Selasa, 20 Mei 2008

SISTEM MANAJEMEN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN INDUSTRI "PENTHOL" BAKSO

MUKTI AJI (Mei, 2008)

I. PENDAHULUAN

Sistem Pengelolaan lingkungan adalah bagian dari keseluruhan sistem manajemen yang termasuk struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber-sumber untuk mengembangkan, melaksanakan, mencapai, mereview dan memelihara kebijaksanaan lingkungan. Dalam bidang pangan, implementasi sistem pengelolaan lingkungan lebih mengarah kepada manajemen mutu dan keamanan pangan.

Pangan harus berdasarkan suatu standar sehingga tidak merugikan dan membahayakan kesehatan konsumen (Soehardjo, 1997). Regulasi yang mengatur pangan adalah Undang–undang No. 7 tahun 1996 dimana sasaran program keamanan pangan adalah: (1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan, yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap mutu dan keamanan pangan; (2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan pangan; dan (3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. (Wirakartakusumah, 1997).

Keamanan, masalah dan dampak penyimpangan mutu dalam pengembangan sistem mutu industri ”penthol” bakso (bersama satu paket produk yang dijual seperti : mie, saos dan minuman) merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah harus memulai mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu dan keamanan pangan.

II. KONSEP MUTU

Gambaran keadaan keamanan pangan secara umum adalah: (1) Masih ditemukan beredarnya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan; (2) Masih banyak dijumpai kasus keracunan makanan; (3) Masih rendahnya tanggung jawab dan kesadaran produsen serta distributor tentang keamanan pangan yang diproduksi/diperdagangkannya; dan (4) Masih kurangnya kepedulian dan pengetahuan konsumen terhadap keamanan pangan (Wirakartakusumah dan Dahrul Syah. 1990).

Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan dilakukan menurut standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan), kimiawi (mineral, logam–logam berat dan bahan kimia yang ada dalam bahan pangan), dan mikrobiologi (tidak mengandung bakteri Eschericia coli dan patogen).

Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai dalam konteks industri “penthol” bakso (bersama satu paket produk yang dijual) diantaranya adalah: (1) Pewarna berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth) yang ditemukan terutama pada produk saos. (2) Pemanis buatan (siklamat dan sakarin) yang digunakan pada minuman (es teh). (3) Formalin untuk mengawetkan tahu dan mie basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan ”penthol” bakso.

III. TANGGUNG JAWAB BERSAMA DALAM IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN INDUSTRI “PENTHOL” BAKSO

Menurut Kimberly (2002), Sistem Pengelolaan Lingkungan (Environmental Management System / EMS) adalah bagian dari keseluruhan sistem manajemen yang termasuk struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber-sumber untuk mengembangkan, melaksanakan, mencapai, mereview dan memelihara kebijaksanaan lingkungan yang berprinsip pada aktivitas PDCA (Plan - Do - Check - Action), sehingga elemen-elemen utama EMS akan mengikuti prinsip PDCA ini, yang dikembangkan menjadi enam prinsip dasar EMS, yaitu : (1). Kebijakan (dan komitmen) lingkungan, (2). Perencanaan, (3). Penerapan dan Operasi, (4). Pemeriksaan dan tindakan koreksi, (5). Tinjauan manajemen, dan (6).Penyempurnaan menerus. Seperti terlihat dalam Gambar 1 sebagai berikut :

Gambar 1. Elemen utama Sistem Pengelolaan Lingkungan

Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibatan ketiga sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan industri “penthol” bakso (bersama satu paket produk yang dijual).

IMPLEMENTASI SISTEM MANAJEMEN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN “PENTHOL” BAKSO

PEMERINTAH

PRODUSEN

KONSUMEN (ORNOP & Masyarakat)

§ Pemasyarakatan UU Pangan

§ Penyusunan kebijaksanaan strategi, program dan peraturan internal Kota Palangka Raya.

§ Pelakasanaan program.

§ Pengawasan dan low enforcement.

§ Pengumpulan informasi (Uji Lab).

§ Pengembangan Iptek dan penelitian.

§ Pengembangan SDM (pengawas pangan, penyuluh pangan & industri).

§ Penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen.

§ Penyelidikan dan penyidikan kasus penyimpangan mutu dan keamanan pangan.

§ Kesadaran Proses Produksi bersih, aman dan sehat.

§ Pengawasan internal mutu dan keamanan produk.

§ Penerapan teknologi dan bahan yang tepat.

§ Pengembangan SDM (dibantu oleh pemerintah & ORNOP).

§ Partisipasi dan kepedulian masyarakat tentang mutu dan keamanan pangan.

