat terasa, mengingat AS merupakan ekspor terbesar industri tekstil dan produk tekstil dari Jabar. Tahun 2007, total nilai ekspor tekstil Jabar mencapai US$ 4,72 miliar.

Dampak krisis finansial yang terasa di industri mebel. Sebanyak 80 persen ekspor mebel dari lima perusahaan anggota Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) ke pasar AS terpaksa dibatalkan. Total kerugian yang diderita diperkirakan sekitar US$ 6,25 juta-US$ 7,5 juta.


III. DAMPAK KRISIS GLOBAL TERHADAP DUNIA PERTANIAN INDONESIA

Berbagai media lokal maupun internasional secara terus menerus melaporkan dampak krisis dan kelangkaan pangan di dunia yang indikasinya telah terlihat sejak awal tahun ini. Sampai dengan akhir Maret 2008, sebagaimana dilaporkan FAO, telah terjadi krisis pangan yang sangat serius di 36 negara dan 21 negara diataranya merupakan negara di benua Afrika yang merasakan dampak paling serius bahkan menyebabkan terjadinya kelaparan kronis dan beberapa kasus kematian.

Pengaruh krisis global yang terjadi di Indonesia saat ini tidak hanya menghantui kehidupan ekonomi rakyat Indonesia, Secara kongkrit krisis global juga menyeret semua kalangan untuk siap menangung dampaknya yakni kemiskinal massal, PHK Massal, dan Masalah sosial yang pasti timbul. Krisis global itu juga menyerang petani, khususnya para petani produksinya berorientasi pada pasar eksport. Merekalah justrus salah satu korban pertama yang merasakan dampak krisis global, akibat lesunya daya beli pasar internasional. Sehingga nasib petani khususnya para buruh tani semakin jelas kemana arahnya, tidak lain yakni PHK.

Dalam Perkembangan Krisis Global saat ini tidak ada satupun Industri yang ada di Indonesia cukup kuat pondasinya untuk mempertahankan kelangsungan produksinya, tanpa terkecuali industri pupuk dalam negeri. Karena Semua Industri Indonesia khususnya yang berbasiskan bahan baku kimia itu di dapatkan dari import, artinya kandungan lokalnya (Bahan Baku Lokal) tidak lebih dari 20%-30% yang dihasilkan oleh Indonesia untuk suplai industri dalam negeri. Di Sisi yang lain, transaksi dalam Perdangangan Internasional alat tukarnya masih mengunakan Dollar AS. Sementara itu nilai tukar dollar AS di dalam negeri sepanjang bulan desember 2008 berada pada kisaran 11000-11700/USD.

Terhadap kenaikan harga global, harga pangan di Indonesia cenderung lebih stabil kecuali untuk minyak goreng dan kedelai. Bila Indonesia impor, maka ancaman di depan mata adalah kenaikan harga beras akibat kenaikan harga global 133% dalam periode januari-mei 2008 (FAO: Food Outlook, Mei 2008).

Akibat atas krisis dan kelangkaan pangan dunia juga semakin diperparah dengan tindakan beberapa negara produsen pangan utamanya padi yang membatasi bahkan menghentikan permintaan impor dari negara lain.


IV. ALTERNATIF SOLUSI ATASI KRISIS

Bila dikaji dari struktur permasalahannya, krisis pangan tidak hanya menjadi kenyataan dunia hari ini, melainkan juga menjadi akumulasi dari berbagai krisis yang terjadi dalam struktur perekonomian dunia saat ini. Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan yang berkaitan dengan antisipasi krisis keuangan global tersebut, seperti arahan Presiden dalam rapat kabinet berupa 8 (delapan) Grand Strategy pembangunan ke depan yaitu :

1. Menggunakan dan meningkatkan sumber-sumber pembiayaan dalam negeri, agar tidak senantiasa terhantui oleh bahaya arus modal ke luar negeri (capital out flow).
2. Meningkatkan tabungan (saving) dalam negeri sebagai sumber investasi domestik.
3. Memperkuat perekonomian domestik, termasuk pasar dalam negeri, agar pertumbuhan perekonomian (growth) tidak hanya mengandalkan ekspor, yang setiap saat bisa terancam manakala ekonomi dunia mengalami resesi.
4. Meningkatkan daya beli masyarakat, demikian juga spending pemerintah dan swasta, agar pasar domestik makin tumbuh dengan baik.
5. Menggalakkan penggunaan produk dalam negeri (barang dan jasa), agar neraca pembayaran kita aman (tidak defisit) dan devisa kita tidak terkuras.
6. Meningkatkan ketahanan dan kecukupan kebutuhan rakyat, terutama pangan, agar ketika dunia mengalami krisis ekonomi, kebutuhan rakyat tetap dapat dipenuhi.
7. Memajukan ekonomi daerah di seluruh provinsi, kabupaten dan kota agar semua daerah dapat menjadi sumber, kekuatan dan sabuk pengaman perekonomian nasional.
8. Mengelola dan mendayagunakan sumber daya alam, terutama minyak, gas, batubara dan minyak kelapa sawit, agar benar-benar dapat meningkatkan penerimaan negara, dan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Rektor IPB Herry Suhardiyanto mengatakan, upaya peningkatan kemandirian pangan dan energi semakin berat dengan adanya krisis keuangan di Amerika Serikat yang menjalar menjadi krisis global. "Krisis finansial yang semula diduga tidak terlalu kuat kaitannya dengan sektor riil, ternyata memiliki dampak yang cukup besar bagi sektor riil, khususnya pertanian yang berorientasi ekspor," katanya.

IPB merekomendasikan 5 hal yang sebaiknya dilakukan pemerintah.
Pertama, Merealisasikan resources based economy melalui integrasi bisnis hulu-hilir. Kedua, Membangun sistem keuangan berkeadilan dengan pola bagi hasil. Ketiga, mengalokasikan dana dan program pembangunan yang fokus pada komoditi unggulan dan berpihak pada rakyat. Keempat, Membangun ketahanan pangan dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan strategi subsitusi impor. Kelima, Mendorong pemerintah daerah untuk aktif mendukung perkembangan sektor riil, baik UMKM dan usaha pertanian dalam arti luas.

Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) merekomendasikan beberapa langkah untuk mengatasi krisisi gobal yang kini melanda bangsa Indonesia. Pertama, melakukan penyesuaian APBN 2009 dengan prioritas untuk pembangunan infrastruktur dalam bentuk program padat karya disamping melakukan penataan bagi sektor informal di kota-kota dengan kebijakan anti penggusuran. Kedua, Di bidang pertanian, diambil langkah untuk mengarahkan petani miskin dan penganggur untuk mendapatkan lahan produktif sebagai modal untuk meningkatkan taraf hidup serta membatalkan rencana pemberlakuan pajak terhadap produk-produk pertanian. Ketiga, di bidang ekonomi makro, mendesak diturunkan suku bunga dan melonggarkan likuiditas untuk menggerakkan sektor riil serta memberikan insentif pajak bagi industri yang mempunyai basis penyerapan tenaga kerja yang besar. Keempat, diperlukan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan tenaga-tenaga sarjana yang terkena imbas PHK sebagai tenaga pendampingan di sektor pertanian, kesehatan dan kependudukan. Kelima, melakukan reorientasi kebijakan-kebijakan pembangunan yang mendorong ke arah kemandirian bangsa.


