Rabu, 18 Juni 2008

FORMULASI PERHITUNGAN NILAI KERUGIAN AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

PSAL-UNPAR
Juni 2008

I. PENDAHULUAN

Perubahan kwalitas lingkungan hidup dapat terjadi baik secara alamiah maupun karena campur tangan manusia. Perubahan kwalitas lingkungan hidup dapat pulih atau tidak sangat tergantung pada upaya pengendalian yang sedang dan akan dilakukan. Tidak jarang kualitas lingkungan hidup buruk atau menurun dapat mengakibatkan berbagai peristiwa bencana.

Penyebab utama kebakaran hutan dan lahan lebih banyak di sebabkan oleh kegiatan pembukaan lahan secara besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan dan kehutanan secara ilegal. Kebakaran hutan tersebut juga diakibatkan oleh adanya faktor penunjang lain, yaitu perilaku masyarakat yang berubah dan akibat kebijaksanaan pemerintah. Selama masalah konversi lahan tidak terselesaikan dengan baik, maka selama itu pula pembakaran hutan dan lahan akan tetap berlangsung, akibatnya asap akan tetap timbul sebagai hasilnya. Pembukaan lahan dalam rangka penyiapan lahan perkebunan juga banyak dilakukan masyarakat dengan jalan pembakaran, karena disamping biaya yang lebih murah juga waktu yang lebih singkat.

Secara umum data tahun dan luas kebakaran tersaji pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Data tahun dan luasan hutan yang terbakar

NO

TAHUN

LUAS (Ha)

1.

1877

Tercatat pertama kali

2.

1915

80.000

3.

1982/1983

3.600.000

4.

1987

66.000

5.

1991

500.000

6.

1994

5.110.000

7.

1997/1998

10.000.000 – 11.000.000

Sumber data : Bambang Hero Saharjo, IPB, 2006

Kalimantan Tengah yang memiliki luas wilayah lebih dari 15,3 Juta hektar mempunyai masalah serius yaitu kerusakan hutan dan lahan yang telah mencapai lebih dari 4 juta hektar dan lahan kritis yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan seluas kurang lebih 1,7 juta hektar. Berdasarkan hasil analisis data Titik Panas (Hot-Spot) selama 6 Tahun terakhir, daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah meliputi :

1.

1

Lahan terlantar di kiri-kanan jalan Trans Kalimantan poros Selatan (Jalur Palangka Raya – Tumbang Nusa – Pulang Pisau) termasuk areal eks PLG 1 Juta Hektar di wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas. Penutupan lahan berupa semak belukar dengan kondisi edafis tanah bergambut tebal.

2. Lahan perkebunan besar (sawit) di wilayah Kabupaten Sukamara, Lamandau, Seruyan, Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Katingan, Gunung Mas dan Barito Utara.

3. Lahan Pertanian dan Perkebunan masyarakat (perladangan berpindah, sawah dan kebun rakyat) tersebar secara sporadis di 14 kabupaten/kota se Kalimantan Tengah.


Salah satu hal yang sangat mengkhawatirkan akhir-akhir ini adalah bahwa dampak negatif kebakaran hutan sudah sangat merugikan baik secara lokal, regional maupun internasional. Secara lokal, bentuk kerugian yang terlihat adalah rusaknya sumberdaya hutan dan lahan, serta terganggunya kesehatan masyarakat karena pengaruh asap dan debu, sehingga kehilangan jiwa. Pada tingkat regional dan nasional, gangguan asap ini secara nyata selain mengganggu kesehatan dan kelancaran transportasi, juga berdampak pada perekonomian. Kerugian ini meliputi beberapa sektor, diantaranya : sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor kesehatan, sektor transportasi.

Akibat kerugian dan dampak negatif yang ditimbulkannya berupa gangguan asap, rusak serta terganggunya biodiversity telah sampai kebeberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darusalam, Thailand, Filipina, dan Papua Nugini, seperti yang terjadi pada beberapa waktu terakhir ini, maka kini masalah tersebut telah mendapat perhatian yang serius dari dunia internasional, bahkan sampai ada ancaman boikot bagi produk perusahan perkebunan (sawit) dan kehutanan (pulp dan kertas) yang dituding sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan maupun asapnya.


II. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan


Masalah Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia semakin meningkat dalam dasawarsa terakhir ini dan menimbulkan masalah lingkungan hidup, sosial dan ekonomi, baik di Indonesia maupun di negara tetangga. Tahun 1997/1998, sekitar 9.7 juta hektar lahan dan hutan musnah terbakar, dan mempengaruhi kehidupan 75 juta orang oleh dampak dari asap dan kebakaran itu sendiri.

Kerugian akibat kebakaran maupun pembakaran hutan dan lahan sangat besar sekali baik terhadap kehidupan manusia maupun terhadap kehidupan mahluk hidup lainnya. Yang paling merugikan adalah timbulnya korban akibat keganasan api baik langsung maupun tidak langsung, serta hilangnya plasma nutfah dan lenyapnya spesies tanaman dan binatang yang tidak mungkin kembali lagi. Untuk itu akibat kebakaran hutan dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu kerugian ekologis, ekonomis dan sosial (Saharjo, 2003).

Dampak Ekologis

Hutan hujan tropis memiliki kekhasan, seperti kaya kenekaragaman hayati, biasanya tanahnya tua, tidak subur karena top soil (tanah bagian paling atas subur) tipis sekali, stratifikasi vegetasi terdiri dari beberapa lapisan mulai dari pohon besar, semak, epifit dan sulur-suluran. Hutan hujan tropis yang utuh mempunyai fungsi antara lain menjaga kesuburan tanah, mengatur tata air dan menjadi tempat tinggal fauna. Jika hutan terbakar maka beberapa fungsi hutan akan hilang sebagian atau hilang sama sekali sejalan dengan hilangnya pepohonan di dalam hutan. Kebakaran hutan mengganggu lima proses ekologi hutan yaitu suksesi alami, produksi bahan organik dan proses dekomposisi, siklus unsur hara, siklus hidrologi dan pembentukan tanah. Kebakaran hutan juga menimbulkan kerusakan fungsi hutan sebagai pengatur iklim dan perosot karbon.

Pada ekosistem darat, kebakaran hutan akan memusnahkan flora dan fauna serta biodiversitas. Alikodra (2003) menduga bahwa api yang cukup panas dapat mematikan 100% tumbuhan hijau, 75% tumbuhan bawah, dan 80% organisme penutup tanah baik hewan maupun tumbuhan. Pada daerah bekas kebakaran yang terdapat di provinsi Kalimantan Timur menunjukkan angka kematian pada tingkat vegetasi pohon adalah 33 – 84%, sedangkan pada tingkat vegetasi tiang sebesar 61%.

Pada ekosistem air (rawa dan gambut), Diperkirakan terdapat 17-27 juta hektar rawa air tawar dan rawa gambut di Indonsesia. Rawa tersebut tersebar di Sumatra 40%, Kalimantan 38%, Papua Barat 21%. Pada kebakaran tahun 1997/98, jumlah lahan basah (rawa dan gambut) yang terbakar mencapai 1.5 juta hektar, menyumbang 60% asap dan 76% CO2 emisi.

Pada ekosistem udara, kebakaran hutan akan berdampak buruk pada lingkungan atmosfer. Biomassa senyawa organik yang terkandung dan tersimpan dalam hutan (sebelum hutan terbakar), pada saat hutan terbakar, senyawa organik tersebut akan terlepas ke luar menjadi gas rumah kaca dan polutan yang mengapung dan melayang di udara. Emisi gas rumah kaca berasal dari gas CO2 dan H2O, NOx, dan CH4 yang masing-masing memiliki life time berbeda. Gas-gas tersebut akan mengapung-apung di atmosfer sebagai gas rumah kaca yang berdampak pada pemanasan bumi, perubahan iklim, pencairan salju, dan kenaikan tinggi muka air laut.