§ Pengembangan SDM (pelatihan, penyuluhan dan penyebaran informasi kepada konsumen) tentang keamanan pangan oleh ORNOP

TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Gambar 2. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen dalam

implementasi sistem dan keamanan pangan Industri ”Penthol” Bakso

IV. KESIMPULAN

1. Kota Palangka Raya belum mengeluarkan kebijakan dan komitmen lingkungan yang riil untuk menjamin penerapan secara terpadu sistem manajemen mutu dan keamanan pangan sejak pra produksi, selama proses produksi sampai ke konsumen, baik dalam pembinaan maupun pengawasan seperti : pernyataan ”Kota Palangka Raya bebas pentol mengandung Boraks”, atau perda khusus tentang prosedur penjualan, distribusi, dan pengawasan bahan kimia terkait mutu dan keamanan pangan ”penthol” Bakso dan Petunjuk Teknis/Operasional Walikota tentang standar mutu pengolahan ”pentol” bakso (bersama satu paket produk yang dijual).

2. Kota Palangka Raya belum memiliki program riil dan bentuk pengawasan khusus terhadap sistem jaminan mutu dan keamanan pangan ”penthol” Bakso seperti : uji lab secara rutin dan pengawasan di tempat penggilingan daging bakso.

3. Pengetahuan mutu pada industri pangan harus ditingkatkan karena tingkat kesadaran produsen yang masih rendah terhadap jaminan mutu dan keamanan pangan ”penthol” Bakso (bersama satu paket produk yang dijual)..

4. Kepedulian masyarakat juga masih kurang dengan tetap membeli ”penthol” bakso (bersama satu paket produk yang dijual), meskipun secara fisik sudah terlihat mengandung zat pewarna, pemanis buatan, Boraks dan Formalin.

DAFTAR PUSTAKA

WHO. 1998. Food Safety Programmes in The South East Asia Region, Overview and Perspective. WHO Regional Office South East Asia, New Delhi, India.

Suhardjo. 1997. “Peraturan Perundangan Tentang Mutu Gizi Pangan”. Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi (CFNS)-IPB dengan Dirjen Dikti. Bogor.

Wirakartakusumah, M.A. 1997. “Peraturan Perundangan Tentang Keamanan Pangan”. Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi (CFNS)-IPB dengan Dirjen Dikti. Bogor

.

Wirakartakusumah, M.A. dan Dahrul Syah. 1990. “Perkembangan Industri Pangan di Indonesia”. Pangan. Vol II (5).

Kramer, A. dan B.A. Twigg. 1983. Fundamental of Quality Control for the Food Industry. The AVI Pub. Inc., Conn., USA.

Kimberly F. Kodrat. 2002. Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001: makalah filsafat sains, Program Pasca Sarjana (S3) – IPB. Bogor.

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU

MUKTI AJI (Maret, 2008)

I. PENDAHULUAN


Pada dasarnya apa yang dilakukan manusia adalah memanfaatkan sumberdaya alam yang berasal dari lingkungan, serta mengembalikan hasil aktifitas berupa buangan (waste) kembali ke lingkungan. Keseimbangan dampak positif pemanfaatan sumber daya alam dan dampak negatifnya bagi kesejahteraan manusia sangat dipengaruhi oleh penggunaan teknologi yang digunakan mengeksplorasi sumber daya alam, mengolah buangannya, serta daya asimilasi atau daya dukung lingkungan.

Meningkatnya aktivitas perkotaan seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat yang kemudian diikuti dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk akan semakin terasa dampaknya terhadap lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan secara terus menerus menyudutkan masyarakat pada permasalahan degradasi lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang berkaitan erat dengan pelayanan publik di wilayah perkotaan adalah pengelolaan sampah. Volume sampah yang meningkat dengan laju pertumbuhan eksponensial akan menghadapkan pada permasalahan kebutuhan lahan pembuangan sampah, serta semakin tingginya biaya pengelolaan sampah dan biaya-biaya lingkungan.

Budaya konsumerisme masyarakat saat ini mempunyai andil besar dalam peningkatan jenis dan kualitas sampah. Di Era Globalisasi, para pelaku usaha dan pebisnis bersaing sekeras mungkin untuk memasarkan produknya, tidak hanya itu tapi mereka memiliki strategi bisnis dengan mengemas produknya dengan kemasan yang menarik konsumen. Bervariasinya kemasan produk tersebut menimbulkan peningkatan jenis dan kualitas sampah.

Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan dilakukan melalui 3 tahapan kegiatan, yakni : pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Aboejoewono (1985) menggambarkan secara sederhana tahapan-tahapan dari proses kegiatan dalam pengelolaan sampah sebagai berikut :

1. Pengumpulan diartikan sebagai pengelolaan sampah dari tempat asalnya sampai ke tempat pembuangan sementara sebelum menuju tahapan berikutnya. Pada tahapan ini digunakan sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, peti kemas sampah, gerobak dorong maupun tempat pembuangan sementara (TPS/Dipo). Untuk melakukan pengumpulan, umumnya melibatkan sejumlah tenaga yang mengumpulkan sampah setiap periode waktu tertentu.