V. PENUTUP

Dampak kelangkaan pangan yang sangat serius dalam skala global sebenarnya marupakan salah satu pelajaran berharga atas berbagai kebijakan di berbagai negara yang pada beberapa dekade terakhir cenderung meminggirkan prioritas pembangunan pertanian.

Momentum krisis pangan ini bisa dimaknai dari sisi positif dan negatif yaitu sebagai ancaman dan sekaligus peluang bagi kebangkitan pertanian nasional. Indonesia sebagai negara yang masih memproklamirkan diri sebagai negara agraris harus mengambil kebijakan yang tegas dan komprehensif terkait dengan kebangkitan pertanian.


- Dari Berbagai Sumber -

BEBERAPA CONTOH KRITERIA KELESTARIAN BAGI PENGELOLAAN HUTAN DIPTEROCARPUS

PHL
MUKTI AJI - PSAL- UNPAR
DESEMBER 2008

Secara umum evaluasi terhadap kelestarian pengelolaan hutan tergantung dari definisi akan kriteria yang tepat. Makalah ini memaparkan beberapa kriteria lokal yang disusun dan diuji dari fakta, pengalaman dan hasil penelitian dari pengelolaan hutan dipterocarp di Sabah, Malaysia.

I. PENDAHULUAN

Pembangunan dan konservasi sumber daya hutan yang berkelanjutan di bumi menjadi salah satu topik utama dalam pembahasan global terhadap persoalan-persoalan lingkungan saat ini.

Selain usaha-usaha internal pemerintahan yang terutama mencoba untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan dan hukum-hukum kehutanan yang bersifat nasional, sejumlah inisiatif dari lembaga-lembaga non pemerintah dari tingkat lokal hingga internasional, berupaya menggunakan insentif perdagangan demi perbaikan pengelolaan hutan. Sebagian besar inisiatif-inisiatif ini dipakai untuk memberi informasi kepada para konsumen tentang dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh produksi dari sebuah hasil hutan.

Seperangkat kriteria yang tegas atas atas pengelolaan hutan lestari itu penting untuk memfasilitasi penilaian dampak lingkungan. Penilaian-penilaian dari lembaga seperti Departemen Lingkungan atau dari para auditor lingkungan dari lembaga non pemerintah hanya akan mungkin dilakukan sepanjang patokan-patokan yang dapat diterapkan dan prosedur-prosedur yang tepat itu dikembangkan. Untuk tujuan implementasi evaluasi pengelolaan hutan, digunakan pendekatan sistematik atas pengertian dari kriteria kelestarian yaitu :

- Prinsip-prinsip yang jelas dari ilmu-ilmu kehutanan;
- Kriteria dari peraturan-peraturan atau dari fakta yang menggambarkan kebenaran apa yang terjadi;
- Indikator yang menjelaskan variabel untuk mengukur dan menguji kriteria yang ada.

Karena sebuah evaluasi memerlukan perbandingan kriteria dan situasi nyata, maka variabel-variabel indikator dipakai :
- Sebagai spesifikasi yang menetapkan sebuah nilai yang jelas atau fakta atas kriteria tersebut; dan
- Menafsirkan situasi yang diamati pada saat evaluasi;


II. KOMPONEN UTAMA SISTEM PENGELOLAAN HUTAN

Dalam perencanaan pengelolaan hutan, wilayah hutan harus diidentifikasi untuk kemudian dibagi ke dalam fungsi pengelolaan untuk :
- Produksi kayu;
- Produksi Non Kayu;
- Kebutuhan Masyarakat Sekitar;
- Keanekaragaman Hayati;
- Konservasi dan Perlindungan Alam;
- Penelitian
- Rekreasi dan Wisata Alam

Komponen utama dalam sistem pengelolaan hutan dapat dilihat sebagai berikut :

No. Level Pengelolaan Rentang Waktu Komponen Utama
1. Sektor Kehutanan 10 - 20 Tahun - Rencana Sektor Kehutanan
- Kebijakan tentang Hutan
- Peraturan
2. Unit Pengelolaan Hutan 5 - 10 Tahun - Rencana Pengelolaan
- Monitoring dan Evaluasi
- Penililaian Dampak Lingkungan
3. Petak /Kompartemen Setiap Tahun - Pelaksanaan /implementasi
- Penilaian Sumber Daya


III. KEGIATAN DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN

Kegiatan utama dalam pengelolaan hutan yang sangat membutuhkan adanya kriteria yang jelas diantaranya :

A. Penetapan wilayah / zonasi hutan

Langkah menuju pemanfaatan dan pengelolaan hutan lestari adalah pembagian wilayah untuk fungsi-fungsi hutan (Konservasi, Produksi, Rekreasi dan Kebutuhan Masyarakat). Aspek yang terdapat dalam kegiatan penetapan wilayah/zonasi hutan adalah pembagian fungsi hutan dan batasan-batasan pengelolaan. Penetapan dan keputusan pembagian wilayah/zonasi hutan dibuat untuk semua level pengelolaan.

Kriteria dan indikator zonasi hutan pada level unit pengelolaan dan level kompartemen seperti pada tabel berikut :

NO KRITERIA INDIKATOR SPESIFIKASI/ SYARAT

1. Level unit Pengelolaan
Hutan dibagi menjadi 4 fungsi utama yang dapat memberikan beragam fungsi pengelolaan Deliniasi/penentuan Hutan Lindung /konservasi Areal murni berfungsi melindungi :
- Hewan Liar
- Komunitas Tumbuhan
- Perlindungan Tata Air
Deliniasi/penentuan Hutan Produksi - Kelerengan areal < 250 untuk kelas kesuburan tanah ≤ IV atau kelerengan < 150 untuk kelas kesuburan V
- Untuk produksi kayu, non kayu atau berburu.
- Tidak ada persoalan social ekonomi
Deliniasi/penentuan Hutan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat - Kelerengan areal < 150 untuk kelas kesuburan tanah ≤ IV dan dicadangkan untuk itu.
- Areal disekitar hunian penduduk lokal
Deliniasi/penentuan Hutan Wisata - Areal yang berpotensi untuk wisata seperti air terjun, gua, dll
2. Level Kompartemen /Petak
Produksi kayu tidak ada masalah/konflik dengan areal penggunaan hutan yang lain Matrik tingkat kecocokan - Cocok dengan fungsi lingkungan
- Tidak ada persoalan sosial ekonomi
- Bukan areal untuk alokasi hasil hutan bukan kayu
Pemanenan Hutan Alam menurut kaidah konservasi lingkungan Deliniasi areal produksi kayu Areal hanya akan dipanen jika :
- Kemiringan lahan < 250
- Kecukupan stock yang menjamin regenerasi species

B. Penilaian Sumberdaya Hutan

Perencanaan dan pengawasan sumber daya dalam sistem pengelolaan hutan berkelanjutan membutuhkan informasi yang mencukupi dalam hal kualitas dan kuantitas pertumbuhan Stock tegakan dan sumber daya lain yang relevan (rotan, bambu, binatang buruan, dsb).