  1. Dampak Kerugian Ekonomis

Secara langsung maupun tidak, kebakaran hutan dan lahan yang puncaknya pada tahun 1997 mempengaruhi sektor ekonomi nasional. Dampak langsung berupa kerugian ekonomi seperti hilangnya hasil hutan (kayu dan non kayu), kerugian yang ditanggung oleh sektor perkebunan, hilangnya keanekaragaman hayati dan lain-lain. Sedangkan dampak tidak langsung adalah dampak yang diakibatkan oleh asap, seperti dampak pada kesehatan, kehilangan hari kerja, kehilangan fungsi ekologi, kerugian yang ditanggung oleh sektor pariwisata dan perhubungan. Dampak ekonomi yang bisa dihitung adalah kerugian langsung yang diderita oleh sektor perkebunan, kehutanan, kesehatan, transportasi, pariwisata dan biaya langsung yang di keluarkan untuk penanggulangan dan pemadaman. Karena kerugian ekologi tidak seluruhnya bisa di hitung menjadi nilai rupiah maka kerugian ekologi yang dimungkinkan untuk dihitung saja yang masuk.

c. Dampak Sosial

Tidak banyak proyek analisis kebakaran hutan yang di lakukan di Indonesia menyinggung maupun mengungkapkan dampak kebakaran pada masyarkat lokal dan mata pencaharian mereka. Berbagai studi lebih difokuskan pada kerugian tingkat makro seperti kerugian sektor transportasi, pariwisata dan industri kehutanan. Semua sektor itu dinilai lebih banyak pengaruhnya pada politik dan ekonomi di bandingkan petani miskin. Tujuan tinjauan dampak sosial ialah menganalisis dampak kebakaran hutan dan lahan pada kesejahteraan di pedesaan. Mata pencaharian masyarakat lokal dan ketentraman diangap sebagai kesatuan dan konsep mengenai kesejahteraan. Kemampuan masyarakat memberi makan diri sendiri, melakukan pertanian subsistem atau pembelian pangan dari uang hasil perkebunan tanaman keras adalah kunci bagi masyarakat untuk bertahan hidup.


III. KONSEP SISTEM NILAI


Nilai adalah merupakan persepsi manusia, tentang makna sesuatu objek (sumberdaya hutan) tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Persepsi ini sendiri merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang (individu) tentang atau terhadap sesuatu benda, dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan disini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut (Turner et al, 1994)). Oleh karena itu nilai sumber daya hutan yang dinyatakan oleh suatu masyarakat di tempat tertentu akan beragam, tergantung kepada persepsi setiap anggota masyarakat tersebut, demikian juga keragaman nilai akan terjadi antar masyarakat yang berbeda (Suparmoko dan Ratnaningsih, 2000). Keragaman nilai ini mencakup besar nilai maupun macam nilai yang ada. Nilai yang dimiliki oleh sumberdaya hutan tidak saja nilai ekonomi, tetapi juga nilai ekologis dan nilai sosial.

Perlu dikemukakan di sini bahwa pengertian nilai ekonomi adalah nilai barang dan jasa yang dapat diperjualbelikan, sehingga memberikan pendapatan. Dari konsep ekonomi bahwa kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui jual beli (transaksi) saja, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan manfaat akan memberikan kesejahteraan bagi individu atau masyarakat tersebut (Pearce and Jeremy, 1993). Bahwa barang dan jasa yang dapat diperjualbelikan menyangkut sifat barang dan jasa tersebut, yaitu memiliki kegunaan, bersifat langka dan kepemilikan yang jelas


IV. FAKTOR PENENTU NILAI EKONOMI KERUSAKAN HUTAN DAN LAHAN AKIBAT KEBAKARAN


Faktor-faktor yang menentukan dalam perhitungan beban biaya pemulihan kerusakan hutan dan lahan akibat kebakaran hutan dan lahan menurut Saharjo (2003) adalah sebagai berikut :

1. Tingkat atau besar perubahan kondisi biologi fisik dan kimia pada unsur-unsur lingkungan yang terjadi, hal ini meliputi :

a. Kualitas tanah

b. Kualitas udara (gas dan partikel)

c. Kualitas air

d. Kualitas habitat (flora dan fauna)

2. Tingkat atau besar perubahan sumberdaya dan fungsi lingkungan hidup. Perubahan sumberdaya dan fungsi lingkungan karena adanya perubahan kondisi biofisik dan kimia mengakibatkan terjadinya hal-hal sebagai berikut :

a. Penurunan produktivitas lahan

b. Penurunan fungsi hidrologis : daya serap/tampung air berakibat banjir, penurunan fungsi pengendalian erosi (terjadi sedimentasi).