2. Tahapan pengangkutan dilakukan dengan menggunakan sarana bantuan berupa alat transportasi tertentu menuju ke tempat pembuangan akhir/pengolahan. Pada tahapan ini juga melibatkan tenaga yang pada periode waktu tertentu mengangkut sampah dari tempat pembuangan sementara ke tempat pembuangan akhir (TPA).

3. Pada tahap pembuangan akhir/pengolahan, sampah akan mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis sedemikian hingga tuntas penyelesaian seluruh proses.

Pengelolaan sampah, terutama di kawasan perkotaan, dewasa ini dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang cukup kompleks. Permasalahan-permasalahan tersebut meliputi tingginya laju timbulan sampah yang tinggi, kepedulian masyarakat (human behaviour) yang masih sangat rendah serta masalah pada kegiatan pembuangan akhir sampah (final disposal) yang selalu menimbulkan permasalahan tersendiri.

Manusia sesuai kodratnya diberikan kelebihan ilmu pengetahuan yang secara alami (instinctive) dapat muncul dengan sendirinya tergantung kepada kepekaan dalam menanggapi atau pun membaca fenomena alam dan kemudian menerjemahkan ke dalam dunia nyata sebagai tindakan nyata manusia. Manusia selalu diuji kepekaannya dalam menanggapi tanda-tanda alam, untuk itu manusia selalu meningkatkan kemampuan budaya, mulai dari budaya yang hanya sekedar untuk mempertahankan hidup hingga budaya untuk membuat rekayasa menciptakan lingkungan hidup yang nyaman, sejahtera, dan berkelanjutan.


II. TEKNIK PENGOLAHAN SAMPAH

Sampah (refuse) adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi bukan biologis (karena human waste tidak termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat (Azwar, 1990). Sumber sampah bisa bermacam-macam, diantaranya adalah : dari rumah tangga, pasar, warung, kantor, bangunan umum, industri, dan jalan.

Berdasarkan komposisi kimianya, maka sampah dibagi menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Penelitian mengenai sampah padat di Indonesia menunjukkan bahwa 80% merupakan sampah organik, dan diperkirakan 78% dari sampah tersebut dapat digunakan kembali (Outerbridge, ed., 1991).

Pengelolaan sampah adalah semua kegiatan yang dilakukan dalam menangani sampah sejak ditimbulkan sampai dengan pembuangan akhir. Secara garis besar, kegiatan di dalam pengelolaan sampah meliputi pengendalian timbulan sampah, pengumpulan sampah, transfer dan transport, pengolahan dan pembuangan akhir (Kartikawan, 2007) sebagai berikut :

1. Penimbulan sampah (solid waste generated)

Dari definisinya dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sampah itu tidak diproduksi, tetapi ditimbulkan (solid waste is generated, not produced). Oleh karena itu dalam menentukan metode penanganan yang tepat, penentuan besarnya timbulan sampah sangat ditentukan oleh jumlah pelaku dan jenis dan kegiatannya.

Idealnya, untuk mengetahui besarnya timbulan sampah yang terjadi, harus dilakukan dengan suatu studi. Tetapi untuk keperluan praktis, telah ditetapkan suatu standar yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum. Salah satunya adalah SK SNI S-04- 1993-03 tentang Spesifikasi timbulan sampah untuk kota kecil dan kota sedang. Dimana besarnya timbulan sampah untuk kota sedang adalah sebesar 2,75-3,25 liter/orang/hari atau 0,7-0,8 kg/orang/hari.

2. Penanganan di tempat (on site handling)

Penanganan sampah pada sumbernya adalah semua perlakuan terhadap sampah yang dilakukan sebelum sampah di tempatkan di tempat pembuangan. Kegiatan ini bertolak dari kondisi di mana suatu material yang sudah dibuang atau tidak dibutuhkan, seringkali masih memiliki nilai ekonomis. Penanganan sampah ditempat, dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penanganan sampah pada tahap selanjutnya.

Kegiatan pada tahap ini bervariasi menurut jenis sampahnya meliputi pemilahan (shorting), pemanfaatan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle). Tujuan utama dan kegiatan di tahap ini adalah untuk mereduksi besarnya timbulan sampah (reduce)

3. Pengumpulan (collecting)

Adalah kegiatan pengumpulan sampah dan sumbernya menuju ke lokasi TPS. Umunmya dilakukan dengan menggunakan gerobak dorong dan rumah-rumah menuju ke lokasi TPS.

4. Pengangkutan (transfer and transport)

Adalah kegiatan pemindahan sampah dan TPS menuju lokasi pembuangan pengolahan sampah atau lokasi pembuangan akhir.