Kriteria dan indikator inventory sumber daya hutan seperti pada tabel berikut :

NO KRITERIA INDIKATOR SPESIFIKASI/ SYARAT


1.

Hasil yang diperoleh dari inventory hutan mencukupi pada lingkup dan level menyeluruh untuk kegiatan perencanaan pengelolaan yang bertujuan pada kelestarian dan peningkatan sumber daya hutan

Jenis Inventory

Terrestrial
Luasan minimum areal kelola 30.000 Ha
Rentang Jenis/species Mencakup seluruh jenis kayu komersiil dan non komersiil
Rentang diameter Tinggi > 1,5 m

2. Total volume kayu jenis komersiil secara akurat mencukupi untuk rencana produksi hutan lestari
Sampling Error < ± 10% pada tingkat kepercayaan 95%

C. Pengaturan Hasil Hutan

Pengaturan hasil hutan mengacu pada penentuan jumlah kayu yang dapat dipanen setiap tahunnya dari suatu areal hutan selama periode perencanaan sesuai tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan.

Yang utama adalah bahwa prediksi pertumbuhan harus didasarkan pada informasi pertumbuhan dan hasil yang bersifat lokal, yang mencakup keseluruhan kondisi lokasi dan tegakan yang relevan terhadap areal hutan dimana proyeksi pertumbuhan diterapkan. Disamping itu pertimbangan intensitas penebangan (jumlah pohon yang dipanen per unit wilayah juga) penting untuk menjaga regenerasi alamiah dan biodiversitas hutan
Kriteria dan indikator pengaturan hasil hutan seperti pada tabel berikut :


NO KRITERIA INDIKATOR SPESIFIKASI/ SYARAT

1. Pengaturan Hasil ditujukan untuk tingkat kelestarian pemanenan hasil Metode perhitungan hasil Model pertumbuhan pohon didasarkan pada informasi pertumbuhan lokal dari data plot pertumbuhan permanen
Jatah Tebang Tahunan (AAC) AAC kurang dari pertumbuhan volume total dari stock pertumbuhan kayu komersial
2. Intensitas penebangan dibatasi agar tidak membahayakan kapasitas regenerasi alami dari keanekaragaman jenis dan hutan Keanekaragaman Jenis Tidak ada perubahan pertimbangan dalam komposisi jenis selama penebangan
Sebaran diameter Kondisi tegakan tinggal setelah penebangan memenuhi standard stock


D. Sistem Pemanenan Kayu;

Dari semua kegiatan kehutanan, pemanenan kayu adalah kegiatan yang mempunyai dampak yang paling merugikan terhadap ekosistem hutan. Implementasi kegiatan pemanenan di tingkat unit pengelolaan hutan maupun perencanaan operasional dan praktek-praktek pemanenan yang berdampak kecil di tingkat kompartemen sangat diperlukan dalam rangka penerapan kegiatan yang mampu meminimalisir kerusakan-kerusakan terhadap lingkungan.

Dua tahap perencanaan utama dalam pemanenan adalah :

1. Penandaan pohon yang akan ditebang sesuai dengan kaidah-kaidah silvikultur.
2. Rencana Sistem Pemanenan yang akan digunakan (sistem penyaradan ground dan skyline) untuk menentukan lay-out jalur sarad atau koridor kabel.


NO KRITERIA INDIKATOR SPESIFIKASI/ SYARAT UKURAN PENGENDALIAN

1. Tegakan kayu dapat kembali melakukan regenerasi alami Kelas ukuran yang ditebang Hanya pohon dengan dbh > 60 cm dan < 120 cm Penandaan Pohon
Kepadatan Pohon - Species yang dilindungi
- > 5 pohon, dbh > 60 cm sebagai sumberdaya tegakan jika regenerasi tidak mencukupi Penandaan Pohon


2. Pembatasan dampak operasi Penebangan Kerusakan akibat penebangan < 20% dari batang bernomor yang akan ditebang - Penebangan Langsung
- Tidak ada penebangan pada kelerangan >250
3. Pembatasan dampak operasi penyaradan Area pembukaan tanah yang terjadi < 15% luas area penebangan - Penyaradan traktor hanya pada kelerengan < 150
- Penyaradan kabel pada lereng yang lebih curam
Kerusakan akibat penyaradan < 15% dari batang bernomor yang akan ditebang - Tebangan dengan pola tulang ikan
- Pembagian batang ≤ 8 m

PENGELOLAAN HUTAN CENDERUNG TIDAK LESTARI DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TPTI

MUKTI AJI - PSAL - UNPAR
NOPEMBER 2008

Sistem silvikultur pengelolaan hutan di Indonesia pertama kali diatur pada tahun 1972 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/1972 tanggal 13 Maret 1972 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA), dan pedoman-pedoman pengawasannya.

Secara umum sistem TPI merupakan suatu sistem silvikultur yang meliputi cara penebangan dan permudaan hutan yang memiliki azas: kelestarian hutan, teknik silvikultur, pengusahaan hutan yang menguntungkan, dan pengawasan yang efektif dan efisien. Azas pengawasan yang efektif dan efisien dimaksudkan agar azas kelestarian hutan terjamin atau dengan kata lain diperlukan pemantauan (monitoring) secara periodik terhadap produktivitas dan kualitas produk, keanekaragaman hayati, tanah, dan air.

Setelah sistem TPI berjalan selama dua dekade menurut penilaian Departemen Kehutanan (2005) perusahaan HPH masih kurang memperhatikan pembinaan hutan dan terkesan bahwa sistem TPI hanya menekankan tebangan dan kurang perhatiannya terhadap pembinaan hutan. Sebagai usaha penyempurnaan sistem TPI khususnya dalam hal pembinaan hutan, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 485/Kpts/II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi Indonesia dan SK Dirjen Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan No. 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang Pedoman dan Petunjuk Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI).

Tujuan dari sistem TPTI adalah untuk mengatur pemanfatan hutan alam produksi, serta meningkatkan nilai hutan baik kualitas maupun kuantitas pada areal bekas tebangan untuk rotasi tebang. Prinsip dasar sistem TPTI adalah mengacu pada batas limit diameter dan jumlah pohon inti, pelaksanaaannya sesuai dengan aturan tata waktu dan adanya sanksi apabila terjadi penyimpangan.

Perbedaan yang mencolok antara sistem TPTI dibanding dengan sistem TPI adalah secara politis pemerintah menekankan perlunya pembinaan hutan, pemungutan dan pembinaan hutan harus seimbang. Pemegang HPH diwajibkan untuk melengkapi unit organisasi pembinaan hutan, yang terpisah dengan unit logging, tenaga teknis kehutanan menengah yang terampil dalam jumlah yang cukup dan anggaran yang memadai untuk kegiatan pembinaan hutan.