c. Penurunan kualitas udara dan gangguan asap

d. Penurunan populasi satwa liar di daratan

e. Penurunan kualitas air dan populasi ikan

3. Macam dampak ekonomi Dengan adanya perubahan kondisi biofisik yang berdampak pada terjadinya perubahan sumberdaya hutan dan fungsi ekologis maka akan mengakibatkan timbulnya dampak ekonomi secara langsung atau tidak langsung yang dirasakan atau ditanggung oleh masyarakat sehingga mempengaruhi perikehidupan atau kesejahteraan masyarakat sebagai berikut :

a. Terjadinya kerugian akibat menurunnya produksi

b. Terjadinya kerugian (opportunity cost) akibat penurunan umur pakai lahan

c. Terjadinya kerugian kerusakan aset ekonomi / pembangunan / pertanian akibat genangan/banjir.

d. Terjadinya kerugian akibat gangguan kesehatan dan penurunan layanan transportasi khususnya transportasi udara

e. Terjadinya kerugian karena berkurang atau hilangnya hasil buruan satwa berharga/konsumsi masyarakat

f. Terjadinya kerugian akibat menurunnya produksi perikanan.


V. Faktor Penentu Biaya Pemulihan Kerusakan Hutan dan Lahan Akibat Kebakaran


Ketersediaan data yang memadai merupakan suatu prasyarat utama dalam perhitungan eksternalitas dan biaya pemulihan kerusakan hutan dan lahan akibat kebakaran. Oleh karena itu dalam upaya mendapatkan besarnya biaya yang diperlukan dalam upaya pemulihan tersebut maka beberapa informasi penting yang disebut diatas harus tersedia (dalam hal ini menjadi kendala karena keterbatasan data/informasi tersebut), secara umum (Lidiawati, 2003) yaitu :

a. Potensi biomassa (bahan bakar) yang terdapat sebelum dan sesudah terjadinya kebakaran atau jumlah bahan bakar yang terbakar persatuan luas dan waktu (intensitas atau tingkat pembakaran).

b. Kondisi lahan (lahan basah atau kering, topografi)

c. Kualitas lahan (didukung oleh data hasil analisis laboratorium terhadap sifat kimia, fisika dan biologi tanah)

d. Tingkat kerusakan unsur lingkungan akibat pembakaran (seperti gambut akibat pemanasan yang timbul dari pembakaran)

e. Tingkat perubahan / kerusakan sumberdaya dan lingkungan hidup serta tingkat gangguan yang dirasakan oleh masyarakat secara langsung atau tidak langsung

f. Jenis peruntukan lahan (kebun, hutan tanaman, hutan alam, dll)

g. Luas areal terbakar (didukung oleh data satelit).

Faktor yang mempengaruhi biaya pemulihan kerusakan lingkungan hidup di pengaruhi oleh dua hal yaitu :

a. Jenis manfaat jasa lingkungan hidup yang dipulihkan, hal ini terkait dengan unsur lingkungan hidup yang mengalami perubahan (dampak) akibat kebakaran lahan dan hutan

b. Sifat kerusakan (reversible atau irreversible)

c. Besar atau tingkat kerusakan sumberdaya dan lingkungan hidup

d. Teknologi dan jangka waktu proses pemulihan kondisi lingkungan hidup.


VI. Nilai Ekonomi Kerusakan Hutan dan Lahan serta Biaya Pemulihan Akibat

Kebakaran


Berdasarkan hasil pengkajian atau penilaian, dapat diidentifikasi dampak umum kebakaran atau pembakaran lahan dan hutan. Pada setiap dampak tersebut ditentukan metode penilaian kerugian sumberdaya dan lingkungan hidup (eksternalitas negatif), yang dalam hal ini tidak semua dampak tersebut dapat dinilai karena keterbatasan data, tetapi secara umum dapat disampaikan formula penghitungannya (Darusman, 2002).

Sebagaimana diketahui bahwa tidak semua unsur lingkungan yang rusak akibat kebakaran dapat dipulihkan kembali seperti sedia kala (cenderung irreversible) serta tidak semua yang rusak tersebut dapat dipulihkan kembali karena keterbatasan teknologi ataupun karena ketidaksesuaian dengan bentuk penggunaan lahan.