5. Pengolahan (treatment)

Bergantung dari jenis dan komposisinya, sampah dapat diolah. Berbagai alternatif yang tersedia dalam pengolahan sampah, di antaranya adalah :

a. Transformasi fisik, meliputi pemisahan komponen sampah (shorting) dan pemadatan (compacting), yang tujuannya adalah mempermudah penyimpanan dan pengangkutan.

b. Pembakaran (incinerate), merupakan teknik pengolahan sampah yang dapat mengubah sampah menjadi bentuk gas, sehingga volumenya dapat berkurang hingga 90-95%. Meski merupakan teknik yang efektif, tetapi bukan merupakan teknik yang dianjurkan. Hal ini disebabkan karena teknik tersebut sangat berpotensi untuk menimbulkan pencemaran udara.

c. Pembuatan kompos (composting), Kompos adalah pupuk alami (organik) yang terbuat dari bahan - bahan hijauan dan bahan organik lain yang sengaja ditambahkan untuk mempercepat proses pembusukan, misalnya kotoran ternak atau bila dipandang perlu, bisa ditambahkan pupuk buatan pabrik, seperti urea (Wied, 2004). Berbeda dengan proses pengolahan sampah yang lainnya, maka pada proses pembuatan kompos baik bahan baku, tempat pembuatan maupun cara pembuatan dapat dilakukan oleh siapapun dan dimanapun.

d. Energy recovery, yaitu tranformasi sampah menjadi energi, baik energi panas maupun energi listrik. Metode ini telah banyak dikembangkan di Negara-negara maju yaitu pada instalasi yang cukup besar dengan kapasitas ± 300 ton/hari dapat dilengkapi dengan pembangkit listrik sehingga energi listrik (± 96.000 MWH/tahun) yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menekan biaya proses pengelolaan.

6. Pembuangan akhir

Pada prinsipnya, pembuangan akhir sampah harus memenuhi syarat-syarat kesehatan dan kelestarian lingkungan. Teknik yang saat ini dilakukan adalah dengan open dumping, di mana sampah yang ada hanya di tempatkan di tempat tertentu, hingga kapasitasnya tidak lagi memenuhi. Teknik ini sangat berpotensi untuk menimbulkan gangguan terhadap lingkungan. Teknik yang direkomendasikan adalah dengan sanitary landfill. Di mana pada lokasi TPA dilakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mengolah timbunan sampah.

Dewasa ini masalah sampah merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian dari semua fihak, karena setiap manusia pasti memproduksi sampah, disisi lain masyarakat tidak ingin berdekatan dengan sampah. Seperti kita ketahui bersama bahwa sampah yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada lingkungan. Gangguan yang ditimbulkan meliputi bau, penyebaran penyakit hingga terganggunya estetika lingkungan. Beberapa permasalahan yang timbul dalam sistem penanganan sampah sistem yang terjadi selama ini adalah :

a. Dari segi pengumpulan sampah dirasa kurang efisien karena mulai dari sumber sampah sampai ke tempat pembuangan akhir, sampah belum dipilah-pilah sehingga kalaupun akan diterapkan teknologi lanjutan berupa komposting maupun daur ulang perlu tenaga untuk pemilahan menurut jenisnya sesuai dengan yang dibutuhkan, dan hal ini akan memerlukan dana maupun menyita waktu.

b. Pembuangan akhir ke TPA dapat menimbulkan masalah, diantaranya :

- Perlu lahan yang besar bagi tempat pembuangan akhir sehingga hanya cocok bagi kota yang masih mempunyai banyak lahan yang tidak terpakai. bila kota menjadi semakin bertambah jumlah penduduknya, maka sampah akan menjadi semakin bertambah baik jumlah dan jenisnya. Hal ini akan semakin bertambah juga luasan lahan bagi TPA.

- Dapat menjadi lahan yang subur bagi pembiakan jenis-jenis bakteri serta bibit penyakit lain juga dapat menimbulkan bau tidak sedap yang dapat tercium dari puluhan bahkan ratusan meter yang pada akhirnya akan mengurangi nilai estetika dan keindahan lingkungan.


III. KERANGKA ANALISIS SISTEM PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Salah satu isu penting dalam globalisasi adalah masalah lingkungan. Oleh karena itu, semua pihak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan secara proporsional. Perlindungan lingkungan hidup adalah suatu masalah yang harus dipertimbangkan dari aspek global. Masyarakat dunia telah bereaksi untuk turut serta memberikan kepedulian terhadap lingkungan melalui deklarasi yang dibuat oleh konferensi PBB di Stockholm pada bulan Juni 1972. deklarasi tersebut tentang perlindungan lingkungan dalam pencegahan pencemaran dan ajakan dalam usaha koordinasi ke seluruh dunia lewat partisipasi global tidak hanya negara-negara maju tetapi juga negara-negara berkembang (Hadiwiardjo, 1997).

Kedudukan pemerintah sangat strategis dalam hal memberikan perlindungan terhadap lingkungan seperti pembuatan kebijakan serta berperan untuk memfasilitasi dan mendorong gerakan kepedulian terhadap lingkungan. Keberadaan masyarakat juga sangat penting untuk turut serta berperan aktif menjaga, memelihara, dan melestarikan lingkungan. Karena segala dampak yang diakibatkan oleh lingkungan pihak masyarakatlah yang secara langsung merasakan.