Dasar-dasar konsepsi TPTI meliputi cara penebangan dengan limit diameter dan permudaan hutan alam produksi serta meningkatkan nilai hutan, baik kualitas maupun kuantitas pada bekas areal tebangan berikutnya agar terbentuk tegakan campuran yang diharapkan dapat menghasilkan kayu untuk keperluan industri secara lestari. Tujuan tersebut dicapai dengan menerapkan tekni-teknik silvikultur pada permudaan alam dengan memperhatikan :

- Pengaturan komposisi jenis pohon penyusun tegakan campur di dalam hutan yang lebih menguntungkan dari segi ekologi dan ekonomi.
- Pengaturan struktur tegakan, kepadatan tegakan yang optimal yang diharapkan untuk meningkatkan potensi yang ada.
- Tetap terjaminnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pengawetan tanah.
- Tetap terjaganya fungsi perlindungan hutan.

Namun demikian dasar asumsi TPTI adalah sama dengan TPI, yaitu bahwa tegakan tinggal (residual stand) mempunyai cukup stok pohon jenis komersial yang berdiameter 20 cm ke atas yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh menjadi tegakan yang sehat yang dapat dipungut hasilnya secara ekonomis dalam kurun waktu 35 tahun yang akan datang. Asumsi dasar inilah yang sebenarnya perlu dipertimbangkan lagi, karena hampir pasti bahwa asumsi dasar ini tidak lagi valid.

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa menggantungkan tegakan tinggal dalam sistem TPTI akan sulit menghasilkan panenan yang memuaskan dalam waktu 35 tahun karena banyaknya kerusakan pada tegakan tinggal yang disebabkan oleh banyaknya kerusakan tegakan tinggal yang disebabkan oleh selain praktek penebangan hutan yang tidak memperhatikan tegakan dimaksud, dan kematian pohon yang disebabkan oleh perubahan lingkungan.

Sebab lain pengelolaan hutan cenderung tidak lestari dengan penerapan sistem TPTI adalah karena kewajiban para pengusaha hutan untuk melakukan pemeliharaan pada areal bekas tebangan sangat sedikit ditaati. Ini disebabkan secara finansial, para pengusaha hutan tidak melihat keuntungannya dengan melakukan penanaman kembali dan pemeliharaan tegakan tinggal. Dari sudut pandang secara finansial, investasi untuk melakukan penanaman kembali dan pemeliharaan tidak akan menghasilkan keuntungan pada pemegang IUPHHK dengan melihat kontrak yang hanya 20 tahun, dan tidak ada jaminan pasti untuk rotasi berikutnya, areal yang diusahakannya akan diperpanjang oleh Pemerintah.

Kesimpulannya adalah bahwa kinerja sistem TPTI yang diterapkan di Indonesia saat ini pada aspek pelestarian hasil hutan belum nampak memuaskan. Dua masalah pokok yang nampak jelas pada sistem ini yaitu :

1. Berkaitan dengan kondisi hutannya sendiri, yaitu disamping kualitas dan kuantitas minimum dari tegakan tinggal selalu tidak mencukupi, juga kecepatan tumbuhnya tidak seperti yang diharapkan.
2. Berhubungan dengan aspek kelembagaannya, bobot kerja untuk melakukan pengawasan cukup berat sehingga sulit untuk mengontrol kepatuhan para pemegang IUPHHK pada ketentuan TPTI itu sendiri, terutama persyaratan untuk melakukan tanaman pengayaan dan penyulaman pada areal IUPHHK. Akibat yang timbul adalah merosotnya kualitas tegakan hutan setelah siklus tebangan pertama.

KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

MUKTI AJI- PSAL - UNPAR
NOPEMBER 2008

Hutan dalam pengertian fisik adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Produk hukum pengelolaan hutan di Indonesia dimulai setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Maka dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pemerintah mulai menata pengaturan hukum pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat penuh.

Kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia diawlai pada tahun 1957 yang ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Menurut Nurjana (2005), segera setelah UU tersebut diundangkan, para pemilik modal banyak menanamkan modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga) daya tarik utama, yaitu:

a. Dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha di Indonesia dipandang sangat menguntungkan, lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang dibutuhkan masyarakat internasional.

b. Pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas serta jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi investasi modal asing di dalam negeri.

c. Sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan juga dikenal murah untuk mengembangkan bisnis maupun industri di Indonesia.

Untuk mendukung peningkatan penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di bidang pengusahaan sumber daya hutan, maka pemerintah membangun instrumen hukum teknis dengan pembentukan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 junto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).

Setelah Peraturan ini dikeluarkan, mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar- besaran dilakukan pemerintah, terutama di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya (Papua), melalui pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing maupun modal dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Tahun 1999 produk hukum Kehutanan kembali diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor : 41 tahun 1999 disertai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 dimana Undang-undang ini mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam penjelasan, dijelaskan bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, ternyata belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan, oleh karena itu dipandang perlu mengganti undang-undang tersebut sehingga dapat memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang.

Gugatan terhadap urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang dianggap terlalu sentralistis di zaman orde baru di jawab dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No.62.1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah, meskipun masih menimbulkan perbedaan penafsiran di lapangan.
Kebijakan selanjutnya yang keluar dalam periode implementasi UU 41/1999 adalah PP 6/1999 tanggal 27 Januari 1999. Ada beberapa poin penting dalam PP ini adalah :

1. Pemberian HPH dengan luas lebih dari 50.000 hektar dilakukan melalui pelelangan.
2. Ada pembatasan luas HPH yang dapat diberikan kepada suatu perusahaan.
3. Tanaman hasil HTI menjadi aset perusahaan yang mengusahakannya sepanjang ijinnya masih berlaku.
4. Masa konsesi HPH Alam diperpanjang menjadi 20 tahun ditambah daur tanaman pokok, sedangkan masa konsesi HPH tanaman diperpanjang menjadi 35 tahun ditambah daur tanaman pokok.
5. HPH bisa dipindahtangankan.
6. Koperasi dapat memperoleh HPH dan
7. Adanya kesatuan pengusahaan hutan produksi (KPHP).

Adanya beberapa poin yang kontroversial pada PP 6/1999 seperti HPH dapat digunakan sebagai jaminan, kemudian mendorong pemerintah mengeluarkan produk hukum baru yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. PP 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, dan PP 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan. Khususnya dalam PP 34/2002, beberapa poin baru yang menarik adalah :
1. Pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan kawasan,
2. Kesatuan pengusahaan hutan produksi diubah menjadi kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), disamping ada bentuk kesatuan pengelolaan hutan yang berfungsi lain seperti KPHL untuk Hutan Lindung dan KPHK untuk Hutan Konservasi,
3. Hak pengusahaan hutan diganti menjadi ijin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHH),
4. Pemberian wewenang pemberian ijin kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.

Kaitannya dengan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) terdapat kerancuan yang cukup mengganggu, yaitu meskipun namanya ijin usaha pemanfaatan namun pemegang ijin usaha masih dibebani dengan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya tergolong sebagai pekerjaan pengelolaan hutan. Pemegang ijin usaha diwajibkan membayar dana reboisasi yang menjadi pendapatan negara bukan pajak, tetapi pada saat yang sama pemegang ijin masih diwajibkan untuk melakukan rehabilitasi hutan.