Terhadap kerusakan yang dapat dipulihkan dan tersedia teknologi yang dapat digunakan (applied technology) maka akan dihitung biaya pemulihan tersebut dan terhadap kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible) ataupun terhadap kerusakan yang sifatnya dapat pulih tetapi tidak ada teknologi yang efektif (tidak dapat memulihkan kepada kondisi yang relatif sama dengan kondisi semula) dan tidak logis, dilaksanakan (tidak implementatif), maka tidak akan ada biaya pemulihan lingkungan tersebut. Namun demikian terhadap teknologi yang tidak efektif dan tidak operasional (peudo technology, karena tidak akan diimplementasikan hanya sebagai pendekatan penghitungan biaya), akan dihitung sebagai nilai kerusakan lingkungan dengan metode biaya penggantian, rehabilitasi atau subsitusi dan dapat diletakkan sebagai biaya pemulihan (Bahruni,1999).

Sasaran / obyek kegiatan pemulihan ditunjukan terhadap dua hal, dan hal ini terkait dengan tujuan kegiatan pemulihan pada masing-masing sasaran tersebut yaitu :

a. Sasaran pemulihan terhadap bentuk dampak lingkungan yang terjadi dengan tujuan agar terjadi percepatan pemulihan / menghilangkan bentuk dampak (eksternalitas) yang terjadi.

b. Sasaran pemulihan terhadap sumber dampak dalam hal ini lahan dan hutan (vegetasi) dengan tujuan agar percepatan pemulihan kondisi lahan dan hutan/vegetasi yang secara relatif sama seperti semula baik dalam wujud fisik atau fungsi ekologis lahan dan atau hutan tersebut.


VII. Formula Penghitungan Nilai Ekonomi Kerusakan Hutan dan Lahan Akibat

Kebakaran


Formula suatu teknik atau metode penilaian eksternalitas pada dasarnya terdiri atas fungsi tingkat kerusakan lingkungan terhadap tingkat dampak ekonomi, yang menyatakan pertambahan besar dampak ekonomi untuk penambahan setiap unit kerusakan lingkungan (sumberdaya atau fungsi lingkungan) yang disebut sebagai kerugian marjinal (marginal damage). Namun karena keterbatasan data (informasi), maka penggunaan fungsi kerugian marjinal pada kajian ini terbatas. Penggunaan suatu formula tentu saja memerlukan input data yang spesifik pada setiap lokasi dan waktu. Formula penghitungan disajikan sebagai berikut ini (Idiawati, 2003) :

  1. Teknik respon dosis pada produksi sumberdaya alam (pertanian, satwa, ikan)

PNKP =

- PNKP = nilai kini (present value) perubahan pendapatan selama berlangsungnya dampak.

- KMt = kerugian marjinal berupa besar penurunan produksi setiap kenaikan satu dampak sumberdaya atau fungsi lingkungan pada tahun ke t.

- DSFLt = selisih kondisi sumberdaya atau fungsi lingkungan antara tanpa (normal) dan dengan adanya pembakaran lahan dan hutan pada tahun ke t.

- Pt = harga jual produk pada tahun ke t.

- i = suku bunga bank.

- t = jangka waktu berlangsungnya dampak lingkungan.

b. Teknik nilai produksi pada sumberdaya

PNSDL =

c. Teknik nilai produksi pada aset ekonomi/pembangunan

PNSD =

- PNSDL = nilai kini perubahan nilai sumber daya dan fungsi lingkungan (pertanian, hutan, kebun, satwa) selama waktu berlangsungnya dampak.

- PNSD = perubahan nilai produksi aset ekonomi selama waktu berlangsungnya dampak.

- JPb = jumlah produksi tanpa (sebelum) adanya dampak sumberdaya/fungsi lingkungan hidup tahun ke t.

- JPa = jumlah produksi dengan (setelah) adanya dampak sumberdaya/fungsi lingkungan hidup tahun ke t.

- LAt = luas areal atau jumlah penduduk yang terkena dampak pada tahun ke t.

- Pt = harga jual produk pada tahun ke t.

- i = suku bunga bank rata-rata.

d. Teknik pengeluaran belanja (expenditure)

PPB =

- PPB = nilai kini penambahan pengeluaran belanja perbaikan kualitas barang/jasa lingkungan hidup selama waktu dampak.

- BPKa = biaya perbaikan kualitas barang/jasa lingkungan dengan (sesudah) pembakaran lahan dan hutan pada tahun ke t.

- BPKb = biaya perbaikan kualitas barang/jasa lingkungan tanpa (sebelum) pembakaran lahan dan hutan.