Menurut Kimberly (2002), Sistem Pengelolaan Lingkungan (Environmental Management System / EMS) adalah bagian dari keseluruhan sistem manajemen yang termasuk struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber-sumber untuk mengembangkan, melaksanakan, mencapai, mereview dan memelihara kebijaksanaan lingkungan yang berprinsip pada aktivitas PDCA (Plan - Do - Check - Action), sehingga elemen-elemen utama EMS akan mengikuti prinsip PDCA ini, yang dikembangkan menjadi enam prinsip dasar EMS, yaitu : (1). Kebijakan (dan komitmen) lingkungan, (2). Perencanaan, (3). Penerapan dan Operasi, (4). Pemeriksaan dan tindakan koreksi, (5). Tinjauan manajemen, dan (6).Penyempurnaan menerus. Seperti terlihat dalam gambar 1 sebagai berikut :




Gambar 1. Elemen utama Sistem Pengelolaan Lingkungan

Manfaat dari EMS diantaranya adalah untuk : meningkatkan kinerja lingkungan, mengurangi/ menghilangkan keluhan masyarakat terhadap dampak lingkungan, mencegah polusi dan melindungi sumber daya alam dan secara umum mampu mengurangi resiko.

Implementasi dari sistem pengelolaan lingkungan sebagai langkah dan strategi pengendalian penurunan (degradasi) kualitas lingkungan mendasarkan pada 3 unsur pokok atau sering disebut sebagai segitiga emas (golden triangle) yaitu unsur : EKONOMI, EKOLOGI dan MASYARAKAT (Gunawan, 2007). Dalam hubungan antar unsur-unsur yang terkandung dalam sistem sosial maupun dalam sistem alam terdapat beberapa proses yang terjadi sebagai berikut :

(1) Hubungan saling keterkaitan (interrelationships)

Unsur-unsur yang terkandung, baik dalam sistem sosial maupun dalam sistem alami saling berinteraksi satu sama lain masing-masing membentuk subsistem-subsistem kecil dalam skala lokalitas yang saling mempengaruhi. Subsistem yang mempunyai sifat dinamika tinggi juga berinteraksi dengan subsistem dari ekosistem lain melalui proses aliran energi dan materi dan melalui tukar-menukar ataupun perkawinan.

(2) Hubungan saling ketergantungan (independency)

Hubungan tersebut tidak hanya terbatas pada saling keterkaitan, namun juga saling ketergantungan antar subsistem, dan bukan yang mempunyai sifat dinamika tinggi, subsistem yang tidak banyak bergerak pun mempunyai hubungan saling ketergantungan. Keberadaan subsistem air dengan kualitas tertentu sangat dibutuhkan oleh subsistem-subsistem lain.

(3) Aliran energi, materi, dan informasi

Hasil pengelolaan sumberdaya ekosistem menghasilkan materi dan energi yang akhirnya kembali lagi ke manusia sebagai hasil pemanenan. Hasil peningkatan budaya untuk memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan meningkatkan informasi begitu terus sistem peningkatan budaya sehingga terbentuk aliran informasi (perbaikan budaya sistem usaha).

(4) Proses Seleksi dan Adaptasi

Manusia dalam menghadapi kondisi lingkungan sejak zaman dulu hingga sekarang bersifat dinamik mengikuti kemajuan budaya dan teknologi yang dikuasai. Pada awalnya manusia sangat tergantung pada kondisi fisik lingkungannya, kemudian mampu mengadakan seleksi atau mencoba dengan cara adaptasi.

Agar dapat dilaksanakan secara efektif, sistem manajemen lingkungan harus mencakup beberapa unsur utama sebagai berikut (Kimberly, 2002) :

a. Kebijakan Lingkungan : pernyataan tentang maksud kegiatan manajemen lingkungan dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mencapainya.

b. Perencanaan : mencakup identifikasi aspek lingkungan dan persyaratan peraturan lingkungan hidup yang bersesuaian, penentuan tujuan pencapaian dan program pengelolaan lingkungan.

c. Implementasi : mencakup struktur organisasi, wewenang dan tanggung jawab, training, komunikasi, dokumentasi, kontrol dan tanggap darurat.

d. Pemeriksaan reguler dan Tindakan perbaikan : mencakup pemantauan, pengukuran dan audit.

e. Kajian manajemen : kajian tentang kesesuaian daan efektivitas sistem untuk mencapai tujuan dan perubahan yang terjadi diluar organisasi (Bratasida, 1996).

IV. SISTEM PENGEOLAAN SAMPAH TERPADU SEBAGAI IMPLEMENTASI DARI SISTEM PENGELOLAAN LINGKUNGAN


Sampah dan pengelolaannya kini menjadi masalah yang kian mendesak di kota-kota di Indonesia, sebab apabila tidak dilakukan penanganan yang baik akan mengakibatkan terjadinya perubahan keseimbangan lingkungan yang merugikan atau tidak diharapkan sehingga dapat mencemari lingkungan baik terhadap tanah, air dan udara. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut diperlukan penanganan dan pengendalian terhadap sampah. Penanganan dan pengendalian akan menjadi semakin kompleks dan rumit dengan semakin kompleksnya jenis maupun komposisi dari sampah sejalan dengan semakin majunya kebudayaan. Oleh karena itu penanganan sampah di perkotaan relatif lebih sulit dibanding sampah di desa-desa.