Sejak tahun 2003, penyusunan rencana kerja didasarkan pada SK Menhut No.16/Kpts-II/2003 tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam. Secara umum dapat dikelompokkan ke dalam 4 tahap pelaksanaan yaitu :
1. Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja Usaha / RKU;
2. Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja Lima Tahun / RKL;
3. Penyusunan dan pengesahan Rencana Kerja Tahunan / RKT; dan
4. Penetapan kuota produksi dan proses pengesahan RKT.

Dalam perkembangannya kemudian, PP34/2002 direvisi menjadi PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Beberapa poin baru penting yang terkandung dalam peraturan pemerintah yang baru ini adalah :

1. Diperkenalkannya Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk memberi akses kepada masyarakat pada kawasan hutan;
2. Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) sebagai wilayah pengelolaan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari beserta penjabaran detilnya;
3. Dihilangkannya pemberian IUPHHK melalui lelang;
4. Pembentukan lembaga keuangan untuk mendukung pembangunan HTI dan HTR.

Berikut daftar beberapa kebijakan / produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan upaya pengelolaan hutan lestari :

NO. JENIS PERATURAN TENTANG
1. UU No.41 Tahun 1999 Kehutanan.
2. UU N0.19 Tahun 2004 Tata Cara Pemberian Ijin Dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industr dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
3. PP No. 44 Tahun 2004 Perencanaan Kehutanan.
4. PP No. 6 Tahun 2007 Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
PP No. 38 Tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
5. Permenhut Nomor : 9/Menhut-II/2007 Rencana Kerja, Rencana Kerja Tahunan, dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.
6. Permenhut Nomor : P.01/Menhut-II/2008 Rencana Strategis Kementrian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan.
7. Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2007 Rencana Kerja dan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi.
8. Permenhut Nomor : P.16/ Menhut-II/2007 Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Primer Hasil Hutan Kayu.
9. Permenhut Nomor : P.19/ Menhut-II/2007 Tata Cara Pemberian Ijin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
10. Permenhut Nomor : P.20/ Menhut-II/2007 Tata Cara Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui Permohonan.
11. Permenhut Nomor : P.23/ Menhut-II/2007 Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman.

NO. JENIS PERATURAN TENTANG
12. Permenhut Nomor : P.35/ Menhut-II/2007 Hasil Hutan Bukan Kayu.
13. Permenhut Nomor : P.40/ Menhut-II/2007 Perubahan Permenhut No : P.6/ Menhut-II/2007.
14. Permenhut Nomor : P.41/ Menhut-II/2007 Perubahan Permenhut No. 9/Menhut-II/2007.
15. Permenhut Nomor : P.6/ Menhut-II/2008 Penyelenggaraan Statistik Kehutanan.
16. Permenhut Nomor : P.12/ Menhut-II/2008 Perubahan Kedua Permenhut No : P.20/ Menhut-II/2007.

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI, Bisakah Lestari?

Mata Kuliah Pengelolaan Hutan Lestari
Mukti Aji - PSAL - UNPAR
Oktober -2008



I. PENDAHULUAN

Hutan merupakan suatu asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didominasi oleh pohon atau vegetasi berkayu, yang mempunyai luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mkro dan kondisi ekologi yang spesifik. Hutan pada hakekatnya adalah salah satu faktor ekologi di dalam sistem pendukung kehidupan makhluk hidup termasuk pendukung kehidupan manusia.

Dalam rangka memanfaatkan hutan secara optimal, pemerintah RI telah membagi kawasan hutan menjadi beberapa kategori atau status, yaitu dari 120 ha kawasan hutan di Indonesia, 58 juta ha atau 48% adalah kawasan hutan Produksi, 33,5 juta ha atau 28% merupakan kawasan Hutan Lindung, 20,5 juta ha / 17% : kawasan Hutan Konservasi, dan 8 juta ha / 7% : kawasan hutan yang dapat dikonversi (Paduserasi TGHK dan RTRWP, 1999). Tapi dalam kenyataannya pembagian tersebut sulit diimplementasikan dengan baik. Pelbagai pelanggaran dan perusakan hutan terjadi di mana-mana, sehingga pembagian tersebut hanya tertera dalam kertas.

Diskursus tentang hutan dan kehutanan di Indonesia seakan tak pernah lekang ditelan zaman. Dari masa ke masa hutan selalu menjadi salah satu obyek yang mengundang para pihak untuk menetapkan sistem dan mekanisme pengaturannya. Konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan sebagai sebuah sumber daya publik telah diatur sedemikian rupa sehingga potensi dan fungsinya dapat termanfaatkan secara adil dan merata bagi pemenuhan kepentingan para pihak.

Persoalannya, konsep yang seringkali bersifat normatif tidak selalu sesuai dengan dinamika realitas faktual. Pembangunan kehutanan yang secara konseptual ditujukan untuk mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik memang dapat dicapai, namun pencapaian tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Secara ekonomis, meskipun pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari peningkatan investasi dan penerimaan devisa mengalami peningkatan pesat, namun dalam proses redistribusinya ternyata justru hanya dinikmati sebagian kecil kalangan. Sementara mayoritas masyarakat yang berada pada posisi hirerarki menengah ke bawah tidak memperoleh manfaat sepadan.

Dinamika pembangunan ekonomi di masa lalu hingga sekarang telah meningkatkan akselerasi kerusakan hutan yang seringkali tidak hanya bersifat linear tetapi juga eksponensial. Akibatnya jelas, hutan terus mendapat tekanan kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial, konversi di berbagai tingkatan yang mempercepat laju degradasi dan deforestasi. Termasuk berbagai dampak sosial dan ekologinya.

Kelestarian sumber daya hutan merupakan ideologi universal yang wajib dianut oleh semua pihak dan menjadi pemahaman umum yang diterima oleh semua kalangan yang harus diwujudkan dalam setiap praktek pengelolaan hutan. Sumber daya hutan harus mampu memberikan manfaat yang minimal sama baik manfaat ekonomi, fungsi ekologi dan sosial kepada publik secara lintas generasi. Karenanya, setiap bentuk pengelolaan dan pemanfaatan atas sumber daya hutan harus senantiasa bertumpu pada prinsip kelestarian fungsinya.

II. HUTAN PRODUKSI

Klasifikasi fungsi hutan disusun untuk kepentingan pengelolaan hutan. Dasar penggolongan hutan untuk penyusunan klasifikasi hutan secara umum berdasarkan pada: komposisi jenis, komposisi umur, kerapatan tegakan dan tipe hutan. Klasifikasi hutan yang ada biasanya untuk menentukan teknik-teknik silvikultur. Meskipun dalam Undang-undang no.41 tahun 1999 tentang Kehutanan hanya dikenal 1 kategori Hutan Produksi, namun pada tahun 2003 Badan Planologi Kehutanan mengklasifikasikan Hutan Produksi menjadi 3 kategori yaitu : Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Konversi.