- T = waktu/lama dampak dari 1 sampai n tahun.

- i = suku bunga bank rata-rata.


e. Teknik kontingensi

NKL =

- NKKL = nilai kini kehilangan manfaat barang/jasa lingkungan selama waktu dampak.

- WTPb = kesediaan membayar per unit / luas barang atau jasa lingkungan tanpa (sebelum) kebakaran lahan dan hutan responden ke r.

- WTPa = kesediaan membayar per unit / luas barang atau jasa lingkungan dengan (sesudah) kebakaran lahan dan hutan responden ke r tahun ke t.

- Jt = jumlah dalam arti : luas areal, tingkat keragaman hayati, tingkat kualitas air.

- r = responden dari 1 sampai n.

- t = waktu dampak dari 1 sampai n.

VIII. Formula Penghitungan Biaya Pemulihan Kerusakan Hutan dan Lahan Akibat Kebakaran

Perhitungan biaya pemulihan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dilakukan terhadap alternatif teknologi yang diterapkan (applied technology) maupun terhadap pendekatan biaya pemulihan dari pseudo technology yaitu sebagai berikut :

a. Biaya substitusi

Adalah biaya pengadaan barang atau jasa untuk pengganti jasa fungsi lingkungan, seperti pembangunan reservoir pada lahan gambut yang kehilangan daya serap air akibat penyusutan lahan yang kehilangan daya serap air akibat penyusutan lahan gambut.

NKBS = BP x J +

- NKBS = nilai kini biaya substitusi

- BP = biaya pembangunan/pengadaan barang pada tahun awal

- J = jumlah dalam arti : luas, volume atau jumlah unit

- BRt = biaya perawatan/pemeliharaan pada tahun ke t

- t = waktu perawatan/pemeliharaan dari 1 sampai n tahun

- i = suku bunga bank rata-rata

b. Biaya penggantian atau rehabilitasi

Adalah biaya yang diperlukan untuk mengganti atau merehabilitasi kondisi unsur lingkungan sehingga terjadi pemulihan fungsi lingkungan tersebut, hal ini dilakukan melalui pembangunan atau rehabilitasi lahan dan hutan.

NKBPR =

- NKBPR = nilai kini biaya penggantian atau rehabilitasi

- BPR = biaya pembangunan dan pengelolaan lahan dan hutan/tanaman per unit

- pada tahun ke t

- J = jumlah dalam arti : luas, volume atau jumlah unit

- t = jangka waktu pembangunan dan pengelolaan dari 1 sampai n tahun


IX. PENUTUP


Permasalahan gangguan lingkungan dan kerusakan sumberdaya alam telah dan akan terus hadir bersamaan dengan kegiatan pembangunan. Pembangunan akan menambah kesejahteraan bagi manusia bila manfaat yang diperoleh melebihi nilai gangguan atau kerusakan tersebut. Gangguan atau kerusakan tidak mungkin dihilangkan, namun dapat dikurangi sampai minimal, yakni diantaranya dengan memasukkan (internalisasi) beban gangguan dan kerusakan itu kedalam kalkulasi ekonomi pembangunan itu, atau nilai gangguan dan kerusakan itu dibebankan kepada para pihak (stake holders) pembangunan.


DAFTAR PUSTAKA


Alikodra, H.S., 2003. Bencana, deforestasi dan pemilu 2004, Jakarta. Koran Tempo : 22-12-2003

Bahruni. 1999. Penilaian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Darusman, D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Dokumentasi Kronologis Tulisan 1986-2002. Lab Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lidiawati, I. 2003. Penilaian Ekonomi Kerusakan Hutan dan Lahan Akibat Kebakaran. Program Pasca Sarjana (S3) Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Pearce and Jeremy J.Warford. 1993. World Without End : Economics, Environtment and Sustainable Development. Oxford University Press. New York. Terjemahan

Saharjo, B.H. 2003. Kebakaran Hutan dan Lahan. Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suparmoko, M dan Maria Ratnaningsih. 2000. Ekonomika Lingkungan Edisi Pertama BPFE. Yokyakarta.

Turner, R. Kerry, David Pierce and Ian Bateman. 1994. Environmental Economics : And Elementary Introduction. Harvester Wheatsheaft, Singapore. Terjemahan