Masalah sampah sebenarnya tidak melulu terkait dengan TPA, seperti yang terjadi selama ini karena sistem manajemen sampah merupakan sistem yang terkait dengan dengan banyak pihak; mulai dari penghasil sampah (seperti rumah tangga, pasar, institusi, industri, dan lain-lain), pengelola (dan kontraktor), pembuat peraturan, sektor informal, maupun masyarakat yang terkena dampak pengelolaan sampah tersebut sehingga penyelesaiannya pun membutuhkan keterlibatan semua pihak terkait dan beragam pendekatan.

Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu adalah sistem manajemen yang mengintegrasikan aspek perencanaan pengelolaan sampah dengan pembangunan perkotaan, mempertimbangkan semua aspek terkait, seperti aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan institusi, politik, keuangan dan aspek teknis secara simultan, serta memberi peluang bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan (Damanhuri, 2007).

Sejalan dengan prinsip yang ada dalam sistem manajemen lingkungan (Environmental Management System / EMS) Wilayah cakupan sistem pengelolaan sampah terpadu ini mempunyai prinsip yang secara umum dapat dirumuskan (Pasang, 2005) sebagai berikut :

1. Perencanaan, Perumusan Kebijakan dan Manajemen

Pada wilayah ini mencakup beberapa aspek kegiatan yaitu : perencanaan strategis, kerangka peraturan dan kebijakan, partisipasi masyarakat, menajemen keuangan, pengembangan kapasitas institusi, serta penelitian dan pengembangan (termasuk di dalamnya pemeriksaan dan tindakan perbaikan).

Konsep rencana pengelolaan sampah perlu dibuat dengan tujuan untuk mengembangkan suatu sistem pengelolaan sampah yang modern, dapat diandalkan dan efisien dengan tehnologi yang ramah lingkungan. Dalam sistem tersebut harus dapat melayani seluruh penduduk, meningkatkan standar kesehatan masyarakat dan memberikan peluang bagi masyarakat dan pihak swasta untuk berpartisipasi aktif. Pendekatan yang digunakan dalam konsep rencana pengelolaan sampah ini adalah “meningkatkan sistem pengelolaan sampah yang dapat memenuhi tuntutan dalam paradigma baru pengelolaan sampah”. Untuk itu perlu dilakukan usaha untuk mengubah cara pandang “sampah dari bencana menjadi berkah” (Murtadho dan Said, 1988). Hal ini penting karena pada hakikatnya pada timbunan sampah itu kadang-kadang masih mengandung komponen-komponen yang sangat bermanfaat dan memiliki nilai ekonomi tinggi namun karena tercampur secara acak maka nilai ekonominya hilang dan bahkan sebaliknya malah menimbulkan bencana yang dapat membahayakan lingkungan hidup.

Dalam rencana pengelolaan sampah perlu adanya metode pengolahan sampah yang lebih baik, peningkatan peran serta dari lembaga-lembaga yang terkait dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sampah, meningkatkan pemberdayaan masyarakat, peningkatan aspek ekonomi yang mencakup upaya meningkatkan retribusi sampah dan mengurangi beban pendanaan pemerintah serta peningkatan aspek legal dalam pengelolaan sampah.

Sistem manajemen persampahan yang dikembangkan harus merupakan sistem manajemen yang berbasis pada masyarakat yang dimulai dari pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga (Hadiwiardjo, 1997). Para pemulung dapat ditingkatkan harkat dan martabatnya menjadi mitra tetap pada industri kecil pengolah bahan sampah menjadi bahan baku. Dana untuk membayar imbalan dari para pegawai/petugas yang terlibat dalam kebersihan kota dapat diperoleh dari : iuran warga (retribusi tetap dilakukan) ditambah dari hasil keuntungan dari pemrosesan bahan sampah.

Pemain dan partner dalam pengelolaan sampah, mulai dari pengguna jasa (rumah tangga, pasar, industri, organisasi), penyedia layanan kebersihan (RT/RW, pemerintah, perusahaan swasta), pendaur ulang (pemulung, pemilik lapak dan pabrik pengguna bahan daur ulang), dan produsen dan pengguna pupuk kompos, membuat masalah sampah bukan hanya menjadi urusan Dinas Kebersihan atau instansi lainnya di daerah, tapi menjadi urusan dan kepentingan semua pihak.