Eksploitasi hutan produksi secara besar-besaran yang telah berlangsung sejak tahap awal pembangunan jangka panjang pertama (1969) telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional melalui produk utamanya kayu dan hasil hutan ikutan (non-kayu) seperti rotan, damar, tengkawang, cendana dan gaharu. Tanpa mengabaikan dampak positif tersebut, eksploitasi hutan alam produksi juga disadari telah memberikan dampak negatif bagi sumberdaya hutan sendiri. Berbagai jenis kayu komersial, bahkan di antaranya termasuk kayu mewah, kini telah menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis komersial yang harganya tinggi, tetapi sudah sulit ditemukan di alam dan di pasaran. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.

Kekhasan sumberdaya hutan dengan pohonnya sebagai pabrik biomassa dari aspek ekonomi dan komersial mempunyai daya tarik tinggi, namun justru kelebihan ini membawa resiko besar bila salah dalam pengelolaan. Kegiatan pemanenan kayu dengan cara pembalakan terhadap pohon pada dasarnya adalah penghilangan pabrik biomassa. Sebagai sumber daya, hutan meskipun renewable mempunyai sifat yang terbatas, baik dari daya dukung maupun kapasitas. Karena itu untuk pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal dan lestari harus memperhatikan prinsip pemanenan dengan mengambil sebesar riap (kemampuan tumbuh). Berdasarkan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 28 disebutkan bahwa pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu hanya dapat dilaksanakan di kawasan hutan produksi.

Kriteria dan indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kelestarian hutan produksi yang pertama dan utama yaitu kelestarian produksi kayu, disamping tentu aspek utama lainnya seperti kelestarian ekologis dan kelestarian sosial-ekonomi serta budaya. Mengapa kelestarian produksi begitu penting? Pertama, karena menyangkut kelangsungan ekonomi usaha pengelolaan hutan. Kedua, pada pilar kelestarian ini jaminan kepastian sumberdaya hutan, keberlanjutan ekosistem hutan dan kelangsungan produksi dipertaruhkan. Ketiga, pada pilar kelestarian tersebut bekerja sistem penjaminan kelestarian hutan (sistem silvikultur permudaan hutan dan etat tebangan).

III. PARAPIHAK (STAKE HOLDERS) PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI

FAO pada tahun 1996 dalam basic principles and operational guide lines – national forest prgrammes telah memberi orientasi kebijakan pengaturan melalui redefinisi sektor kehutanan bahwa intinya menyangkut aktifitas manusia atau insan profesional, pengguna, penghuni hutan, orang yang tinggal dan hidup disekitar hutan. Bahwa diperlukan suatu pengaturan akses dan aset sumber daya hutan yang tepat agar pohon, hutan dan kehutanan tetap berada dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan dapat diintegrasikan dengan pertumbuhan ekonomi lokal.

Untuk dapat mewujudkan suatu kesepahaman tentang Pengelolaan Hutan Indonesia terlebih dahulu tentu harus jelas pengertian dari Kesepahaman itu sendiri. Kesepahaman tentang Pengelolaan Hutan Indonesia dapat dipahami sebagai suatu komitmen bersama dari para stakeholders kehutanan mengenai kehutanan di Indonesia. Komitmen bersama ini akan dijadikan sebagai landasan berpikir dan bergerak bagi seluruh pihak dalam pengelolaan kehutanan dan akan berfungsi sebagai pedoman, panduan dan landasan bagi berbagai pihak terkait dalam pengelolaan hutan.

Menurut Higman dkk (2006), stakeholders atau para pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah perusahaan pengusahaan hutan, perusahaan industri pengolahan kayu, struktur Departemen Kehutanan dari pusat sampai kabupaten, pemerintah eksekutif dan legislatif daerah, masyarakat lokal dan penduduk asli, Akademisi, organisasi lingkungan dan sosial. Keragaman stakeholder yang seperti ini sebenarnya juga melahirkan keragaman perspektif jangka waktu juga sekaligus mencerminkan keragaman persepsi terhadap pengelolaan sumberdaya hutan itu sendiri.

Pembuatan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya hutan seringkali menjadi tidak mudah, karena di dalamnya terdapat berbagai pihak yang semuanya ingin dipenuhi kebutuhannya dengan sumberdaya yang terbatas. Sementara itu kebutuhan sumberdaya setiap stakeholder dalam pembangunan seringkali sangat berbeda dan bahkan saling bertentangan satu dengan yang lain yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik antar stakeholders dalam memperebutkan sumberdaya hutan maupun mempersoalkan lingkungan.

Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa persoalan konflik pengelolaan sumberdaya hutan itu terutama berakar pada dua hal, yaitu: (1) kebijakan eksploitasi sumber daya hutan yang dikembangkan di atas sistem yang mengutamakan konsep milik negara (state property) dan mengabaikan konsep milik pribadi (private property) dan milik komunal (communal property), dan (2) penempatan sumberdaya hutan sebagai aset ekonomi atau faktor produksi secara berlebihan. Akar persoalan itu lebih pada tataran struktural, terutama dalam konteks kelembagaan, karena itu resolusi konflik lingkungan dan sumber daya alam harus dibangun dari konteks struktural pula. Pada tataran struktural, resolusi konflik bisa berbentuk rekonsiliasi dan rehabilitasi dalam memulihkan hubungan koeksistensi damai melalui pembenahan institusi sosial dan membangun kembali infrastruktur sosial yang rusak.

Secara garis besar konflik pengelolaan sumber daya hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal (Fisher,dkk, 2000). Konflik vertikal adalah konflik yang melibatkan masyarakat di sekitar hutan dengan pihak-pihak lain yang dianggap memepunyai otoritas dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pihak-pihak di luar masyarakat tersebut antara lain: Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, BUMN, pengusaha kayu, dan aparat keamanan. Sedangkan konflik horisontal adalah konflik yang terjadi antar kelompok dalam masyarakat sendiri. Konflik ini melibatkan faksi-faksi atau keluarga-keluarga dalam masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda.

Yang termasuk ke dalam golongan konflik vertikal dalam pengelolaan hutan antara lain: (a) konflik tumpang tindih kebijakan; (b) konflik perebutan kewenangan pengelolaan hutan; (c) konflik perebutan hak pemanfaatan hasil hutan; (d) konflik pemanfaatan lahan hutan; (e) konflik karena tidak meratanya distribusi pendapatan dari hasil hutan; dan (f) konflik karena dampak yang ditimbulkan akibat eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Sedangkan yang termasuk golongan konflik horisontal dalam pengelolaan hutan antara lain : (a) konflik dalam pembagian lahan keluarga/desa; (b) konflik dalam pembagian hasil hutan; (c) konflik karena tidak meratanya kesempatan kerja di hutan; dan (d) konflik pemanfaatan sumberdaya hutan seperti kayu bakar, pakan ternak dan hasil hutan non kayu.