Secara riil pada aspek ini dapat dirumuskan program kerja yang akan dilaksanakan seperti :

a. Program Jangka Pendek (tahunan), meliputi :

- Optimalisasi pengoperasian TPA dan pembangunan TPA baru bila dibutuhkan;

- Pembangunan prasarana guna mengamankan lokasi calon TPA baru;

- Pembangunan incinerator skala kecil di kelurahan-kelurahan;

- Pengembangan program 3R (reuse, recycle, reduce);

- Pengolahan sampah terpadu dengan pendekatan zero waste;

- Penyusunan studi paradigma baru pengelolaan sampah dari cost center menjadi

profit center; dan

- Pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta, meliputi :

1. Pembangunan TPA dengan sistem sanitary landfill;

2. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem biomass product;

3. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem pirolisis; dan

4. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem ATAD.

b. Program Jangka Menengah (3 tahunan), meliputi :

- Pelaksanaan program sinergis sampah dan pasir;

- Pembangunan calon TPA sebagai lokasi pengolahan sampah dengan tehnologi

tinggi yang dlengkapi dengan sistem sanitary lanfill;

- Pelaksanaan pemilahan sampah di dalam kawasan atau tempat penampungan

sementara (TPS);

- Pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta lainnya dengan penekanan kepada

tehnologi yang mengolah sampah organik dan pembangunan unit-unit daur ulang;

- Pengembangan korporasi pengolahan sampah dan kerjasama antar daerah yang

lebih luas;

- Pelaksanaan evaluasi masterplan sampah pada daerah yang lebih luas/regional

- Pelaksanaan kampanye massal mengenai 3R (reuse, recycle dan reduce) kepada

masyarakat;

- Pelaksanaan evaluasi terhadap kelembagaan instansi teknis pengelola sampah;

- Pelaksanaan evaluasi total terhadap sistem pengelolaan retribusi sampah dalam

rangka meningkatkan perolehan retribusi; dan

- Penyusunan dan sosialisasi perangkat-perangkat hukum yang berkaitan dengan

tata cara pengelolaan kebersihan.

c. Program Jangka Panjang (5 tahunan), meliputi :

- Pendirian korporasi pengelola sampah antar daerah;

- Pelaksanaan pemilahan sampah sejak di sumber sampah;

- Pengembangan home composting di masyarakat;

- Pengembangan incinerator skala besar;

- Pengembangan kampanye massal mengenai 3R (reuse, recycle dan reduce)

kepada masyarakat;

- Pelaksanaan restrukturisasi instansi teknis pengelola sampah;

- Pelaksanaan penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran

kebersihan; dan

2. Produksi

Untuk memenuhi target kebutuhan pelayanan pengelolaan sampah yang memadai pada masyarakat, perlu diciptakan iklim yang kondusif untuk menunjang peran serta masyarakat dan swasta. Sosialisasi konsep 3R (reduce, reuse and recycle) adalah target pertama yang dapat ditempuh. Diperlukan kampanye sadar kebersihan untuk mendorong masyarakat agar mau mengumpulkan sampah di tempatnya, bukan membuang sampah di tempatnya.

Konsep ini mendorong masyarakat untuk melakukan penanganan sampah di sumbernya, seperti pemilahan sarnpah dan pengemasan sampah dengan benar. Lebih jauh hal ini dimaksudkan untuk mendorong penerapan konsep reuse, atau penggunaan kembali komponen-komponen sampah yang masih memiliki nilai ekonomi. Baik oleh sumber sampah ataupun oleh pihak lain, misalnya pemulung.

Setiap rumah tangga memisahkan sampah mereka ke dalam tiga tempat (tong) sampah. Masing-masing diisi oleh sampah organik, anorganik yang dapat didaur ulang. Sampah plastik dikumpulkan kemudian dikirim ke industri yang mengolah sampah plastik. Demikian halnya sampah kertas dikumpulkan kemudian dikirim ke industri pengolah kertas. Sedangkan sampah organik disatukan untuk kemudian dikomposkan untuk digunakan sebagai pupuk pertanian. Industri pengolah bahan sampah menjadi bahan baku dibuat pada skala kawasan, bisa terdiri dari 1 kecamatan atau beberapa kecamatan. Hal ini untuk memangkas jalur transportasi agar menjadi lebih efisien.

3. Penanganan sampah

Menurut Daniel, dkk (1985) langkah-langkah yang dapat dilaksanakan dalam penentuan strategi penanganan sampah adalah berikut :

a. Inventarisasi program dan data

Membentuk suatu data base pengelolaan persampahan yang terpadu. Dilakukan dengan melakukan kajian yang mendalam tentang besarnya laju timbulan sampah yang terjadi sebagai dasar penentuan kebijakan pengelolaan sampah.