Penyelesaian berbagai konflik seperti tersebut di atas bermacam-macam. Biasanya untuk kasus konflik horisontal diselesaikan lewat musyawarah antar warga masyarakat, sedangkan konflik vertikal diselesaikan lewat jalur hukum dan politik. Bahkan, kerap kali dijumpai penggunaan tindakan represif dan kekerasan untuk menyelesaikan konflik vertikal. Hasilnya dapat ditebak bahwa masyarakat sebagai pihak yang lemah banyak menjadi korban akibat tindakan represif ini.

Oleh sebab itu perlu diterapkannya pola kolaborasi pengelolaan karena ada peluang besar untuk menyelesaiakan berbagai konflik tersebut melalui jalur musyawarah antar pihak. Bahwa dipandang penting untuk membuat forum multipihak sebagai wadah para stakeholders untuk berkomunikasi, berkoordinasi dan bermusyawarah menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi bersama.

Penerapan pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan hutan ini diharapkan akan memberikan beberapa dampak positif berikut ini, yaitu:

1. Program pembangunan hutan lebih aplikatif sesuai dengan kondisi fiisik hutan, konteks sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat, sehingga memenuhi fungsi kelestarian hutan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

2. Menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab diantara semua pihak terkait dalam merencanakan dan melaksanakan program, sehingga pelaksanaan program pembangunan hutan bisa berjalan efektif dan berkesinambungan.

3. Adanya peran bagi semua stakeholders untuk terlibat dalam proses pembangunan hutan, khususnya dalam hal pengambilan dan pertanggungan jawab keputusan sehingga semua stakeholders kehutanan terberdayakan.

4. Pelaksanaan program kehutanan menjadi lebih obyektif dan fleksibel berdasarkan keadaan setempat.

5. Adanya transparansi dan keterbukaan akibat penyebaran informasi dan wewenang yang jelas.

6. Pelaksanaan program lebih terfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan.

Keenam dampak positif diterapkannya pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan hutan tersebut hanya akan terjadi jika pada pelaksanaannya para stakeholders senantiasa menjunjung tinggi dan mengamalkan prinsip-prinsip kolaborasi. Prinsip-prinsip kolaborasi yang perlu diamalkan dalam pembangunan hutan adalah sebagai berikut :

1. Keterlibatan stakeholders. Adanya keterlibatan semua pihak, baik individu maupun kelompok masyarakat yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan.

2. Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya semua pihak mempunyai ketrampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses pembangunan hutan guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.

3. Transparansi (Transparency). Semua pihak harus dapat menumbuh-kembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog yang produktif.

4. Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power / Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi dalam pengelolaan hutan.

5. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses pembangunan hutan karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.

6. Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak dalam pembangunan hutan tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain .

7. Kerjasama (Cooperation). Diperlukan adanya kerjasama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia dan sumber daya modal.

Hambatan-hambatan yang kerap ditemui pada pengelolaan hutan kolaboratif antara lain:

1. Hambatan perilaku. Secara psikologis, aparatur pemerintah seringkali merasa bahwa aparat lebih terhormat dan tinggi statusnya dibandingkan dengan masyarakat desa sekitar hutan. Demikian juga secara psikologis masyarakat merasa bahwa mereka lebih rendah dan kurang pengetahuannya dibandingkan dengan aparat pemerintah.

2. Hambatan kebijakan. Aparatur pemerintahan sudah terbiasa bekerja dengan memakai pedoman aturan yang baku yang bersifat instruktif dan top down. Cara-cara lama dalam pengambilan kebijakan tersebut tercermin dalam bentuk Surat Keputusan, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis yang terlalu rigid sehingga memandulkan kreatifitas pelaksana di lapangan.

3. Hambatan sistem manajemen. Diakui ataupun tidak, sampai saat ini sistem manajemen pengelolaan hutan masih mengikuti model perencanaan konvensional yang bersifat top-down dan sentralistik dan menegasikan konteks dan local specific. Biasanya pimpinan perusahaan di tingkat pusat menyiapkan "cetak biru" untuk dilaksanakan oleh petugas lapangan. Ditambah lagi, masih banyak keputusan, panduan pelaksanaan dan petunjuk teknis yang mempersempit ruang gerak staf operasional di lapangan untuk bisa fleksibel dan berpartisipasi.

4. Hambatan sumber daya manusia. Konsep pembangunan yang berfokus pada masyarakat merupakan konsep baru bagi aparat pemerintah, sehingga butuh waktu untuk sekadar memperkenalkan agar konsep ini bisa dipahami dan diterima ditengah-tengah mereka. Oleh karena itu diperlukan pelatihan untuk membekali mereka dengan pemahaman dan keahlian baru yang akan berguna dalam pelaksanaan program pembangunan.

Untuk menanggulangi hambatan-hambatan tersebut maka diperlukan tindakan bersama oleh semua stakeholder :

1. Masyarakat. Anggota masyarakat perlu diberdayakan dengan memegang tanggung jawab lebih besar dalam pengelolaan hutan ketimbang hanya menunggu apa yang disediakan pemerintah dan pemegang ijin hak. Masyarakat bukan lagi berperan sebagai obyek pembangunan kehutanan melainkan menjadi subyek. Oleh karena itu hendaknya masyarakat proaktif terlibat dalam merencanakan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi program-program kehutanan. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan bisa berupa: (a) pembutan kesepakatan bersama dengan Pemegang Ijin hak (IUPHHK/HTI/ISL) tentang hak dan kewajiban dalam pengelolaan hutan; (b) pembuatan rencana mikro pengelolaan hutan; (c) pelaksanaan kegiatan teknis kehutanan mulai dari persemaian, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, pengamanan, dan pemanenan; (d) monitoring tegakan dan penanganan pasca panen.

2. Pemegang Ijin Hak (IUPHHK,HTI,ISL). Pemegang ijin hak harus berperan sebagai fasilitator, menciptakan suasana positif agar semua pihak terkait bisa memberikan konstribusi dalam pengembangan dan pelaksanaan program. Mereka semestinya bertindak sebagai 'pemungkin' (enabler) yang mendorong masyarakat untuk mencari dan menemukan solusi terhadap masalah-masalah yang muncul, dan bukannya menyediakan jawaban atas semua masalah yang ada. Mereka selayaknya mempertimbangkan perspesktif sosial dan hal-hal teknis serta menghindari dominasi atas berjalannya proses partisipasi dalam pembangunan hutan.

3. Pemerintah Daerah. Lembaga pemerintah di tingkat kabupaten perlu membuat mekanisme penyusunan manajemen, monitoring serta evaluasi untuk mempromosikan penerapan pendekatan partisipatif di tingkat lapangan dan lembaga-lembaga terkait. Staf pemerintah memerlukan keahlian baru guna penerapan pendekatan ini, sehingga mesti ada mekanisme penyebaran informasi dan menjalin hubungan koordinasi dengan pemegang ijin hak, masyarakat, serta instansi lain terkait. Lebih jauh, pemerintah daerah hendaknya juga menyediakan anggaran dana khusus untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan.