Idealnya setiap TPA harus memiliki jembatan timbang untuk memonitor laju timbulan sampah yang sebenarnya. Dalam jangka pendek, perhitungan laju timbulan sampah dapat dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan pihak dinas perhubungan dalam memanfaatkan jembatan timbang milik dinas perhubungan untuk memonitor sampah yang akan masuk ke TPA. Pada tahap selanjutnya, perlu dikaji lebih jauh komposisi dan karateristik sampah. Sehingga kemudian dapat ditentukan jenis pengolahan sampah yang dibutuhkan.

b. Penetapan Orientasi Pelayanan

Dengan mengalihkan kegiatan pengelolaan sampah dan murni dilakukan pemerintah, kepada suatu badan pengelola yang dibentuk khusus untuk melaksanakan tugas tersebut, diharapkan dapat dicapai perubahan orientasi pelayanan dan kegiatan pengelolaan persampahan. Kendala-kendala pembiayaan dan teknologi yang ada, dapat diubah menjadi kegiatan yang berorientasi kepada kemandirian dalam melaksanakan kegiatan. Dan pola ini diharapkan akan didapatkan suatu solusi optimal yang transparan.

Teknologi Pengolahan Sampah Terpadu menuju Zero Waste harus merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Untuk tempat pembuangan akhir, dibagi menjadi tempat pembuangan tipe aman, tempat pembuangan terkontrol, tempat pembuangan terisolasi. Lebih lanjut, pembuangan sampah di TPA harus menggunakan metode sanitary landfill, sehingga kebutuhan lahan untuk TPA dapat dibatasi dan kelestarian lingkungan dapat dijaga dan keberlanjutan dari lokasi dimaksud dapat dipertanggungjawabkan (Sidik dan Sutanto, 1985).


V. PENUTUP

Sampai sekarang, pengelolaan sampah di Indonesia masih menggunakan paradigma lama: kumpul–angkut–buang. Source reduction (reduksi mulai dari sumbernya) atau pemilahan sampah tidak pernah berjalan dengan baik. Meskipun telah ada upaya pengomposan dan daur ulang, tapi masih terbatas dan tidak sustainable. Pembakaran sampah dengan insinerator pun dianggap hanya memindahkan masalah ke pencemaran udara. Regulasi pengelolaan sampah pun masih diatur secara parsial dan sektoral, belum adanya Undang – undang yang dipahami secara integral yaitu keterkaitannya dengan aspek lain seperti tata ruang, sosial politik, kesehatan, kemiskinan, peluang usaha , investasi, ketenagakerjaan, teknologi dan lingkungan hidup.

Adanya sampah merupakan suatu konsekuensi dari aktifitas manusia, setiap aktifitas manusia pasti akan menyebabkan buangan atau sampah. Jumlah volume sampah akan berimbang dengan tingkat konsumsi kita terhadap material yang digunakan sehari hari. Demikian pula dengan jenis sampah sangat tergantung dengan material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pengelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari pengelolaan gaya hidup masyarakat.

Sistem pengelolaan sampah terpadu adalah sebuah sistem yang menerapkan prinsip dasar dari sistem manajemen lingkungan (Environmental Management System / EMS) akan dapat berjalan dengan baik jika mampu mengoptimalkan beberapa hal seperti : Keterlibatan stakeholders, Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership), Transparansi (Transparency), Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power / Equal Powership), Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility), Pemberdayaan (Empowerment) dan Kerjasama (Cooperation).


DAFTAR PUSTAKA


Aboejoewono, A. 1985. Pengelolaan Sampah Menuju ke Sanitasi Lingkungan dan Permasalahannya; Wilayah DKI Jakarta Sebagai Suatu Kasus. Jakarta.

Azwar, Asrul. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Mutiara Sumber Widya. Jakarta.

Bratasida, Liana. 1996. Prospek Pengembangan Sistem Manajemen Lingkungan di Indonesia. BAPEDAL. Jakarta.

Damanhuri, Eri. 2007. Sampah Indonesia . Tekhnik Lingkungan ITB. Bandung.

Daniel, T. S., Hasan, P. dan Vonny, S. 1985. Tehnologi Pemanfaatan Sampah Kota dan Peran Pemulung Sampah : Suatu Pendekatan Konseptual. PPLH ITB. Bandung.

Gunawan, T. 2007. Pendekatan ekosistem bentang lahan sebagai dasar pembangunan wilayah berbasis lingkungan. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.

Hadiwiardjo, Bambang, 1997. ISO 14001- Panduan Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta.

Kartikawan, Yudhi, 2007, Pengelolaan Persampahan, J. Lingkungan Hidup, Yogyakarta.

Kimberly F. Kodrat. 2002. Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001: makalah filsafat sains, Program Pasca Sarjana (S3) – IPB. Bogor.

Murtadho, D. dan Sa’id, E. G. 1988. Penanganan Pemanfaatan Limbah Padat. Sarana Perkasa. Jakarta.

Outerbridge, Thomas (ed). 1991. Limbah Padat di Indonesia : Masalah atau Sumber Daya. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Pasang, Haskarlianus, 2005, Pengelolaan Sampah yang Regional dan Terintegrasi, http://www. Sarwono.net.

Sidik, M. A., Herumartono, D. dan Sutanto, H. B. 1985. Tehnologi Pemusnahan Sampah dengan Incinerator dan Landfill. Direktorat Riset Operasi Dan Manajemen. Deputi Bidang Analisa Sistem Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi. Jakarta.