4. Pihak lain terkait. Pihak lain yang dimaksud misalnya LSM, lembaga donor, perguruan tinggi, kalangan pers, dan lain-lain. Pihak-pihak tersebut harus senantiasa mendorong terwujudnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Peran mereka bisa sebagai fasilitator, penyedia jasa pelatihan, penyebaran informasi dan mediator bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

IV. SYARAT PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI

Berkaca pada persoalan kehutanan Indonesia yang kini tengah dikepung berbagai persoalan berat dan kompleks. Sepertinya kata kelestarian hanyalah sebuah slogan yang tak lebih dari sekedar mitos. Semakin dicari, aktualisasinya di lapangan justru yang kian ditemukan secara nyata adalah situasi kebalikannya. Konsep kelestarian yang merupakan tujuan akhir dari setiap bentuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan seolah hanya merupakan konsep utopis.

ITTO pada tahun 1991 meluncurkan definisi Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management / SFM) sebagai suatu proses pengelolaan lahan hutan yang dilakukan sedemikan rupa sehingga secara terus menerus dapat memberikan produksi dan jasa yang diharapkan sesuai dengan tujuan pengelolaan yang ditetapkan lebih dahulu secara spesifik dan jelas serta tidak berlebihan yang dapat mengurangi nilai dan produktivitas serta menimbulkan efek lingkungan dan sosial yang tidak diinginkan. Tiga komponen kelestarian SFM menurut ITTO adalah :

a. Kelestarian fungsi produksi yaitu : jaminan kepastian sumber daya kawasan dan kelangsungan ekosistem hutan.

b. Kelestarian fungsi ekologis dengan dipertahankannya sistem penunjang kehidupan dan terpeliharanya keanekaragaman hayati.

c. Kelestarian fungsi sosial-ekonomi dan budaya dengan dipertahankannya aspek sosial ekonomi budaya masyarakat lokal.

Menurut Higman dkk (2006), komponen utama dalam pengelolaan hutan lestari (PHL) adalah:

1. Kerangka Hukum dan Kebijakan (A legal and policy framework).

2. Keberlanjutan dan Optimalnya produksi hasil hutan (Sustained and optimalproduction of forest products).

3. Perlindungan Lingkungan (Protecting the environment).

4. Kesejahteraan Masyarakat (Wellbeing of people).

5. Teknik Silvikultur (Some extra considerations apply specifically to plantations).

Pembangunan Kehutanan berazaskan kelestarian atau pengelolaan hutan produksi lestari dan berkelanjutan berdasarkan pengalaman negara lain, disimpulkan Simon (1993) mengandung tiga syarat penting yang harus dipenuhi yaitu :

a. Adanya batas kawasan hutan yang tetap dan diakui semua pihak.

b. Adanya sistem silvikultur yang menjamin terlaksananya permudaan hutan yang mesti berhasil.

c. Penentuan etat tebangan yang menjamin terwujudnya kelestarian hasil kayu.

Namun sistem pengelolaan hutan berkelanjutan bukan hanya bagaimana memenuhi 3 komponen penting SFM, 5 komponen utama PHL dan 3 syarat penting seperti tersebut di atas, akan tetapi juga pada bagaimana melakukan integrasi, koordinasi, kemitraan dan intensifikasi peran antar multi pihak dalam mewujudkan SFM. Langkah kuncinya adalah :

1. Integrasi kebijakan antar departemen.

2. Integrasi 3 komponen penting SFM, 5 komponen utama PHL dan 3 syarat penting.

3. Koordinasi berdasarkan sistem pengelolaan hutan yang terstruktur dan dapat diakses dan dimonitor oleh para pihak pemangku kepentingan.

4. Melakukan dialog dan kemitraan antar pihak pemangku kepentingan untuk intensifikasi sistem silvikultur setempat/lokal.

V. PENUTUP

Upaya mengoptimalkan peranan dan sumbangan sektor kehutanan pada pembangunan berarti evaluasi dari kebjakan yang ada sekarang dan menyempurnakan aspek-aspek yang tidak mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Kejayaan hutan yang selalu didengungkan sebagai sumber daya alam yang berlimpah dan tak terkirakan nilainya tampaknya hanya akan tinggal kenangan apabila tidak ada upaya nyata dan sungguh-sungguh serta menyeluruh dari semua pihak yang berkepentingan untuk melestarikannya dengan baik.

Banyak pihak telah berbicara mengenai konsep kelestarian hutan, tapi realitasnya sampai sekarang hutan masih menjadi masalah bangsa. Kalau mau mengakui sesungguhnya masih banyak masalah yang belum bisa ditangani. Ironisnya justru masalah yang mendasar hingga kini belum tuntas, misalnya soal batas kawasan hutan yang benar-benar diakui dan permanen serta sistem silvikultur yang menjamin keberhasilan tanaman.

Meminjam pengertian praksis dari Jurgen Habermas filsuf Jerman, maka praksis kehutanan dapat digolongkan tindakan dasar manusia dalam kerja dan komunikasi kehutanan. Habermas membedakan kerja adalah tindakan dasar manusia terhadap alam dan komunikasi adalah tindakan dasar manusia terhadap sesamanya. Berdasarkan cara pandang ini maka pengelolaan hutan khususnya hutan produksi lestari secara teoritik dapat dilakukan sepanjang kita memegang teguh komitmen pada tujuan akhir pengelolaan hutan yaitu kelestarian dan mewujudkan praksis kehutanan secara konsisten dengan kerja (perlu profesionalisme dalam pengelolaan) dan komunikasi (perlu kultur dialektika para pihak) yang berkesinambungan. Kerja-kerja multipihak amat diperlukan untuk membangun masa depan hutan dan kehutanan di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Awang, San Afri, 2003, Politik Kehutanan Masyarakat, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

FAO. 1996. Forest Resources Assessment 1990: Survey of Tropical Forest Cover and Study of Change Processes. FAO.

Fay, C., and G. Michon. 2005. Redressing forestry hegemony: When a forestry regulatory framework is best replaced by an agrarian one. Forest, Trees and Livelihoods. Vol. 15.

Fisher, Simon, Jawed Ludin, Steve Williams, Dekha Ibrahim Abdi, Richard Smith dan Sue Williams, 2000, Mengelola Konflik, Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council, Indonesia, Jakarta.

Higman S.,dkk 2006. The Sustainable Forestry Handbook, Second edition, Earthscan, London.

Iskandar U, 1999, Dialog Kehutanan dalam Wacana Global, cet. 1, Bigraf Publishing : Yogyakarta.

Miall, Hugh, Oliver Ramsbothan, dan Tom Woodhouse, 2002, Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nugroho A, Yudo E., 2007, Hutan, Industri dan Kelestarian, Wana Aksara, Jakarta.

Sardjono, Mustofa Agung, 2004, Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik, dan Kelestarian Sumberdaya, Debut Press, Yogyakarta.

Simon, Hasanu, 1993, Hutan Jati dan Kemakmuran; Problematika dan Strategi Pemecahannnya, Aditya Media, Yogyakarta.

Tajjudin, D, 2000, Manajemen Kolaborasi, Pustaka LATIN. Bogor.

Wiyono T Putro, 2008, Pentingnya Partisipasi dan Penguatan Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Jawa, Makalah Kursus Pengelolaan Hutan, DERAS Training Centre, Yogyakarta.